BARU saja sebagian gedungnya dilalap api. Pasaraya yang berlantai sembilan di Blok M, Jakarta Selatan, itu kini seperti disengat setrum lagi. Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN) belum lama ini melayangkan surat denda sebesar Rp 1,103 miliar kepada pusat perbelanjaan itu. Denda ini merupakan rekor kedua dalam kasus pelanggaran penggunaan arus listrik setelah dua tahun silam PT Sandratex dipaksa membayar denda Rp 2,1 miliar. Kasus ini tercium berkat Operasi Penertiban Arus Listrik (OPAL) yang diterjunkan PLN tahun 1991 lalu. Menurut sumber TEMPO yang ikut dalam operasi ini, kecurigaan berawal dari ketidakwajaran dalam pembayaran ongkos setrum yang dilakukan oleh pengelola Pasaraya Blok M, yang berkapasitas 5.500 KVA. Rupanya, selama setahun (November 1990November 1991), ketika itu Pasaraya kabarnya mampu menghemat rekening listrik separuh dari biaya semestinya, sebesar sekitar Rp 200 juta per bulan. Ternyata, upaya penghematan yang oleh pihak PLN disebut tidak legal itu terbongkar. Tim OPAL menemukan tiga buah segel palsu kawat segel kontrol yang putus dan kode segel plastik yang tidak sama dengan kode acuan asli. Usman Ja'far, Direktur Utama A. Latief Corporation, yang membawahkan Pasaraya, mengaku tidak tahu soal munculnya segel palsu itu. Bagaimana dan kapan segel palsu itu mulai terpasang, pimpinan Pasaraya ini mengaku tidak mengerti. ''Makanya kasus ini akan saya tanyakan kepada pimpinan PLN,'' katanya kepada wartawan TEMPO Kukuh Karsadi. Dalam pekan ini, rencananya, mereka akan bertemu. Menurut Usman, bagian instalasi Pasaraya tidak tahu karena tugas itu, katanya, merupakan hak PLN untuk melakukan pengecekan. ''Kita tidak punya hak mengutak-atik perangkat segel itu,'' katanya. Ketika TEMPO berusaha mendatangi pegawai bagian listrik Pasaraya, mereka berusaha menutup diri. Menurut Pimpinan PLN Distribusi Jakarta dan Tangerang, Azis Sabarto, yang dilakukan Pasaraya Blok M itu tidak termasuk kategori pencurian. ''Hanya sebagai pelanggaran,'' katanya kepada wartawan TEMPO Ricardo Indra. Alasannya, pemakaian segel palsu menurut ketentuan bisa dikenai tagihan susulan. ''Namun, kalau mereka ketahuan atau tertangkap basah, baru masuk kategori mencuri,'' kata Azis. Belum diketahui pasti apakah segel palsu yang terpasang di Pasaraya itu dibuat oleh oknum PLN, si pelanggan, atau pihak lain. Tampaknya, kasus Pasaraya ini mirip yang dialami PT Sandratex tahun lalu, yaitu sama-sama terhindar dari tuduhan pencurian. Ketika itu Sandratex buru-buru melunasi denda. Bedanya, dalam masalah denda, pihak Pasaraya ingin mengulur waktu. ''Kami ingin tahu dulu rincian penetapan besarnya pembayaran itu,'' kata Usman Ja'far. Walaupun begitu, menurut sumber TEMPO, kabarnya pihak Pasaraya sudah membayar sebagian denda itu, yaitu sebesar Rp 91 juta, Jumat pekan lalu. Dan konon antara PLN dan Pasaraya sudah ada kesepakatan bahwa pembayaran denda tersebut akan dilakukan secara cicilan sebanyak 12 kali. Kasus mengambil setrum secara tidak sah ini ternyata bukan sekali ini saja dilakukan Pasaraya. Pada tahun 1984, PLN juga pernah menjatuhkan denda sebesar Rp 100 juta akibat pelanggaran yang sama. Anehnya, hingga kini hukuman terhadap pelaku pencuri setrum masih belum seragam. Ada pelaku yang sudah dijatuhi hukuman berdasarkan Undang-Undang Antikorupsi. Seperti tahun lalu, Pengadilan Negeri Tangerang memvonis Direktur Utama PT Karya Tulada, Anton Rustandi, bersama seorang anak buahnya, masing- masing 3 tahun dan 1 tahun penjara, plus denda. Ada pula yang diganjar berdasarkan pidana umum biasa, seperti vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Purwakerto, Jawa Tengah, tahun lalu, terhadap terdakwa Yoso Sugiyarto. Direktur PT Dua Naga Purbalingga ini diganjar hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. (TEMPO, 23 Mei 1992). Pelanggaran yang dilakukan Yoso, menurut hakim, merusak meteran PLN yang terpasang di pabrik kelapa miliknya. Sebulan setelah tertangkap, Yoso membayar kerugian itu lewat tagihan susulan yang dikirim PLN. Kendati demikian, ketika itu hakim tidak melihat upaya itu telah menghapus tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Pembayaran tagihan susulan hanya dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan. Apa pun alasannya, kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa aparat penegak hukum masih belum seragam dalam menetapkan hukuman bagi pencuri listrik. Sementara itu, kasus segel palsu di Pasaraya tersebut ternyata tidak ada hubungannya dengan kebakaran yang baru terjadi. Yang ada ialah akibat keteledoran pemasangan instalasi listrik. Seperti yang dituturkan Kepala Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri, Brigjen Billy Hwan W., penyebab kebakaran di Pasaraya akibat pemasangan listrik yang tidak sesuai dengan ketentuan instalasi. Timbulnya api, menurut jenderal berbintang satu ini, disebabkan oleh pemasangan balas yang sengaja diletakkan terpisah dengan lampu neon (TL). Apalagi balas bersifat mengeluarkan panas. Dan itu mereka tempatkan di atas kayu yang mudah terbakar. Jadi, kebakaran itu tinggal menunggu waktu. ''Jadi bukan akibat aliran listrik. Sebab, ketika kebakaran, listrik dalam keadaan mati,'' katanya kepada TEMPO. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini