SEEKOR gajah ditemukan mati. Tubuhnya tersangkut di akar-akar liar yang menjuntai di tepi Krueng (Sungai) Usi? Kecamatan Krueng Sabe, Kabupaten Aceh Barat, dengan posisi menelung- kup. Kepalanya tergolek di batu. Belalai, ekor, dan kakinya terkulai masuk ke dalam air sungai. Gajah jantan ini berumur sekitar 20 tahun, tapi gadingnya raib entah ke mana. Peristiwa itu terjadi sekitar pertengahan April lalu. Dua pekan kemudian, kembali seekor gajah kedapatan tewas. Tubuhnya terdampar di tepi Krueng Sabe, tak jauh dari Desa Panggung, sekitar 10 km dari lokasi gajah pertama. Penduduk desa tak berani menyentuhnya. Jasad gajah betina itu dibiarkan membusuk hingga tinggal tulang-belulangnya. "Baunya busuk bukan main," ujar Nafi, Kepala Desa Panggung. Akibatnya, selama lebih dari dua minggu penduduk Desa Panggung tak mau menyentuh air Krueng Sabe. Belum habis cerita tentang dua bangkai gajah tadi, muncul lagi bangkai yang lain. Bangkai ketiga ini dilihat penduduk juga di tepi Krueng Sabe, agak ke hilir. Itu pun bukan yang terakhir. Pekan-pekan berikutnya dua bangkai gajah terlihat lagi di Krueng Usi dan Krueng Tengah. Secara keseluruhan, selama April-Mei lalu, ada lima gajah yang ditemukan mati di pinggir sungai. Melihat modus kematian yang sama itu, Kepala Subbalai Konservasi Sumber Daya Daya Alam Aceh, Bintoro, menduga mereka semua korban pembunuhan. Seiring dengan tewasnya satwa langka itu, makin gencar pula serangan rombongan gajah ke daerah pertanian di desa-desa. Kecamatan Krueng Sabe, seperti Desa Krueng Usi, Krueng Tengah, Krueng Sabe dan Panggung Situasi itu menimbulkan dugaan, serbuan laskar gajah itu merupakan aksi balas dendam. Aksi itu terus berlangsung hingga pekan lalu. Tanpa pandang bulu, kawanan gajah itu merusakkan segala macam tanaman: kacang-kacangan, pisang, tebu, pagi gogo, tebu, singkong, atau nilam -- pohon yang dipanen daunnya untuk disuling menjadi minyak atsiri. "Gila, semua dimakannya," kata Nafi. Areal yang mereka jarah tak kurang dari 400 ha. Kawanan gajah itu juga menghancurkan sepuluh rumah penduduk. Bahkan, Ahmad, seorang penduduk Krueng Sabe, remuk kakinya digilas kaki gajah. Namun, korban jiwa, sejauh ini, belum terdengar. "Kalau mereka tak diganggu lebih dulu, mereka tak akan mengamuk," kata Harun Zakaria, penduduk Krueng Usi. Sebagai kepala desa Nafi mengaku tak berdaya. "Kami harus berbuat apa? Si apa berani melawan gajah," ujarnya. Ia telah melaporkan kejadian itu ke Kantor Camat, juga ke Subbalai Konservasi Sumber Daya Alam (SBKSA) Aceh, tapi tak ada tindak lanjut. "Entah, saya harus lapor ke mana lagi," ujarnya, pasrah. Ketika ditemui TEMPO Bintoro, Kepala SBKSA Aceh, memang belum punya rencana untuk menanggulangi suasana kritis itu. Betulkah kawasan gajah itu menuntut dendam? Bintoro tak berani memastikannya. Namun, berdasarkan cerita-cerita yang dihimpun dari penduduk, dia menduga keras bahwa gajah-gajah itu dibunuh dengan racun. Motif pembunuhan? Kemungkinan adalah keinginan memperoleh gading. Ada pula kemungkinan lain: gajah itu sengaja diracun penduduk yang kesal oleh ulahnya. Dugaan itu berdasarkan kenyataan bahwa satu atau dua kawanan gajah terus mengganggu kebun penduduk secara sporadis sejak akhir tahun lalu. Namun, dugaan itu ditepis oleh Nafi. "Tak ada warga kami yang tega berbuat sejahat itu," ujarnya. Seorang warganya bahkan menuding, kematian itu akibat ulah para pemburu gading. "Kami jadi khawatir, jangan-jangan kami yang tak bersalah malah ditangkap polisi," ujarnya. Bintoro menduga kelima gajah itu "dihabisi" dengan potas, racun yang biasa dipakai untuk memberangus hama babi. "Mereka cukup paham jalur lintasan gajah. Lalu menaburkan racun potas itu bersama tanaman padi, jagung, atau singkong," ujarnya. Gajah pun, menurut Bintoro, hanya sanggup bertahan dua hari setelah kena racun potas. Selama dua hari menjelang ajal itu, para korban akan merasa gelisah, loyo, dan selalu merasa kehausan. Maka, dia akan mencari sumber air atau sungai. Dan akan bertahan terus di situ hingga ajal menjemput. Maka, tak mengherankan kelima bangkai gajah itu dijumpai terendam di pinggir sungai. Motif balas dendam itu diragukan pula oleh Drh. Linus Simanjuntak, Kepala Kebun Binatang Ragunan, Jakarta. Memang Linus mengakui, gajah termasuk binatang yang punya naluri tajam terhadap pihak lain -- manusia, misalnya -- yang pernah berbuat baik atau berbuat jahat terhadap dirinya. Kalau pertemuan pertama menimbulkan kesan buruk, si gajah akan selalu ingat dan tak sudi berkawan. "Tapi itu tak berarti dia akan langsung mengamuk," kata Linus kepada Mukhlizardy Mukhtar dari TEMPO. Tentang aksi balas dendam itu? "Saya ragu apakah kawanan gajah itu punya cukup inteligensia untuk mengetahui bahwa kawannya terbunuh karena racun," ujarnya. Kematian lima ekor gajah itu tentu tak akan mengakhiri bentrokan antara manusia dan gajah di hutan Aceh. Zaman ketika gajah dan manusia Aceh berkawan (Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17 dahulu punya 800 gajah dalam angkatan perang- nya) tampaknya telah berakhir. Kini, di Aceh ditaksir ada sekitar 800 ekor gajah, dengan penambahan populasi 25-30 ekor setahun, yang mendiami kawasan suaka alam seluas 580 ribu ha. Sayang, habitat alam itu di beberapa tempat terpotong oleh hutan yang di-HPH-kan, atau dikonversikan menjadi ladang. Padahal, "Kalau habitatnya tak diusik, gajah tak akan bikin gara-gara," ujar Linus Siman- juntak. Affan Bey (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini