Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Korban bencana tsunami 2004 di Banda Aceh dan Aceh Besar mencapai 96 ribu jiwa. Sementara itu korban jiwa di Simeulue hanya lima orang.
Masyarakat Simeulue memiliki pengetahuan tentang smong (tsunami dalam bahasa Simeulue) yang diwariskan oleh nenek moyang mereka berdasarkan pengalaman tsunami 1907.
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan terkait upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana pada satuan pendidikan, tapi tidak berjalan mulus karena masih bergantung pada pihak eksternal dan cenderung tidak berkelanjutan.
BANDA ACEH dan Aceh Besar adalah dua daerah yang mengalami dampak terparah dalam bencana tsunami Aceh 2004. Korban jiwa di kedua wilayah itu mencapai 96 ribu orang. Sedangkan di Simeulue, pulau yang terletak lebih-kurang 150 kilometer dari lepas pantai barat Aceh, korban jiwa hanya lima orang. Bahkan ada sumber lain yang menyebutkan korban jiwa di Simeulue hanya tiga orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu sebabnya adalah masyarakat Simeulue memiliki pengetahuan tentang smong—tsunami dalam bahasa Simeulue—yang diwariskan oleh nenek moyang mereka berdasarkan pengalaman tsunami 1907.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini menunjukkan pentingnya pengetahuan tentang bencana serta bagaimana merawat dan mewariskan pengetahuan tersebut.
Suasana pusat kota Banda Aceh yang hancur setelah dihantam gempa dan diterjang gelombang Tsunami, 28 Desember 2004. Dok.TEMPO/Arie Basuki
Sejauh ini pemerintah dan masyarakat sudah melakukan berbagai upaya untuk mewariskan pengetahuan mitigasi bencana. Dari segi pendidikan, misalnya, berbagai universitas makin serius menekuni bidang kajian bencana alam, bahkan membangun pusat studi untuk meningkatkan ketahanan masyarakat Aceh atas bencana.
Sebut saja Universitas Syiah Kuala dengan pusat risetnya yang bernama Tsunami and Disaster Mitigation Research Center serta Universitas Negeri Islam Ar-Raniry Banda Aceh yang menawarkan mata kuliah kebencanaan di sepuluh program studi. Ada juga Universitas Muhammadiyah Aceh yang membuka program S-1 Manajemen Bencana serta Universitas Teuku Umar, Meulaboh, yang membangun Gedung Pusat Edukasi Tsunami Aceh sebagai tempat edukasi bencana gempa bumi dan tsunami.
Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan peraturan soal upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana pada satuan pendidikan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019 tentang Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).
Namun upaya-upaya tersebut tidak berjalan mulus karena masih bergantung pada pihak eksternal dan cenderung tidak berkelanjutan. Penelitian yang kami lakukan di Banda Aceh pada 2024 (belum dipublikasikan) menunjukkan bahwa simulasi bencana hanya dilakukan ketika pihak eksternal, seperti organisasi nonpemerintah (NGO) lokal ataupun NGO internasional, masih berada di Banda Aceh.
Dari 66 sekolah dasar yang kami teliti, mereka sering melakukan latihan simulasi gempa bumi dan tsunami selama lima tahun selepas tsunami 2004, yaitu pada kurun waktu 2005-2010. Setelah itu, mereka sangat jarang melakukan simulasi bencana lagi.
Integrasi Pengurangan Risiko Bencana dalam Kurikulum
Pemerintah berkewajiban mengintegrasikan materi soal pengurangan risiko bencana (PRB) ke dalam kurikulum nasional, muatan lokal, serta kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Sejauh ini pemerintah telah mengintegrasikan materi PRB ke dalam beberapa mata pelajaran.
Dalam pelajaran agama, misalnya, integrasinya tampak pada pembelajaran tentang ayat-ayat Al-Quran yang membicarakan bencana, seperti Surat Ar-Rum ayat 41 dan Surat Al-Zalzalah. Ini dapat menentukan dan membentuk sikap siswa dalam menyikapi bahaya bencana sehingga terbentuklah sikap tangguh bencana.
Contoh lain, dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, siswa belajar bagaimana mencintai lingkungan serta melindungi alam dengan mengetahui dan memahami bahaya pencemaran, bahaya penjarahan hutan, bahaya alih fungsi lahan, teknologi yang tidak tepat, serta wabah penyakit.
Untuk kegiatan ekstrakurikuler, integrasi pendidikan PRB dapat dilihat pada kegiatan pramuka yang melatih peserta didik menjadi agen perubahan di lingkungannya dalam mengurangi risiko bencana dan membangun kesiapsiagaan bencana.
Namun penelitian kami menemukan bahwa, meskipun integrasi pendidikan PRB sudah dilaksanakan di sekolah, upaya tersebut belum memiliki perspektif kerangka keselamatan sekolah yang komprehensif. Ini mencakup aspek fasilitas sekolah yang aman bencana dan manajemen bencana di sekolah.
Kendala Pendidikan Risiko Bencana di Aceh
Dalam hal simulasi, tersendatnya praktik pendidikan risiko bencana disebabkan oleh beberapa hal.
1. Ketergantungan pada pihak luar
Pihak sekolah kurang memiliki kesadaran untuk melakukan simulasi kebencanaan secara mandiri. Mereka cenderung berharap ada pihak eksternal yang membantu melakukan simulasi.
Memang, masih ada beberapa sekolah yang melakukan simulasi bencana. Namun frekuensinya tidak serutin yang diamanatkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019, yaitu minimal sekali dalam satu semester.
Biasanya sekolah yang melakukan simulasi adalah sekolah-sekolah yang dibina oleh pemerintah atau organisasi kebencanaan di Banda Aceh. Sifat pelatihannya pun lebih seremonial, seperti memperingati hari pengurangan risiko bencana yang biasanya dilaksanakan setiap tahun pada November atau dalam rangka memperingati tsunami 2004.
2. Sosialisasi belum maksimal
Informasi soal Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019 tentang SPAB juga tidak menjangkau semua kepala sekolah dan guru di Aceh. Salah satu informan menyebutkan:
“Saya belum pernah membaca Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang SPAB”. (Kepala SD Negeri 69 Banda Aceh)
Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru di SD Negeri 13 Banda Aceh yang mengatakan tidak tahu isi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.
Hal ini terjadi karena kurangnya pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan SPAB. Penelitian kami menemukan bahwa sekolah-sekolah sudah jarang sekali mendapat pelatihan-pelatihan soal SPAB. Rata-rata informan menyebutkan mereka sering mendapat pelatihan dan melakukan simulasi kebencanaan dalam rentang 2005-2010 setelah tsunami. Setelah tahun-tahun tersebut, sekolah sangat jarang mendapat pelatihan. Kalaupun ada pelatihan, hanya beberapa sekolah yang dilibatkan.
3. Fokus ke program lain
Faktor lain yang menyebabkan pihak sekolah tidak melaksanakan simulasi bencana adalah kesibukan sekolah dengan program-program lain, seperti program sekolah ramah anak atau sekolah antiperundungan. Dengan begitu, pendidikan kebencanaan ditinggalkan.
“Pendidikan bencana ini sudah terlupakan. Kalau ada bencana, baru nanti ada lagi. Sekarang pemerintah lagi gencar-gencarnya mensosialisasi program sekolah ramah anak dan sekolah antiperundungan.” (Guru SD Negeri 13 Banda Aceh)
Suasana pusat kota Banda Aceh yang hancur setelah dihantam gempa dan diterjang gelombang Tsunami, 28 Desember 2004. Dok.TEMPO/Arie Basuki
Bagaimana seharusnya mewariskan pengetahuan bencana
Menurut penelitian Aiko Sakurai dari Toyo Eiwa University, Jepang, dan Muzailin Affan dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, yang dipublikasikan dalam International Journal of Disaster Risk Reduction pada 12 Agustus 2017, ada beberapa cara yang bisa menjadi solusi untuk meningkatkan edukasi kebencanaan di Banda Aceh, yaitu:
1. PRB menjadi bagian dari akreditasi
Sebenarnya peraturan pemerintah soal pengurangan risiko bencana pada satuan pendidikan sudah ada. Tapi efeknya belum kuat. Berdasarkan penelitian kami, salah satu cara untuk memperkuatnya adalah menjadikan PRB sebagai bagian dari akreditasi.
Hal ini berkaca pada hasil wawancara yang menemukan bahwa semua sekolah memiliki alat pemadam api ringan (APAR). Namun pengadaan APAR sebenarnya hanyalah upaya sekolah untuk memenuhi syarat penilaian akreditasi—bukan timbul dari kesadaran pencegahan bencana.
Artinya, dengan menjadikan PRB sebagai salah satu indikator penilaian akreditasi, sekolah bisa terdorong untuk melaksanakan pendidikan PRB. Penerapan ini berpeluang menjadi alat kontrol kepatuhan sekolah, yaitu jika tidak dilaksanakan, sekolah akan mendapat akreditasi rendah.
2. Menyediakan anggaran untuk pendidikan PRB
Penelitian kami menemukan bahwa salah satu alasan tidak dilakukannya pendidikan PRB adalah ketiadaan anggaran dalam rencana tahunan sekolah.
“Pendidikan aman bencana tidak dimasukkan dalam anggaran. Tapi nanti, kalau ada kegiatan dari dinas pendidikan, kami akan merevisi anggarannya.” (Tenaga kependidikan SD Negeri 13 Banda Aceh)
Karena itu, dinas pendidikan perlu mewajibkan dan memastikan setiap sekolah menyediakan anggaran pendidikan PRB setiap tahun.
3. Edukasi PRB untuk guru
Berdasarkan pengakuan guru dan kepala sekolah, pelatihan tentang PRB sangat jarang ditemukan di Aceh setelah NGO selesai melaksanakan programnya. Kalaupun ada pelatihan, hanya beberapa sekolah yang dilibatkan. Walhasil, para guru kurang memiliki kapasitas soal PRB.
Ini berarti pemerintah perlu mengadakan pelatihan khusus PRB untuk guru-guru. Harapannya, mereka bisa menggantikan peran NGO dalam memitigasi bencana, termasuk melakukan simulasi secara rutin.l