Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Seperempat abad oom pasikom

Dalam usia ke-25 harian kompas mencapai oplah 525 ribu eks. meraih penghargaan sebagai pembayar pajak terbesar, di urutan ke-32. kini koran tersebut mulai gencar berpromosi & mengembangkan bisnis di bidang lain.

30 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULANYA cuma lima ribu. Itu 25 tahun silam, ketika almarhum P.K. Ojong berduet dengan Jakob Oetama mendirikan Kompas. Modalnya pun tak besar, cuma Rp 150 ribu plus mesin ketik pinjaman. Almarhum I.J. Kasimo, Ketua Umum Partai Katolik Indonesia ketika itu, yang merelakan kantungnya dikempesi. Sekarang, saat merayakan ulang tahunnya yang ke-25, 28 Juni pekan ini, oplah koran ini sudah 525 ribu. "Kalau hari Minggu bisa 575 ribu eksemplar sehari," kata Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi Kompas, yang sejak meninggalnya Ojong merangkap sebagai pemimpin umum. Di tengah iklim bisnis pers yang makin ramai, bukan soal gampang mempertahankan rekor yang diraihnya. "Target pertum- buhan tahun ini memang tak tercapai," tutur Jakob. Itu sebabnya, harian yang dari dulu boleh dibilang kurang berpromosi ini belakangan cukup gencar beriklan. Selain bill board besar menghias beberapa jalan, ada pula Ully Sigar yang menyanyikan tembang Kompas di radio. Bagi Ashadi Siregar, ahli komunikasi dari UGM, kekuatan utama koran ini adalah, "gayanya yang pastoral tanpa membawa misi Katolik." Yang dimaksud Ashadi adalah keberpihakannya pada yang lemah, susah, dan papa. Di sisi lain, dia juga tetap memberi ruang kepada kelompok yang kuat. "Tapi porsi yang diberikan kepada mereka yang menderita lebih besar," katanya kepada Muhamad Aji Surya dari TEMPO. Keunggulan Kompas, menurut Ashadi, bukan karena mereka mempersoalkan sebab-sebab kepapaan atau penderitaan. Tapi mengangkat cerita dari sisi lain. Ia menggugah simpati pembaca agar tergerak dan bersimpati pada kepapaan. Sejalan dengan motto "Amanat Hati Nurani Rakyat" koran itu? "Saya sering diketawai orang kalau bicara soal kalimat itu," kata Jakob sambil ketawa. Ia mengakui, dalam membawa amanat itu, korannya yang semakin makmur tak selalu bisa konsisten. Maka, sering muncul kritik, Kompas tidak vokal. "Mungkin juga sudah terdesak kepentingan lain, intern ataupun ekstern," tutur Jacob. Sementara itu, buat Romo Mangunwijaya, pastor yang terkenal aktif sebagai pengamat sosial, semboyan "Amanat Hati Nurani Rakyat" itu telah direalisasikan secara optimal oleh Kompas. "Meskipun dalam situasi siskamling," kata Romo Mangun sambil ketawa terbahak-bahak. Dalam situasi "siskamling" itu, Romo Mangun menjabarkan pendapatnya, Kompas selalu menulis setiap berita denga "yes". Kemudian di tengahnya ada pernyataan "yes" dan "no". Lalu pada akhirnya kembali lagi akan muncul pernyataan "yes". "Tapi dengan embel-embel pikirlah sendiri," tutur Mangunwijaya. Persoalan Kompas bukan cuma pada pembelaan pada kaum papa. Sebagai koran yang lahir dari Partai Katolik, banyak salah anggapan yang harus dijelaskan Kompas. Kompas, misalnya, sudah lama secara salah kaprah dianggap sebagai pembawa suara Katolik, sampai-sampai muncul julukan Komando Pastor. Salah satu contoh kekecewaan orang yang berharap demikian adalah saat polemik tentang Undang-Undang Peradilan Agama menjadi topik nasional. Kompas ternyata dingin-dingin saja tak ikut terjun menyuarakan pendapat. "Mereka yang berharap begitu bakal keliru," tutur Jakob. Menurut peraturan yang berlaku pada saat Kompas berdiri sebuah koran memang harus bernaung di bawah salah satu organisasi politik yang ada. Kebetulan, karena didirikan oleh tokoh-tokoh Katolik, Kompas akhirnya bernaung di bawah Partai Katolik. Cuma, menurut Jakob, Ojong dan dia dari awal sudah sepaham. Sebagai koran, Kompas harus tetap terikat pada prinsip-prinsip umum sebuah koran. "Artinya, tidak ek- sklusif," katanya. Gaya itu, disertai manajemen yang bagus, nyatanya membawa sukses. Tahun ini PT Kompas Media Nusantara kembali menerima penghargaan sebagai salah satu pembayar pajak terbesar, di urutan ke-32. Turun sedikit dibanding tahun kemarin yang mencapai peringkat 28. Kelompok bisnis Kompas, yang populer disebut Kelompok Kompas Gramedia (KKG), juga terus merentang pertumbuhan. Terutama ke sektor majalah dan tabloid, yang menurut Jakob sudah menjadi pusat-pusat keuntungan yang cukup potensial. Produk terakhir yang diluncurkan adalah majalah psikologi Tiara. Sebelumnya, ada tabloid Citra Musik, yang mencoba mengisi kekosongan pasar majalah musik di Indonesia. Di luar media, jaringan Hotel Santika terus berkembang. Graha Santika Hotel adalah yang terbaru. Terletak di Semarang hotel yang memiliki 125 kamar dan bakal masuk kategori bintang tiga ini sudah mulai beroperasi sejak Lebaran kemarin. Cuma, bukan berarti semua bisnis yang dikerjakan Kompas lantas menangguk sukses besar. Perusahaan filmnya sudah lama bangkrut. Bisnis tambak udang mereka, "tak layak lagi diusahakan," kata Jakob, yang juga Chief Executive KKG. Industri oksigen juga sudah ditutup. Supermarket Grasera pun, menurut Jakob, bukan proyek yang bisa dibilang berhasil. "Masa, seumur-umur cuma dua biji, bagaimana bisa untung," katanya. Selain itu, mereka juga mengusahakan kebun jeruk di daerah Cianjur -- yang masih rugi -- dan pabrik kertas tisu yang menurut Jakob juga belum untung. Sebagai wartawan, Jakob mengaku lamban dalam menjalankan bisnis non-koran ini. "Sudah telanjur punya sikap kuat sebagai wartawan, jadi terlalu banyak pertimbangan," katanya. Maka, untuk meringankan beban Jakob Oetama, beberapa teman- nya menganjurkan agar dia meninggalkan urusan bisnis, dan lebih mendalami isi korannya. Yopie Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus