SEBUAH cello tua membuat Lim Kek Beng hanyut bersama alunan musik 60 pemain orkes simfoni Institut Seni Indonesia, Yogya. Sebuah simfoni yang sukses di hadapan sekitar 430 penonton yang memadati Gedung Kesenian Jakarta, Jumat dan Sabtu malam lalu. Hujan yang mengguyur Jakarta tak mengurangi minat penonton merogoh kocek Rp 25 ribu untuk pertunjukan yang jarang ini. Penyelenggara (dengan sponsor utama Bank Niaga) berhasil menghimpun sekitar 25 juta rupiah. "Semuanya akan kita serahkan kepada PMI," ujar Robby Djohan, dirut bank itu, yang jadi ketua pelaksana. "Sejak Pak Roesman meninggal, sekitar tiga tahun lalu, ISI tak lagi punya guru cello," kata Prof. But Muchtar, Rektor ISI.. Tetapi Lim Kek Beng, meski berstatus warga negara Belanda, ingin sekali menyumbangkan keahliannya di ISI Yogya. Lim, yang kini menderita kencing manis, tak minta banyak. "Saya cuma berharap hidup layak dengan gaji sekitar 600 gulden, sebuah rumah, dan kendaraan," katanya. Perannya di Radio Hilversum, Belanda, 8 ribu gulden sebulan. Lim matang di Orkes Concertgebouw, salah satu kelas dunia. Hampir sepuluh tahun dia menggesek cello sendirian di sana. Lim boleh dibilang maestro di bidangnya. Dilahirkan di Banjarmasin, 1930, Lim belajar biola dari ayahnya sejak usia 6 tahun. Menginjak akilbalig, Lim memilih cello. Pada 1946 Lim belajar di Konservatorium Musik Amsterdam, lalu main di Simfoni Maartrich. Ketika masih berusia dua puluh, Lim dan sanak famili diboyong ke RRC dan sang ayah memilih warga negara Cina. Kemudian ia hijrah ke Belanda dan ia menjadi besar. Ia pernah bermain khusus untuk Ratu Elizabeth dari Belgia. Pada 1951. Dan ia kembali ke Indonesia dan main cello solo di orkes RRI Jakarta. Pernah mengajar di Kanservatorium Musik Beijing, ia bertemu dengan Lisa, pemain piano yang sering mengiringinya, lalu menjadi istrinya. Lim punya 2 anak, Dokter Linda Lim dan Andi Lim, yang kini guru cello di Koln, Jerman Barat. Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini