Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Negarawan dan Politisi

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM tulisan Bung Ahmad Syafii Maarif berjudul Negarawan dan Politisi di TEMPO Edisi 21-27 Februari 2000, menurut saya, tidak ada pemikiran atau ide baru yang diungkapkan penulisnya. Dalam tulisan itu, penulis hanya mengemukakan ”penafsiran aneh” tentang Presiden Sukarno. Untuk itu, dalam tulisan ini, saya ingin memberikan tanggapan.

Pertama, soal Sukarno dengan latar belakang pendidikan Baratnya. Benarkah Bung Karno pernah mengikuti pendidikan di negara asing (Barat)? Atau, hanya karena para guru dan dosennya orang Belanda, tepatkah seseorang dikatakan ”berpendidikan Barat”? Bila demikian, lalu bagaimana dengan sekolah domestik yang materi pelajaran atau kuliahnya hampir seluruhnya hasil ciptaan orang Barat? Bukankah matematika, elektronika, fisika, sosiologi, psikologi, politik, dan ekonomi, semua materi itu, berasal dari Barat? Kalau begitu, kita semua berpendidikan Barat.

Kedua, masalah orang-orang yang mengelilingi Sukarno: ”Merekalah yang merancang gelar-gelar kebesaran baginya….” Siapakah ”mereka” yang dimaksud Bung Syafii Maarif? Bukankah 19 dari 26 gelar doktor honoris causa yang disandang Sukarno berasal dari negara-negara asing, termasuk dari Timur Tengah? Lalu, adakah ”mereka” pula yang merancang agar negara-negara tersebut menganugerahkan ”kebesaran” tersebut kepada Sukarno?

Ketiga, dalam kalimat: ”Contohnya, seorang Hatta yang negarawan tak berdaya berhadapan dengan Sukarno…,” saya menangkap kesan, seolah-olah Bung Syafii Maarif ”menempatkan” Mohamad Hatta sebagai ”lawan” yang berhadapan dengan Sukarno. Bukankah sejarah telah mencatat bahwa ”dwi-tunggal” tersebut adalah dua dari Bapak Bangsa, pendiri sekaligus proklamator dari republik tercinta ini? Bahwa selama berjuang membina kemerdekaan, keduanya berselisih paham, itu adalah hal yang manusiawi. Sebab, keduanya adalah dua pribadi yang terpisah, dilahirkan di tempat yang terpisah, serta dibesarkan dan dididik di tempat terpisah. Bahwa di kemudian hari Bung Hatta dengan tanpa ragu atau takut mengundurkan diri karena perbedaan itu, menurut saya, itulah justru sikap yang patut diteladankan para politisi dan petinggi negara.

Keempat, ”Dia (Sukarno) terkubur secara tragis bersama sistem yang diciptakannya.” Menurut saya, inilah sejarah yang seharusnya dikuak pemerintahan sekarang. Bagaimanapun, ”ketragisan” nasib Sukarno masih kental disaput tabir ”Supersemar” yang kontroversial. Benarkah Bung Karno runtuh akibat perjalanan akhir politiknya yang menjadi tidak seimbang? Atau karena sekelompok orang yang semula dipercayainya pada waktu itu ”menggunting dalam lipatan”? Sejarah harus memiliki versi yang faktual menurut kadiahnya. Jangan sampai sebuah bangsa telanjur menghujat seorang negarawan kaliber dunia yang, setelah 30 tahun meninggal, kuburnya masih senantiasa ramai diziarahi orang.

Saya sependapat dengan Bung Syafii Maarif bahwa seorang negarawan pastilah politisi, tapi seorang politisi belum tentu negarawan.

SOETRISNO HERCA
Cibinong, Bogor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus