Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya, enam orang adik saya—yang terkecil Esti Dayati, baru tiga bulan—serta ibu, ditahan di markas Kodim (Komando Distrik Militer). Kami satu-satunya tahanan yang sekeluarga, karena ibu tidak ingin berpisah dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil ketika ditangkap tentara di salah satu tempat pengungsian kami di Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Oktober 1965.
Di tahanan, saya mendapat tugas menyapu, membersihkan ruangan interogasi, setiap pagi. Selain membuang abu rokok, saya juga membersihkan bekas-bekas penyiksaan. Saya melihat cambuk ekor pari yang masih berbekas darah. Orang-orang dengan muka berlumuran darah yang diseret keluar dari ruang penyiksaan juga sering saya lihat. Biasanya, ibu menutupi wajah saya atau biasanya kami disuruh tidur.
Ibu tidak pernah menjelaskan apa keterlibatan bapak dalam Partai Komunis Indonesia. Saya juga tidak pernah bertanya. Hanya, ibu berkali-kali bilang, ”Ini risiko bapak menjadi anggota partai politik.” Ibu juga berpesan agar saya jangan ikut kegiatan apa-apa, kecuali Pramuka.
Namanya Svetlana Dayani, anak tertua Nyoto, Ketua II CC (Komite Sentral) PKI. Pada 1965, tatkala berusia 9 tahun, ia sudah mengenal hidup di penjara—di Kodim, Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta.
Ibunya dipenjara 11 tahun, nasib ayahnya tak jelas. Ia tak tahu banyak. Yang terang, ada satu periode panjang dalam hidupnya yang ditujukan buat menghapus masa lalunya. Proses yang berangkat dari sebuah pengingkaran: melupakan namanya, Svetlana. Ia bukan Svetlana. Svetlana nama yang indah, tapi saat itu orang tidak banyak berpikir soal keindahan. Sebuah nama yang dicomot dari bahasa Rusia (artinya cahaya), dan secara asal-asalan bisa diartikan PKI.
Masa itu, bahasa simbol sangat berkuasa. Nama-nama Rusia dipakai beberapa petinggi PKI untuk anak-anak mereka. D.N. Aidit, Ketua Umum CC PKI, memberi nama anak-anaknya seperti Ibra, Ilya. Dan bukan hanya karena made in Uni Soviet, nama-nama juga diganti atau disembunyikan untuk menutup jejak agar tidak terlacak ”bau PKI”-nya di masa Orde Baru. Langkah seperti itu umum dilakukan. Teuku Iskandar Ali, tertuduh PKI yang ditahan empat tahun di penjara Tangerang, mengubah namanya menjadi T.I Thamrin.
”Saya baru kembali memasang nama itu pada 1987. Saya lelah berbohong dan bersembunyi,” kata Svet.
Kini Svet sudah berkeluarga. Mempunyai dua orang anak, dan hidup bersama suami dan ibunya di suatu rumah kontrakan sederhana di kawasan Jati Pisang, Jakarta Timur. Rumahnya berlantai semen, terletak di gang kecil, dan tak cukup dilalui mobil. Soetarni, sang ibu, sosok yang telah menjalani hidup yang berat—empat kali berpindah-pindah penjara—kini sibuk merawat kebun. Osteoporosis membatasi gerakannya. Tapi taman di depan rumah dengan berbagai tumbuhan yang terawat benar adalah hasil karya Nyonya Nyoto.
Perempuan 77 tahun ini tampak cantik. Rambut putihnya ditata rapi ke belakang dan diikat, berkacamata dan di bibirnya tampak olesan tipis gincu merah muda. Soetarni masih punya darah ningrat, tapi mengelak menyebut gelar kebangsawanannya. ”Itu tidak penting,” katanya. Ya, dia lebih ”rela” bercerita tentang pengalamannya ke sana kemari memboyong tujuh anak yang masih kecil-kecil, dipenjara 11 tahun, kehidupan keluarga setelah itu, dengan terbuka, bahkan sering kali diselingi tawanya. Ingatannya pun luar biasa kuat. Ia menjawab pertanyaan dengan lancar. Ya, ia kelihatan seperti orang yang telah berhasil melupakan rasa sedih.
Sosok Nyoto bukan rahasia dalam keluarga Soetarni. Cucu-cucunya—semuanya 12 orang—bebas bertanya dan berbagi cerita tentang eyang kakung dan putri mereka. Nyoto dipanggil Bung Nyoto oleh para cucu. Pengalaman Soetarni di penjara ditanyakan secara bercanda oleh anak-anak belasan tahun itu, ”Cerita dong pengalaman Eyang di asrama.”
Kini Soetarni hidup sehat, menikmati masa tua: berkebun, jalan-jalan, menengok cucu. Dia masih arisan dengan sesama korban G30S. Keluarganya juga rutin kumpul, seperti saat ulang tahun, pernikahan, atau Lebaran.
”Ketika ditahan di Kodim, saya satu-satunya tahanan yang membawa serta semua anak-anak. Karena mungkin kasihan, ada saja penjaga penjara yang memberikan jatah nasi bungkus untuk anak-anak,” tutur Soetarni. Ceritanya panjang:
Memang di Kodim perlakuan terhadap saya paling keras ketimbang di tahanan-tahanan lain, tapi saya tidak pernah disiksa, hanya diperiksa berlama-lama, sampai saya tidak tahu Teti (Esti Dayati, anak bungsunya) menangis meraung-raung minta susu. Tapi saya malah tidak tahu Svetlana diminta membersihkan ruang interogasi. (Svet ternyata juga baru tahu bahwa ibunya tidak tahu-menahu soal tugas bersih-bersih tiap pagi itu.)
Setelah delapan bulan di Kodim, saya dibebaskan dan tinggal di Baturetno, Wonogiri. Tapi kemudian saya ditangkap lagi (1968) karena disebut terkait peristiwa Blitar Selatan (pembersihan orang-orang yang dicap PKI, 850 ditangkap, 33 tewas). Kakak saya sudah menunjukkan surat-surat pembebasan, tapi malah bukti-bukti itu dirampas. Kasihan kakak saya, sampai lemas menjelaskan semuanya. Saya berkeras tetap minta membawa serta Teti.
Di Solo, saya mau langsung diperiksa, tapi anak saya menangis terus. Hingga akhirnya kami diajak ke lantai bawah untuk beristirahat. Tempatnya terdiri dari dua lantai dan ternyata adalah gedung balai kota.
Ketika kami dibawa masuk kamar, waduh, kok saya disatukan dengan laki-laki, gundul semua. Ternyata, setelah saya amati, mereka perempuan yang digunduli. Jumlahnya mungkin 10 orang. Mereka anak-anak pelajar.
Malam itu, salah satu dari pelajar ada yang dipanggil ke atas untuk diperiksa. Katri namanya. Setelah dia turun, badannya sudah hancur, remuk, berdarah-darah. Lalu dia dikerubuti teman-temannya, disembahyangi, didoain. Saya kira Katri mati, tapi belakangan saya dengar kabar ternyata dia masih hidup.
Setelah itu, pagi-pagi sekali, saya dibangunkan. Giliran saya dipanggil ke atas. Saya pikir nasib saya akan sama dengan Katri. Waktu itu saya ditanya apakah Bung Nyoto pembinanya Bung Karno, siapa saja yang datang ke rumah. Saya jawab, saya hanya pendamping Pak Nyoto, saya tidak tahu urusan politik. Saya sibuk di belakang, mengurus anakanak saya. Para penanya berpakaian sipil. Salah satunya terkenal sebagai tukang siksa, saya lupa namanya. Dia membawa tongkat kayu panjang.
Selain saya, ada tiga anak perempuan yang dipanggil. Tapi, ketika saya naik, mereka kok tidak ada. Rupanya, mereka disuruh mijitin petugas.
Saya diperiksa sampai pagi, sekitar pukul 05.00 WIB, dan berhenti setelah tahu Teti menangis. Saya sempat tidur sekitar sejam, lalu kami dibawa ke Semarang naik mobil sedan milik seorang kapten—saya lupa namanya. Mereka duduk di depan, saya di belakang dengan anak saya dan seorang penjaga. Sepanjang jalan, si kapten tidur melulu. Tapi kami sempat diajak makan siang. Teti tidak menangis. Rupanya, dia senang bepergian.
Pemberhentian kami selanjutnya ternyata adalah asrama pelajar Tionghoa di Semarang. Bagus gedungnya. Di sana penuh tahanan, campur lelaki dengan perempuan. Saya ditaruh di paviliun sendiri dan punya kamar mandi sendiri. Tempat tidurnya dua, bertingkat. Pelayannya juga ada, seorang anak muda perempuan Tionghoa, dari ITB (Institut Teknologi Bandung). Dia membawakan makanan untuk kami. Saya mencuci, dia yang membawa ke belakang, menjemur cucian.
Makan di asrama ditanggung keluarga para tahanan. Mereka diwajibkan menyetor makanan ke dapur umum. Ada abon sekarung, ada dendeng banyak. Saya gemuk di sana, makanannya enak, tidak seperti di Kodim yang cuma lauk sepotong tempe rebus.
Waktu itu keluarga tidak tahu keberadaan kami. Untungnya, saya bertemu dengan seorang petugas yang asli Baturetno. Lalu saya titipkan pesan tentang keadaan kami.
Setelah itu, kami dibawa ke Bulu, Semarang. Tempat tidur sel terbuat dari semen dengan dua kaki, seukuran kasur single. Tahanan anak-anak muda tinggal ramai-ramai di satu sel.
Karena Bulu adalah bekas tahanan tua, peninggalan pemerintah kolonial Belanda, keadaannya wingit. Kata orang-orang, mereka sering melihat tangan putih berbulu. Tapi saya tidak pernah melihatnya. Anak-anak muda itu tidur di atas tikar brodol (sobek-sobek), di tengah-tengah mereka ada orang tinggi besar lunjak-lunjak. Ada yang melihatnya, tapi tidak berani membangunkan teman-teman lainnya yang tidur.
Tahanan yang dianggap penting memang dipisahkan. Ketika saya masuk Bulu, petugas penjara sudah memperingatkan yang lain, ”Jangan diajak ngomong ibu itu, jangan dekat-dekat dengan ibu itu.” Tapi Teti banyak yang suka, dia baru 2 tahunan. Orang-orang mikir, ini kok anaknya putih seperti indo, tapi ibunya hitam seperti orang Ambon. Teti memang mirip Pak Nyoto.
Di Bulu itu, saya kerja. Ada pertanian, pembatikan, pertenunan. Kain yang ditenun diwarnai biru, lalu dikirim ke penjara khusus pria di Semarang juga. Saya lupa namanya. Di sana kain itu dipotong-potong, lalu dikembalikan lagi ke Bulu untuk dijahit menjadi baju seragam tahanan. Nah, saya yang bagian jahit. Kerjanya dari pukul 8 pagi hingga siang. Upahnya singkong rebus dua batang atau cabe sebungkus kecil.
Dari Bulu, mendadak kami dipindah ke Jakarta. Baju-baju saya dan milik Teti sudah rapi dipak. Kami juga dibekali sayur. Para tahanan menangisi Teti karena dia kan lucu. Banyak juga yang minta Teti untuk dijadikan anak.
Sampai di Jakarta, kami langsung dibawa ke Bukit Duri. Banyak yang saya kenal. Sekjen Gerwani Bu Katinah, ada juga dr Tanti Aidit yang ditahan di sel isolasi. Ibunya Tanti, Bu Mudigdjo, yang waktu itu sudah sepuh, juga ditahan di sana.
Yang menyenangkan di Bukit Duri, saya bisa banyak berolahraga, pingpong, badminton (Soetarni pernah ikut PON I hingga III untuk cabang olahraga bola keranjang). Dari Bukit Duri, saya dipindah ke Plantungan. Yang kasihan adalah tahanan kloter pertama. Karena semuanya serba rahasia, mereka tidak sempat bawa apa-apa. Tapi, untuk pengiriman tahanan selanjutnya, tidak demikian lagi. Saya dikirim gelombang ketiga, saat semuanya sudah baik dan bersih. Saya ini serba beruntung.
Plantungan adalah bekas rumah sakit lepra, letaknya dekat Temanggung, Jawa Tengah. Udaranya dingin. Bangunannya sudah tua. Waktu kami masuk, usia bangunan sudah seratus tahun. Ada juga hantunya. Wong ibu-ibu kalau akan ke musala untuk sembahyang, lewat pohon belimbing, ada yang menegur, ”Jam berapa, Bu?” Lalu mereka lari. Di sana juga banyak ular. Pawang yang dipanggil ke sana setiap hari dapat sekarung.
Tugas saya di Bulu menjahit, hingga lembur sampai tidak tidur karena diminta menjahitkan baju para petugas penjara. Mereka kadang seenaknya minta pakaian mereka cepat selesai. Jadi, di Plantungan saya pindah profesi ke pertamanan. Pekerjaan yang sampai saat ini masih dilakoni, kendati dengan motif berbeda: mengisi waktu.
Lain keluarga Nyoto, lain pula keluarga D.N. Aidit. Ilham Aidit, anak keempat mantan Ketua Umum CC PKI itu, terus-terang: ”Setiap September, hidup saya selalu lebih tegang.”
Ilham—lahir di Moskow, 18 Mei 1959—tidak pernah tahu nasib ayahnya hingga dua tahun lalu, ketika jasad ayahnya ditemukan di sebuah sumur tua di Boyolali, Jawa Tengah. Tragedi G30S telah mengubahnya dari putra seorang tokoh penting menjadi pelarian, yang masih dirasakan sampai kini.
Ilham ingat satu peristiwa kecil menjelang Natal tahun 1967 di Bandung. Empat tentara datang ke rumah dan menghardik-hardik paman mereka, Pak Mulyono. Mereka mengatakan bahwa paman telah memelihara anak setan. Sesaat kemudian, datanglah sang paman bersama keempat tentara itu menghampiri Ilham yang sedang bermain. ”Ini yang kalian sebut anak setan,” kata paman, telunjuk ke arah dirinya. Para tentara lalu menodongkan moncong senjata yang terkokang ke kepalanya. Tapi salah seorang lantas nyeletuk dalam bahasa Sunda, ”Ternyata masih kecil.” Mereka berlalu. ”Untung usia saya waktu itu baru delapan tahun. Jika sudah 17 tahun, mungkin saya sudah ditembak,” kata Ilham.
Ia menjadi anak yang berontak terhadap kondisi. Ia menggunakan tinju menghadapi siapa saja yang berguyon bahwa ayahnya telah ditembak atau digantung. Ia menghantam orang yang memanggilnya ”hei, PKI”. Ia terus berkelahi, sampai psikolog M.A.W. Brouwer mengingatkan agar tak membuang energi percuma. ”Saya tahu kenapa kamu marah,” katanya. Psikolog itu menyebut: ayahnya mati mempertahankan apa yang diperjuangkannya. Ia merasa lega. Sejak itu, ia rajin naik gunung dan mendengarkan cerita korban lainnya untuk memuaskan rasa ingin tahu.
Keluarga Aidit tercerai-berai akibat tragedi itu. Ibarruri dan Ilya Meliani, anak nomor satu dan dua, sekolah di Moskow, kemudian pindah ke Cina, Belanda, dan Prancis. Ibu mereka dipenjara 17 tahun, hingga 1982. Sampai saat ini, stigma miring sepertinya masih menempel pada diri mereka. Dua tahun silam, rumah Ilham di Denpasar dijaga warga setempat karena ada selebaran bertuliskan ”Tahukah Anda, rumah ini dihuni anak gembong PKI, Aidit”.
Di negeri ini, ”kesalahan politik” itu memanjang, melampaui satu generasi. Untuk mengatasinya, anak-cucu mereka harus ”ahistoris”. Irina, anak kelima Nyoto, mengaku tidak tahu nama dan pekerjaan ayahnya hingga tamat SMA. ”Baru setelah di Jakarta, saya 18 tahun, bertemu dengan kawan-kawan bapak, mendengar cerita dan melihat wajah bapak ketika rapat melalui slide,” kata Irina, 43 tahun.
Ia ikut saudara. Ia mengaku tumbuh menjadi sosok yang tertutup dan misterius. Oleh teman-temannya, ia juga dinilai aneh karena dianggap tidak jelas asal-usulnya.
Keadaan ini menimpa siapa saja, di mana saja. Uchikowati, anak mantan Bupati Cilacap, Jawa Tengah, D.A. Santosa, misalnya. Usianya masih 13 tahun ketika rumah dinas ayahnya dikepung massa berpakaian hitam-hitam, pertengahan Oktober 1965. Mereka berteriak-teriak, ”Gantung Aidit. Hancurkan PKI.” ”Saya dan ketiga adik saya dan ibu ketakutan,” kata Uchi.
”Saya mendengar siaran radio, PKI harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Malah, kalau di desa, dihancurkan hingga ke cindil-cindilnya,” katanya. Uchi tidak paham apakah ayahnya orang PKI atau bukan. Yang jelas, ayahnya ditahan di Nusakambangan dan ibunya, Hartati, dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Bulu, Semarang. Pengadilan memvonis: Santosa terbukti melakukan tindak pidana subversif.
Sebagai anak sulung, Uchi mengambil alih tanggung jawab. Ia berjualan dan menjahit pakaian untuk menghidupi adik-adiknya. Tapi hingga ibunya dilepas pada 1973, dan ayahnya pada 1980, ia tetap tak mendapat jawaban apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya menjabarkan posisi ”dilematis” ayahnya. ”Kalau di antara tahanan PKI, ayah disebut Soekarnois. Sedangkan di antara Soekarnois, ia dikatakan PKI.” Dan, ”Saya tidak tahu cerita di penjara, saya juga tak tahu apakah mereka disiksa. Saya hanya bisa bersyukur bisa melewati semuanya.”
Jarak antara Oktober 1965 dan generasi selanjutnya memang lebar. Bagi Witaryono, anak Setiadi Reksoprodjo, mantan Menteri Listrik dan Ketenagaan Kabinet Dwikora, yang saat itu berusia lima tahun, kejadian itu berarti menjenguk ayahnya di penjara. Itu aktivitas rutin yang dilakukannya selama 11 tahun, sepanjang ayahnya menginap di penjara Inrehab (Instalasi dan Rehabilitasi) Nirbaya–letaknya sekarang di sebelah Taman Mini Indonesia Indah. Tempat itu sudah dihancurkan. Kenangannya menarik:
”Ketika kecil, saya menganggap membesuk bapak seperti piknik, karena ibu selalu menyiapkan makanan yang dimasukkan dalam keranjang rotan. Di ruang kunjungan yang luas sekali itu, saya selalu bertemu dengan anak-anak menteri atau tokoh-tokoh lain yang ditahan.”
Tempat itu memang bagus sekali, karena tahanan itu memang sengaja dibangun Bung Karno sebagai penjara yang manusiawi bagi tahanan politik. Tapi kemudian, tempat itu malah digunakan mengurung menteri-menteri Bung Karno. Setiap tahanan ditempatkan di sebuah paviliun sendiri.
”Menjenguk bapak adalah ritual bertahun-tahun. Ketika kami tumbuh semakin besar, bertemu dengan ayah cukup sebentar saja. Sisa waktunya (berkunjung dari pukul 10.00 sampai 15.00 WIB) digunakan berkumpul sesama remaja. Laki-laki kumpul, begitu juga para perempuannya. Di antara kami mulai lirik-lirikan. Jika ada gadis cantik, anak siapa gitu, yang tidak datang di hari besuk tertentu, kelompok laki-laki mulai bertanya-tanya dan merasa kehilangan.”
Peristiwa yang menimbulkan ratusan ribu bahkan—mungkin—jutaan korban itu terlalu pahit dikenang. Keluarga besar Brigadir Jenderal Supardjo, mantan komandan tempur konfrontasi dengan Malaysia, memilih menolak melihat ke masa lalu. Meski satu di antara 12 anak almarhum menuturkan satu hal pahit yang terus melekat dalam memori:
”Pada hari ayah dieksekusi, 16 Mei 1970, ayah minta anak-anak dan istrinya berkumpul di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo (tempat ini sudah diruntuhkan, dulu letaknya di dekat SMUN I, Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat).” Waktu itu ayahnya dilarang bertemu dengan ibunya untuk sungkem.
”Dua jam kami bertemu terasa sekejap. Waktu itu ayah meminta kami menggenggam dan menghancurkan sebuah apel—makanan terakhir yang diminta sebelum eksekusi. Lalu ayah membagikan apel yang ia gigit ke masing-masing anaknya dan diminta untuk menghancurkannya.” ”Kalau kalian terdiri dari kepingan-kepingan kecil, akan gampang dihancurkan. Tapi jika kamu bersatu, mungkin akan hancur, tapi dibutuhkan kekuatan besar. Sekolah yang baik, bentuklah keluarga kecil yang baik, jangan berpolitik, jadi penonton saja,” demikian wejangan terakhir sang ayah.
Saat terakhir itu masih terbayang jelas. ”Saya lihat ayah berjalan menuju tempat eksekusi. Dia mengenakan baju olahraga putih yang menurut dia bisa sekaligus untuk kafan. Ayah tenang, berjalan menuju lapangan sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.”
Di antara kita, hiduplah trauma yang tak lekas berakhir. Teuku Iskandar Ali, pria kelahiran Langsa, Aceh, 69 tahun lalu, mengalaminya. Awal 1970, ia dibebaskan dari penjara Tangerang. Salah seorang kemenakannya, tentara berpangkat letnan satu, menjemput dan membawanya ke asrama. Tapi ia dilarang tinggal di sana karena sang keponakan tak bisa melindungi bekas tapol. Pun ketika mencoba bertandang ke salah satu keluarganya di daerah Senen, Jakarta Pusat, si pemilik rumah malah ketakutan setengah mati melihat kedatangannya. Pak Is sedikit meradang dengan sambutan seperti itu.
Ia memutuskan menutup ”aib” itu rapat-rapat. Bahkan istrinya yang dinikahinya pada 1976, Tatik Iskandar, baru setahun ini mengetahui bahwa suaminya ditahan sepanjang 1966-1970. Kini ia sadar, ”Pantas waktu itu dia selalu melarang jika saya menggantung foto Bung Karno,” kata Tatik yang pengagum Soekarno itu.
Tragedi-tragedi serupa bisa menimpa baik si kiri maupun si kanan. Apapun, yang jelas tragedi dan ironi yang berlarut-larut merupakan arang yang mencoreng suatu kemenangan.
Bina Bektiati, Evieta Fadjar, Nurdin Kalim, L.N. Idayani, Rofiqi Hasan (Bali).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo