ANGIN demokrasi mewarnai pemilihan pimpinan Pondok Pesantren Gontor "Darussalam". Pondok modern yang berdiri di atas tanah 8,5 ha di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, itu kini sedang sibuk mempersiapkan acara pemilihan. Badan Wakaf semacam lembaga legislatif yang beranggotakan 15 kiai, 9 kiai alumni, dan 6 kiai pengurus pondok, akan memilih pimpinan pesantren yang baru. Cara pemilihan semacam ini memang tak lazim dalam tradisi pesantren. Seorang pimpinan pondok biasanya memangku jabatan seumur hidup. Penggantinya adalah putra atau diangkat dari lingkungan keluarga kiai. Gontor, yang didirikan pada 1926, mulai meninggalkan tradisi itu sejak lima tahun lalu. Terobosan pondok dengan 3.000 santri itu memang punya alasan. "Yang abadi di dunia ini hanya dua, yaitu Tuhan dan perubahan yang terus-menerus. Ini sunah," kata Kiai Hamam Ja'far, salah seorang anggota Badan Wakaf. Untuk itu, Gontor dengan Badan Wakaf sebagai lembaga tertinggi tak segan-segan mengadakan perubahan. Ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Seperti yang pernah dipesankan pendiri Pondok Gontor, Almarhum K.H. Zarkasyi, "Pondok itu harus tetap jalan dan berkembang. Tak peduli siapa pun yang memimpinnya." Badan Wakaf berpendapat bahwa pesantren sangat tergantung karisma kiai yang memimpinnya. Karisma tentu saja tak otomatis diturunkan. Risikonya, pamor pesantren bisa pudar bila sang pemimpin wafat atau turunannya, yang mendapat warisan, tak punya karisma. Para santri pun bisa-bisa kabur satu per satu. Pondok Gontor dikenal punya citra modern. Maka, kata Hamam, Gontor tak boleh mengalami nasib surut. Beberapa pemikiran "modern" lantas bermunculan. Pimpinan pesantren dipilih lima tahun sekali. Ini yang perlu dituangkan dalam suatu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Badan Wakaf. Bila Badan Wakaf minilai seorang kiai sudah tak mampu memimpin pondok, maka ia harus diganti dengan yang lebih segar. Caranya, yang ditempuh Pondok Gontor, yakni lewat pemilihan langsung. Sidang pertama pemilihan pimpinan pondok dilaksanakan di Mantingan, perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, Mei lalu, dihadiri 13 orang. Mereka belum berhasil memilih pimpinan Gontor. "Waktunya sangat sempit," kata Hamam. Sidang lantas ditunda sebulan. Selama ini, Gontor, yang santrinya dikenal selalu berdasi dan bersepatu, dikelola tiga kiai. Mereka adalah K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, K.H. Shoiman Lukman Al Hakim, dan K.H. Hasan Abdullah Sahal. Trio pimpinan itu, biasa disebut trimurti. Model ini merupakan kelanjutan kepemimpinan sebelumnya, trio K.H. Zarkasyi, K.H Fanany, dan K.H. Sahal. Sampai sekarang, agaknya bentuk kepemimpinan trimurti masih layak dipertahankan. Dalam pemilihan 1985, usaha mengecilkan faktor keturunan itu sudah dirintis dengan terpilihnya K.H. Shoiman. Ia terpilih karena dianggap sebagai kiai tertua. Untuk selanjutnya, menurut K.H. Shoiman, calon harus mampu dan bisa memimpin. Seseorang yang terpilih sebaiknya melaksanakan "amanat" Badan Wakaf. "Jika seorang terpilih dan kemudian tak mau, maka ia dianggap berkhianat," kata K.H. Shoiman. Pemilihan pimpinan pesantren gaya Gontor ini, menurut K.H. Yusuf Hasyim, pimpinan Pesantren Tebu Ireng, sebenarnya bisa juga diterapkan di pondoknya. Namun, "Kalau si pemimpin yang terpilih itu-itu saja, ya percuma. Seharusnya kalau mau model pemilihan, ya harus dibatasi. Misalnya cukup dua kali saja," katanya. Pengembangan tradisi baru di Pesantren Gontor, menurut Dr. Zamkhasyari Dhofier, memang menarik. Walaupun, kata Direktur Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama itu, calonnya masih terbatas, yakni kiai yang punya hubungan dekat dengan pondok. "Sifatnya masih demokrasi terbatas, meski sudah terbuka," katanya. GT, Wahyu Muryadi, dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini