Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Merpati peka sekali

Merpati bukan sekedar hewan peliharaan, ia ternyata bisa dipakai mendeteksi polusi efek timah hitam. bambang hariono dan edi boedi santosa melakukan penelitian terhadap pencemaran pb di udara, keduanya dari ugm, yogyakarta.

8 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANDUNGAN timah hitam (Pb) di laut bisa dideteksi lewat kerang. Tapi melacak kandungan Pb di udara jangan heran bisa dilakukan dengan pengamatan atas burung merpati. Burung lambang perdamaian ini ternyata sangat peka terhadap efek timah hitam. ''Burung merpati merupakan jenis hewan yang sangat ideal untuk memantau tingkat polusi lingkungan, '' kata Bambang Hariono, pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Hal itu ditemukannya dalam penelitian yang dilakukannya bersama Edi Boedi Santosa dalam rangka mendapatkan gelar doktor dari Queensland University, Australia. Hasil penelitian mereka diungkapkan akhir bulan lalu dalam sebuah seminar bioteknologi lingkungan di Pusat Antar-Universitas, UGM. Dibandingkan dengan hewan yang biasa digunakan untuk memantau pencemaran Pb di udara, merpati jauh lebih peka. Burung puyuh, misalnya. Dengan dosis 150 mikrogram per kilo, burung puyuh masih segar bugar, tapi merpati sudah menunjukkan tanda-tanda keracunan. Bahkan dengan dosis yang lebih rendah, merpati tak bisa bertahan hidup sampai minggu ke-9. Ketika Bambang mencoba meracuni merpati dan puyuh dengan 500 mikrogram/kilo Pb, hasilnya berbeda. Merpati sudah pingsan dan bahkan ada yang mati pada minggu ke-3, sedangkan puyuh baru keracunan berat setelah tiga bulan. Keistimewaan merpati sebagai hewan pemantau polusi juga disebabkan bulunya yang halus, yang mampu menyerap timah hitam yang beterbangan di udara. Dari jarak jelajahnya yang berkisar 10 kilometer, juga bisa diketahui daerah mana saja yang mengalami polusi timah hitam. Penelitian laboratorium menunjukkan, merpati tak hanya peka terhadap polusi timah hitam, tapi juga mampu memperlihatkan perubahan-perubahan patologis yang sangat jelas. Dari hewan ini terlihat bagaimana Pb bisa merusak sistem saraf. ''Sungguh memprihatinkan jika lingkungan kita tercemar dengan polutan senyawa logam berat,'' ujar Bambang Hariono. Padahal, polusi ini bisa datang dari segala penjuru, di antaranya dari asap knalpot kendaraan yang memakai bahan bakar bensin. Apalagi minyak produksi Arab dan Indonesia, kandungan timah hitamnya jauh lebih tinggi daripada Jepang, Kanada, atau Amerika Serikat, misalnya. Bensin Indonesia rata-rata memiliki kandungan Pb sekitar 0,8 gram per liter. Yang paling menderita akibat pencemaran ini tentu anak-anak kecil (3 bulan -8,5 tahun). Tingkat penyerapan mereka sangat tinggi (53%) dibanding dengan orang dewasa yang hanya mampu menyerap 10% saja. ''Karena itu, usaha pemantauan terhadap lingkungan harus selalu dilakukan,'' Bambang mengingatkan. Jangan heran bila tingginya pencemaran udara langsung terpantul pada tingkat kematian bayi. Dulu penyebab utama kematian bayi adalah diare dan tetanus, sedangkan kini penyebabnya adalah infeksi saluran pernapasan akut disingkat ISPA. Sebanyak 36% dari kematian bayi di Indonesia disebabkan ISPA. ''Di Bandung saja, 51% kematian bayi disebabkan ISPA,'' ungkap Kepada Dinas Kesehatan Bandung, Dokter Torisz, M.P.H. Tapi, apa hubungan ISPA dan tingginya pencemaran udara? Torisz menjelaskan bahwa pabrik yang tidak mempunyai pengolah limbah telah membiarkan limbahnya terbawa angin ke kawasan permukiman penduduk. Bersamaasap yang dibuang kendaraan bermotor, limbah pabrik itu menebarkan berbagai zat kimia ke udara, satu di antaranya adalah Pb atau kandungan timah hitam. Menurut Torisz, Pb akan mengikis saluran pernapasan secara perlahan-lahan, sehingga terinfeksi dan luka. Pada saat daya tahan tubuh bayi turun, infeksi saluran pernapasan akut bisa menyerangnya. Bila kandungan Pb semakin tinggi, selain menyerang saluran pernapasan, ia juga bisa menembus ke pembuluh darah. Hal ini akan mengakibatkan keracunan darah, dan seterusnya bisa merusak hati, ginjal, atau paru-paru. ''Akibat keracunan Pb memang tidak segera terlihat. Sifatnya kumulatif, bertahun-tahun baru ketahuan,'' lanjut Torisz. Dia menegaskan, bukan tidak mungkin limbah zat beracun itu, selain menyebabkan ISPA, juga bisa menimbulkan kanker paru-paru atau liver. Yang pasti, Pb memang berbahaya. Hanya, yang belum jelas adalah seberapa parah polusi udara bisa meningkatkan jumlah penderita ISPA. GSI, R. Fadjri (Yogya), Asikin (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus