Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Industri Film Nasional

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Problematika yang selalu mewarnai industri film nasional adalah benturan antara motivasi meraih laba dan kewajiban untuk mengajarkan nilai-nilai film kepada masyarakat lewat cerita film yang memukau. Benturan itu kerap sedemikian hebat karena di antara produser film sendiri tak ada kesatuan pandang. Malah ada sebagian produser yang hanya mau membuat film untuk mencetak uang semata maka muncul kasus lama dengan rupa baru, yakni sajian adegan seks dan darah. Tahukah kita, wahana kreasi produser di sini memang profitable, bahkan melulu pada pengejaran laba semata. Profit minded!

Gonjang-ganjing pemberitaan raibnya ratusan miliar rupiah dana pembinaan perfilman nasional semasa Harmoko menjabat Menteri Penerangan (TEMPO edisi 23 November 1998), merupakan gambaran setali tiga uang atas tipikal orang-orang terkait, yang justru diharapkan oleh masyarakat dapat menjalankan fungsinya dengan baik selaku pembina perfilman negeri ini. Sehingga tidak terlalu salah bila bunyi kalimat kesatuan pandang di atas menjadi bermakna lain bagi lembaga "pembina" itu. Kira-kira beginilah: "perlu pula kesamaan pandang bahwa modal dan laba diperlakukan guna pembusukan budaya melalui media film!"

Barangkali karena pencapaian Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN) belum menyentuh bioritmik-nya yang strategis untuk mengambil peran dalam pembangunan perfilman nasional. Tak heran jika lembaga yang bersifat non-struktural dan berfungsi sebagai pemberi pertimbangan yang berkenan dengan masalah perfilman kepada Menteri Penerangan itu, lagi-lagi sekadar menampung permasalahan dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah khususnya Departemen Penerangan, seperti peran yang diemban Dewan Film Nasional (DFN) sebelumnya.

Kemungkinan perlakuan secara normatif pihak Deppen dalam kapasitasnya sebagai pembina film terlalu "kaku" mengintroduksi peraturan dan cantolan hukum di bidang perfilman, baik UU No.8/1992, peraturan pemerintah, maupun SK Menpen-nya. Ketentuan yang semula diharapkan sebagai proteksi–dalam pengertian semangat dan jiwanya--kini malahan terbelenggu oleh pseudo-proteksi lain (baca: korupsi dan kolusi). Implikasinya jelas, BP2N tidak begitu saja menjadi lembaga non-struktural secara penuh, lantaran sumber keuangan lembaga ini sendiri berasal dari anggaran Deppen yang dibebankan kepada anggaran Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film. Repotnya, meski di luar struktur, termasuk ketua dan wakil ketua terpilih yang tidak menduduki jabatan di pemerintahan, tapi menjadi bias, apabila BP2N dalam pelaksanaan tugasnya harus bertanggung jawab kepada Menpen.

Ikhwal keberadaan dan penggunaan dana sertifikat impor film yang kini dipersoalkan masyarakat perfilman kita, agaknya bakal menjadi bola salju yang terus menggelinding. Pasalnya itu tadi, apakah memang benar sepenuhnya digunakan untuk pembinaan perfilman nasional? Lalu, kok aneh, jika diberitakan dana yang terkumpul sejak tahun 1972 sampai 1998 ini (ditaksir mencapai lebih dari Rp 46,3 miliar) nyatanya dalam rekening BP2N hanya tersisa Rp 3 miliar. Itupun masih terus akan berkurang menyusul "hajat" BP2N mengucurkan pinjaman lunak sebesar Rp 1 miliar untuk mencetak 27 judul film kita yang masih tertahan di studio pemrosesan. Inilah yang harus dibayar mahal, sebuah kerja sistem yang menafikkan para individu. Indepedensi Ketua dan Wakil Ketua BP2N yang terpilih secara definitif ini pada akhirnya malah diobok-obok sekretarisnya sendiri.

Sebagaimana diketahui, pengelola administrasi dan keuangan adalah lembaga sekretariat BP2N yang ditunjuk oleh menteri terkait, terdiri atas pegawai di lingkungan Deppen. Sekretariat ini dikepalai oleh sekretaris BP2N yang juga menjabat sebagai Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video (SK Menpen 217 pasal 5 ayat 2).

Yang pasti, akibat "korban" beleid politik itu pula, film nasional menemui ajalnya. Dan jelas merupakan tanggung jawab pemerintah cq Deppen, yang berkedudukan sebagai pembina dan penanggung jawab penuh perfilman nasional. Di sisi lain, relakah masyarakat khususnya insan film membiarkan "kebocoran" dana sertifikat film impor, yang sedianya dialokasikan bagi pembinaan perfilman di sini, terus menguap untuk selanjutnya dianggap selesai? Tentu bukan hanya karena faktor kebetulan jika dikatakan insan film tidak lagi long march meniti hari-hari omong kosong, hari-hari silam yang sarat dengan pencanangan tekad tanpa tindakan konkret, sehingga kerap bermuara pada kesia-siaan itu. Menjadi sebuah persoalan lain bila masyarakat perfilman masih berkutat memustahilkan sesuatu yang sebenarnya mungkin, menjadi tidak mungkin. Itulah salah satu dinamika yang menyebabkan dunia film kita di sini begitu "PD" alias percaya diri untuk tetap back to square one, terseret kembali ke langkah awal.

SITI RARA DARWATI
Jalan Muchtar RT 005/002 No.146
Sawangan, Bogor 16511

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus