KONON, menurut seorang filsuf terkenal Prancis, "Kebenaran bersembunyi justru di antara celah-celah nuansa." Dan ini bukan suatu dongeng yang tercatat di buku kuno. Tetapi Rabu malam 9 November lalu, di Gedung Kesenian Jakarta, Lim Kek Beng bergelora di celah-celah nuansa itu. Kek Beng meninggalkan Indonesia 1946 untuk menambah ilmu. Sejak itu, bakat yang tak kepalang tanggung ini menjelajahi tempat-tempat terpenting di dunia. Bukan kebetulan Kek Beng belajar di Belgia dan menurun ilmu dari C. Bartsch, murid empu Pablo Casals. Di Paris Conservatoire National de Musique ia belajar pada A. Navarra dan P. Pasquler -- keduanya cellis dunia. Dan sederatan nama legendaris seperti George Enesco, empu yang adalah juga gurunya Yehudi Menuhin, violis ternama dunia. Andres Segovia, M. Torassi, Gaspar Cassado, dan sebagainya adalah artis dunia yang menularkan percikan api yang menyentuh dawai sanubari orang seperti Lim Kek Beng. Sungguh bekal masif dalam proses pematangannya sebagai seniman. Malam itu Kek Beng beruluk salam dengan dua masterpieces vang terbagi atas Toccata karya Girolamo Frescobaldi (1588-1644) dan Sonata Pietro Locatelli (1693-1764). Mereka pencipta dari Italia dari abad Barok, yang periodenya justru sangat mengandalkan kemampuan improvisasi si pemain. Kek Beng secara gemilang menghadirkan perbedaan nuansa antara dua raksasa, Frescobaldi yang improvisator brilyan dan Locatelli pencipta produktif yang bersifat perfeksionis dalam detail. Kedua karya sungguh menjadi mutiara sempurna di tangan Kek Beng. Bagian kedua acara malam resital itu dihalau empat caracter pieces -- masing-masing berpindah suasana secara dahsyat. Dua karya Gabriel Faure, pencipta nasionalis Prancis (1830-1914), Elegle (Syair Keluhan) dan Papillon (Kupu-Kupu) sangat bertolak belakang dalam sifat. Sapuan derita yang dilukis Kek Beng dalam Elegie bukan hanya meraih keunggulan ekspresi. Ia juga mengundang melankoli Faure sebagai penyair jantan. Jauh dari iklim cengeng yang mudah nyelip bila si pemain tak punya kendali kuat. Kegelisahan Papillon sempurna dalam napas pendek-kecil berjalur kontinyu. Kol Nidrei (Tanah Airku Tercinta) karya Max Bruch (1838-1920) dari Jerman lebih gamblang lagi dalam susunan kendali emosi Kek Beng. Karya pencipta Bruch ini bertolak dari iklim batin yang dalam. Melalui jalur-jalur gelap berliku ia pembawa kilat api. Membara tanpa gemuruh. Bagi saya sungguh mencekam. Kek Beng menutup dengan Vanasi Rococo (Hiasan) karya Peter Tchaikovsky (1840-1893). Karakter suatu ornamen menuntut disposisi khusus dalam teknik permainan. Karena hiasan itu harus terasa memperindah. Bukan sebaliknya. Perbedaan kecil dalam setiap variasi disuguhkan rapi, indah dan elegan. Sebagai lagu imbuh ia memilih Le Cygne (Angsa) karya pencipta Prancis, Saint-Seans. Dan angsa itu memang anggun, sesuai dengan kodratnya. Sebagai pengiring pada piano, andil dan tanggung jawab Oerip Setiono Santoso tak kecil. Sebagai partner ia tanggap menelusuri celah celah Kek Beng. Suatu prestasi yang boleh dicatat positif, meskipun kadang masih diperlukan keseimbangan suara untuk menyatu total. Bagaikan suara legendaris Lim Kek Beng menggetarkan dawai-dawai batin penonton. Beribu nuansa ia tebarkan. Bak kembali di malam senyap. Musiknya membekas di sanubari saya, Lim Kek Beng permata hilang yang kita temukan kembali kata John F. Kennedy., mendiang, bekas Presiden kepada bangsanya, "Don't ask what your country can do for you. Ask what you can do for your country," begitu ? Iravati M Sudarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini