Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pawening tirta dari sagotra

Biji kelor mampu membersihkan air dan menghilangkan bakteri. mulai digunakan di beberapa daerah sebagai bahan penjernih air. murah dan praktis serta bermanfaat bagi masyarakat pedesaan.

19 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAKULA dan Sadewa kehausan di tengah hutan. Keduanya merengek-rengek minta minum. Sang kakak Arjuna pun mencoba menelusuri belantara mencari air bersih. Dunia ternyata memang tidak selebar daun kelor. Dalam perjalanannya, satria Pandawa ini bertemu Sagotra dan istri -- sepasang suami-istri yang belum dimangsa raja raksasa Prabu Baka. Perkelahian pun terjadi. Arjuna menang. Sebagai ungkapan terima kasih, pasangan Sagotra mempersembahkan biji kelor untuk pawening tirta (penjernih air). Cuplikan cerita Mahabharata tentang nasib Pandawa yang kalah judi dan harus menyingkir ke hutan ini termuat dalam komik berjudul Sagotra Membalas Budi. Gubahan cerita wayang ini disuguhkan oleh Yayasan Dian Desa Yogya kepada warga penduduk Tepus -- secara cuma-cuma guna memperkenalkan biji kelor sebagai bahan penjernih air. Hasilnya: manfaat biji kelor itu "termakan" oleh warga Sumberwungu, Tepus, Kabupaten Gunungkidul. Di desa langka air jernih itulah kemudian TVRI Yogyakarta melakukan pengambilan film tentang manfaat biji kelor itu dengan judul Air Sumber Kehidupan. Cerita ini berhasil meraih gelar juara III lomba Gatra Kencana yang diadakan antarstudio TVRI pada 1986. Ternyata, film itu bulan lalu meraih Special Prize dalam The Japan Prize International Educational Program Contest, 1987. Biji kelor sebagai penjernih air semula diperkenalkan oleh Yayasan Dian Desa -- sebuah lembaga swadaya masyarakat -- yang bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran UGM, pada 1984. Bertolak dari keprihatinan terhadap nasib warga Gunungkidul dan Wonogiri yang mengalami kesulitan air jernih, Dian Desa mencoba mencari penawar yang ada di seputar desa. Menurut Djoko Srihono, Dian Desa lantas mencoba melakukan penelitian laboratoris mengenai dosis biji kelor yang tepat untuk penjernih air, pengaruhnya terhadap tubuh manusia, dan kualitas air yang telah dijernihkan. Dari hasil penelitian itu diperoleh kepastian bahwa satu biji kelor ternyata mampu menjernihkan seliter air. Dan tidak menimbulkan efek sampingan. "Secara fisis penggunaan biji kelor ini memenuhi syarat karena mampu menghilangkan 99 persen populasi bakteri air," kata Djoko Srihono. Sifat dan fungsinya seperti tawas. Biji kelor yang bersayap juga disebut-sebut mengandung kalsium. "Kandungan kalsiumnya memang sangat kecil, tapi memiliki daya kerja yang besar," katanya. Pada pengamatannya, satu biji kelor tua yang kering, setelah ditumbuk halus, diaduk dengan satu liter air, dan didiamkan 1-3 jam, ternyata mampu memilahkan air yang jernih dari endapan. Tinggallah air yang sudah siap pakal itu dipindahkan. Tapi air bersih ini hanya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari. Bila dipakai untuk kebu tuhan esok hari, ia akan berbau busuk. Sebab, "Biji kelor itu megandung protein dan ia berkontaminasi dengan air," kata Djoko, alumnus Fakultas Farmasi UGM. Dian Desa lantas mengenalkannya kepada warga Gunungkidul. Kemudian Dian Desa melakukan kerja sama dengan Fakultas Kehutanan UGM dan sebuah lembaga kerja sama teknik Jerman Deutsche Gessellschaft fur Technische Zusannenarbeit -- mengembangkan hutan kelor di kawasan hutan Wanagama, milik Universitas Gadjah Mada di Gunungkidul. Hutan seluas dua hektar itu dijadikan pusat penelitian dan pengembangan kelor. Di sana kini tengah dikembangkan tiga jenis spesies kelor dari India, Afrika, dan Indonesia. Pemanfaatan kelor juga dilakukan di Bandung. Puslitbang Permukiman Departemen Pekerjaan Umum, dan laboratorium mikrobiologi ITB menjalin kerja sama melakukan penelitian. Hasilnya, Mei 1986, tim ini berhasil menemukan manfaat biji kelor. Temuan ini sudah disampaikan kepada Menteri Pekerjaan Umum, 27 November lalu. Dalam pengujian di sebuah tong air berukuran 25 liter, biji kelor mampu menyerap zat warna. Ia memiliki kandungan kimia antara lain myrosin asam gliserid, asam palmitat, asam stearat, minyak, dan senyawa yang bersifat bakterisidis. Adanya unsur bakterisidis membuat biji kelor berfungsi ganda. "Sebagai penjernih air dan jua pembasmi bakteri," kata Lya Taufik Kamil, seorang staf bidang Lingkungan Perumahan dan Teknik Penyehatan dari Puslitbang Permukiman PU. Menurut Lya, yang mengkoordinasikan penelitian, bahan yang dipakai adalah air tanah -- keruh atau berwarna -- yang tidak mengalami pengotoran berat. Tapi bukan air payau. Sedangkan pengolahnya adalah biji kelor tua yang kering dan ditumbuk halus sebagai koagulan (penggumpal) dan desinfektan dosis 1-6 biji untuk seliter air. Kemudian arang sebagai penyerap zat organik, bau, dan warna berdiameter 0,5-1 cm, dan pasir untuk media penyaring yang bergaris tengah 0,3-1,2 mm, masing-masing setinggi 35 cm. Juga kerikil berdiameter 12-30 mm dengan tinggi 10 cm. Semuanya ini dimasukkan ke dalam sebuah tabung bergaris tengah 15 cm dan tinggi 120 cm. Tahap pertama berupa pengadukan, penggumpalan, dan pengendapan. Dalam proses ini partikel-partikel koloid penyebab kekeruhan dan warna yang ada pada air baku akan tercampur larutan tepung biji kelor. Kemudian akan terjadi penggumpalan dan pengendapan. Antara lain unsur myrosin itulah yang menyerap warna. Langkah kedua adalah penyaringan danpenyerapan. Di sini filter akan menyaring partikel-partikel yang belum sempat terendapkan, serta menyerap zat organik dan bau yang masih tersisa di dalam air. Setelah proses penjernihan berlangsung dua jam, air dinyatakan "siap pakai". Pokoknya, "Hanya dengan biaya Rp 28.500,00 sudah tersedia instalasinya," kata Lya. Peralatan yang diperlukan meliputi sebuah tong pengaduk/pengendap bersama perlengkapannya. Lalu tabung penyaring dan tempat dudukan tong pengaduk. Di Gunungkidul peralatan yang dipakai malah lebih sederhana: tempayan air biasa dengan dua mulut, yang di bawah untuk mengeluarkan endapan air. Kalau mau air bersih, tinggal buka saja mulut yang di atas, air bening pun akan mengucur. Agus Basri, I Made Suarjana, Hasan Syukur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus