Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Meru Betiri teringat lagi

Menteri emil salim melepaskan 13 ekor rusa dan 2 ekor banteng di kawasan pelestarian alam meru betiri, ja-tim. anggapan kawasan tersebut menjadi suaka marga satwa karena punahnya beberapa jenis kehidupan. (ling)

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGABELAS ekor rusa dan dua ekor banteng kini memperkaya margasatwa kawasan Pelestarian Alam Meru Betiri di Jawa Timur. Menteri Negara Emil Salim baru-baru ini secara simbolis melepaskan kedua jenis hewan itu --suatu pertanda lagi bahwa pemerintah tetap akan menutup kawasan itu bagi kehidupan manusia. Di Meru Betiri masih terdapat dua perkebunan yang menghidupkan sekitar 5000 penduduk. Kontrak perkebunan itu berakhir pada tahun 1982. Karena pemerintah telah memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang kontrak itu, pernah satu delegasi H. Samawi yang mengatasnamakan penduduk daerah itu menyampaikan keluhan mereka pada DPR. Mereka tidak bisa memahami kenapa lapangan pekerjaan 5000 manusia Indonesia harus dikorbankan demi 4 ekor harimau. Sebaliknya, mereka mengusulkan supaya menangkap dan mentransmigrasikan ke-4 ekor harimau itu ke Sumatera atau pulau lain. Tapi persoalannya ialah harimau itu merupakan suatu unsur dari ekosistem alam. Semula harimau itu punah karena lenyapnya ribuan jenis kehidupan berupa tanaman dan hewan yang saling menunjang dan mempengaruhi. Tidak mungkin dipastikan bahwa punahnya beberapa jenis kehidupan berakibat fatal bagi manusia. Para ahli belum bisa menetapkan batas kritis, pada tingkat mana lenyapnya berbagai jenis kehidupan akan menghancurkan jaringan kehidupan di bumi. Jumlah jenis kehidupan di bumi ditaksir 3 sampai 10 juta. Sampai sekarang baru 1« juta jenis diketahui dan tercatat oleh para ahli. Sebagian terbesar terdapat di daerah tropis dengan hutan hujannya yang lebat dan rindang. Tapi akibat makm menjalarnya wilayah manusia --dan hutan pun ditebang--banyak jenis kehidupan terdesak dalann areal yang semakin kecil dan lenyap sebelum dikenal manfaatnya. "Proses pengembangan alamiah karena itu terganggu sehingga tidak ada pembaharuan," kata Profesor Michael Souledari Universitas California di San Diego, AS. Ia mengingatkan bahwa ini mengakibatkan evolusi akan terhenti di daerah tropis menjelang tahun 2000, terutama bagi jenis binatang menyusu dan burung. Ancaman terhadap berbagai jenis kehidupan tadi akhirnya akan menghancurkan ekosistem yang menunjang kesejahteraan manusia. Ini sudah dapat disaksikan dengan bertambahnya bermacam serangga yang mengungguli segala pestisida, serta pesatnya perkembangan berbagai gulma seperti eceng gondok dan alang-alang. Norman Myers, biolog dan ahli satwa liar, meramalkan kemungkinan lenvapnya lebih sejuta jenis kehidupan -- 10 sampai 20% -- menjelang akhir abad ini. Dalam bukunya The Sinking Ark, Myers menyimpulkan bahwa setiap hari sedikitnya satu jenis tanaman lenyap, sedang dalam beberapa tahun lagi ini mungkin terjadi setiap jam. Di Muangthai, Dr. Boonsong Lekagul, biolog dan ahli satwa Asia, menunjuk penghancuran hutan tropis hujan sebagai sebab utama dari punahnya berbagai jenis kehidupan. Demi mengembangkan sawah, konsesi kehutanan, industri, perkebunan dan kebutuhan akan ruang hidup bagi sekian penduduk yang makin bertambah, pemukiman alamiah satwa dan flora dikorbankan. Tidak Menentang Di Filipina penebangan hutan tropis hujan dalam tahun 70-an mencapai 170.000 ha yang berakibat fatal bagi satwa liar dan jenis kehidupan lainnya. Kantor Urusan Satwa Liar di sana telah mencatat lebih 20 jenis satwa yang terancam punah, termasuk elang Filipina yang tersohor dan tamaraw, seJenis sapi. Juga satwa di Malaysia terpukul akibat penebangan hutan ini. Dikhawatirkan nasib Orang Hutan di Sabah dan Serawak. Juga di Indonesia Orang Hutan ini terancam punah karena habitatnya makin berkurang. Malaysia dan Indonesia telah mendirikan berbagai Pusat Rehabilitasi bagi Orang Hutan itu, tapi banyak ahli meragukan manfaatnya. Hutan tropis hujan --yang meliputi lebih seperenam permukaan bumi atau sekitar 2.500 juta HA--sedang dibabat manusia dengan kelajuan yang tiada taranya dalam sejarah. Dengan sedih Dr. Boonsong memperhatikan gejala ini. "Saya tidak menentang kemajuan," katanya, "tapi saya tidak dapat menyetujui pemusnahan sumber daya sebelum arti biologis dan manfaat ekonomisnya diketahui. Kesejahteraan di bumi ini tergantung dari keseimbangan alamnya." Dr. Boonson terkenal sebagai pejuang gigih untuk mendirikan cagaralam. Kini hampir 5% wilayah negeri Muangthai dilindungi oleh suaka alam. Belum mencukupi," kata Dr. Boongsong, "tapi jauh lebih baik dari sebelumnya." Kembali ke kawasan Meru Betiri. Pertimbangan menutupnya, seperti diucapkan Emil Salim, ialah juga demi kepentingan generasi mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus