Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menyetop ekspansi sang gurun

Departemen perdagangan internasional dan industri jepang (miti) bekerja sama dengan institut gurun pasir mesir memanfaatkan resin akrilik untuk mengubah gurun pasir menjadi tanah pertanian.

19 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYUBURKAN gurun pasir dengan bahan pembalut wanita? Ini bukan impian, tapi temuan baru yang akan dicoba diterapkan oleh Departemen Perdagangan Internasional dan Industri Jepang (MITI). Bekerja sama dengan Institut Gurun Pasir Mesir, MITI bermaksud memanfaatkan resin akrilik -- yang selama ini banyak dipakai sebagai bahan popok bayi kertas dan pembalut wanita -- untuk mengubah belantara pasir menjadi tanah pertanian. Saat ini diperkirakan 25% dari luas bumi berupa gurun pasir. Yang memprihatinkan, gurun pasir terus meluas sekitar 6 juta hektar setahun, terutama di kawasan Afrika, Timur Tengah, serta Asia Tengah. Padahal, 10 tahun silam ekspansinya cuma 1,5 juta hektar per tahun. Sebagian besar ini akibat ulah manusia dan hewan, misalnya pembakaran hutan untuk membuat ladang. Krisis makanan, yang belakangan sering menghantam beberapa negara Afrika, diduga antara lain disebabkan oleh meluasnya sang gurun. Timbul gagasaan: bagaimana cara mencegah perluasan gurun pasir? Bila gurun tersebut bisa diubah menjadi lahan pertanian, bukankah bahaya kelaparan bakal teratasi? Masalahnya, gurun pasir tak bisa menahan air hujan. Air hujan yang turun langsung menyerap ke dalam tanah atau mennguap begitu kena sinar matahari. Karena itulah MITI menyiapkan rencana: menebarkan resi akrilik di gurun hingga "mengikat" air hujan. Proyek yang dinamakan Green Earth (Bumi yang Hijau) ini direncanakan akan dimulai April tahun depan. Resin akrilik yang bentuknya mirip bubuk garam putih ini punya kemampuan mengisap air yang hebat, 500 sampai 1.000 kali dari beratnya sendiri. Satu garam resin akrilik, misalnya, bisa mengisap air sampai satu liter. Resin akrilik ini tak berwarna (bila dicampur air), tak berbau, dan tak beracun. Karena itu bahan ini belakangan makin banyak dipakau sebagai bahan pengisap air pada popok bayi atau kertas pembalut wanita. Namun, resin akrilik ini punya kelemahan: bila kena sinar ultraviolet, makromolekul resin ini dapat terurai. "Bila resin akrilik mengandung terlalu banyak air, akar tumbuh-tumbuhan bisa membusuk," ujar Yuji Tokumasu, 30 tahun, asisten direktur dari Seksi Kerja Sama Ekonomi MITI. Karena itu, kini sedang diteliti komposisi resmi akrilik yang paling tepat sebelum disebarkan ke gurun pasir. Penelitian ini dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Tottori, Jepang. Di sini dilakukan percobaan pemeliharaan kembang. Pot A adalah bunga yang ditanam di tanah biasa. Pada pot B tanahnya dicampur resin akrilik 5%, sedang pot C campurannya 10%. Hasilnya: bila pot-pot itu disiram air tiap hari, semua bunga itu tumbuh. Bila disiram tiap tiga hari, bunga di pot A berguguran, pot B sebagian gugur, sedang pot C tetap tumbuh baik. Bila siraman air itu tiap lima hari, hanya kembang di pot C yang terus tumbuh. Menurut Dr. Masao Toyama, 48 tahun, asisten profesor dari Lembaga Penelitian Gurun Pasir Universitas Tottori, resin akrilik ini bisa pula dimanfaatkan di wilayah yang berbatu karang, bahkan juga di negeri seperti Indonesia yang mengenal musim hujan dan kemarau. Caranya, menjelang musim hujan berakhir, campurkan resin akrilik pada tanah. "Dengan begitu, tanaman akan tetap tumbuh baik bila musim kemarau tiba," kata Toyama. Dari penelitian Toyama diketahui, bila satu hektar lahan pertanian memerlukan satu ton air untuk menghidupi tanamannya, jumlah air yang sama bisa dimanfaatkan untuk satu setengah hektar lahan bila tanahnya dicampur resin akrilik. "Masalahnya, resin ini mahal," kata Toyama. Di Jepang harga resin akrilik kini 700 sampai 800 yen per kilogram. Dalam tahap awal Proyek Bumi yang Hijau ini, yang terlebih dahulu akan dicegah adalah pemekaran gurun dengan cara menghijaukan garis gurun yang terdepan. "Baru setelah itu penghijauan gurun dimungkinkan dengan menyemprotkan resin akrilik bersama biji tumbuh-tumbuhan pada permukaan gurun," kata Yuki Tokumasu dari MITI. Untuk itu MITI bermaksud membangun sebuah pabrik yang mampu memproduksi resin akrilik itu sebanyak 5 ton per hari di Mesir. Diperhitungkan selama masa lima tahun pembangunannya akan menelan biaya 775 juta yen. Untuk proyek kemanusiaan ini, berbagai universitas dan perusahaan kimia di Jepang akan dilibatkan. Jepang, yang memproduksi 60.000 ton resin akrilik pada 1986, merupakan produsen terbesar di dunia. Meski proyek Bumi yang Hijau ini belum dimulai, sejumlah negara yang menghadapl ancaman meluasnya gurun -- seperti Arab Saudi dan Oman -- telah menghubungi MITI. "Kami memang merencanakan untuk menyuplai teknologi baru ini kepada negara yang membutuhkan," kata Tokumasu. agus Basri (jakarta), Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus