Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fleksibilitas televisi memang luar biasa. Menjelang Lebaran ia bisa begitu khusyuk bersembahyang, tapi mendekat Natal tiba-tiba sangat meriah merayakannya. Ini memang menjadi bagian dari komersialisme televisi yang ada di mana pun di seluruh dunia. Religiositas hanya bagian dari mata dagangan yang sama tempatnya dengan mata dagangan lain semisal jurnalisme, infotainmen, dan olahraga.
Namun tidak selalu begitu bagi penonton. Religiositas, salah satu tema paling esensial dalam kehidupan manusia, erat kaitannya dengan identitas yang ambigu. Di satu sisi, religiositas mendaku identitas yang kental dalam berbagai aspek simbolis yang erat kaitannya dengan toleransi, dan di sisi lain punya nilai represi dalam menentukan benar dan salah. Simbol keagamaan—dalam contoh Islam—seperti jilbab, peci, sajadah, dan salat merupakan hal yang tak bisa dipermainkan begitu saja bagi penganutnya.
Televisi belakangan menyajikan sesuatu yang mengerikan berupa eksploitasi simbol religiositas ini. Serial televisi—sinetron—menyajikan banyak tema religius dalam judul seperti Hikmah, Taubat, Rahasia Ilahi, dan Siksa Kubur. Sinetron dengan tema religius ini umumnya mengaitkan sikap religius tokoh-tokohnya dengan imbalan dan hukuman yang langsung bisa dilihat dalam kehidupan dunia. Umumnya narasi yang diajukan adalah tokoh baik yang taat beribadah dizalimi oleh tokoh jahat, yang berbuah pada imbalan bagi tokoh baik dan hukuman bagi tokoh jahat. Hukuman bagi tokoh jahat itu biasanya berupa hukuman (yang ditafsirkan) sebagai hukuman ilahiah seperti siksa kubur.
Aspek komersial tema religius ini tercium dengan melihat bahwa fenomena kemunculan sinetron semacam ini merupakan ikutan dari sukses majalah Hidayah di pasaran. Majalah itu memiliki oplah tertinggi saat ini, hingga 200 ribu eksemplar. Dengan keberhasilan majalah ini mencapai oplah setinggi itu, jelas ada pasar yang besar terhadap tema-tema yang diangkat oleh majalah ini.
Ini adalah mekanisme daur ulang pada bisnis hiburan seperti televisi. Televisi akan terus mencari-cari sumber tema dan ungkapan baru karena kecenderungan cepatnya tema dan ungkapan lama menjadi usang. Agar televisi bisa bertahan terus di tengah persaingan yang semakin hebat dan cepat, daur ulang tema adalah cara yang paling aman. Dengan daur ulang semacam ini, televisi tak perlu lagi membuka pasar yang baru. Mereka tinggal mengubah cara tutur untuk materi yang sudah ada dan punya pasar yang sudah jelas.
Narasi religiositas yang didaur ulang ini punya konsekuensi signifikan yang mungkin tak disadari oleh televisi. Ada perbedaan mendasar antara televisi dan majalah. Pertama, majalah merupakan media dengan tingkat kesukarelaan tinggi. Orang membeli majalah dengan kesadaran untuk mendapatkan isinya, sehingga pembaca majalah relatif siap dengan isinya. Kedua, representasi yang dilakukan majalah adalah representasi terbatas, tatkala realitas tidak berusaha ditiru sedekat mungkin tapi diwakili secara berjarak. Televisi—dan media audio visual—sejak awal berusaha meniru realitas tanpa jarak.
Kesukarelaan yang rendah dan representasi tak berjarak ini membuat narasi televisi menjadi absolut dibandingkan media lain. Televisi menghadirkan representasi kenyataan tanpa menyediakan pilihan banyak kepada penonton. Memang ada remote control yang bisa membuat penonton memilih, tetapi ketika semua tayangan berisi tema serupa pada waktu yang sama, ini berarti tak ada pilihan buat penonton.
Implikasi lain dalam soal narasi adalah soal kebenaran yag diajukan oleh tayangan-tayangan religius ini. Jika dalam narasi sinetron nonreligius, tokoh baik/jahat, benar/salah adalah soal perilaku, kini hal itu dikaitkan dengan simbol-simbol religius. Tokoh baik/benar selalu berjilbab, berpeci, salat, berdoa sambil menangis, sementara tokoh jahat selalu digambarkan kejam, tak beragama dengan baik, culas, atau berpenyakit hati lain. Jika, tadinya kebenaran tampil tanpa beban simbolis semacam ini, dalam narasi sinetron religius jadi penuh simbol.
Terjadilah absolutisme dalam pengajuan nilai kebenaran di sini. Kebenaran selalu dikaitkan dengan religiositas yang tampak aneh dalam tayangan televisi. Kebenaran beriringan dengan simbol agama/imbalan, dan segala yang salah selalu berkait dengan pembangkangan terhadap agama/hukuman. Lebih dari sekadar pendangkalan makna agama/religiositas, pada narasi semacam ini terjadi juga pemutlakan terhadap agama tertentu sekaligus tak memberikan peluang pada kebenaran model lain.
Dengan mengikuti logika komersial televisi, pemutlakan ini terjadi semata lantaran pertimbangan komersial dan tak berhubungan dengan keyakinan. Jika tema ini sudah usang dan didaur ulang—sesuai dengan sifat alamiah bisnis hiburan yang dianut televisi—akan terbuka kemungkinan bahwa nilai kebenaran akan berubah lagi. Siapkah Anda sebagai penonton akan hal ini?
Ya, fleksibilitas televisi memang luar biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo