Muhammad Ja'far
Peneliti Institut Studi Filsafat dan Agama (ISFA) Jakarta dan pengamat politik Timur Tengah
Pada 28 Juni 2004, Irak merdeka. Kedaulatan mengatur negara diserahkan ke pemerintahan sementara yang telah terbentuk. Dari sini, diharapkan Irak dapat melewati masa yang disebut dengan transisi politik. Sebuah tenggang waktu yang akan sangat menentukan masa depan politik Irak. Ke arah mana perpolitikan Irak akan bergulir?
Selama ini rakyat Irak terbiasa "menyerahkan" kemerdekaannya dan menyandarkan takdirnya pada kuasa rezim Saddam Hussein. Tentu tak mudah, memikul sebuah "beban" kemerdekaan. Sebab, kemerdekaan berarti tanggung jawab untuk mengatur negara sekaligus bersedia untuk diatur oleh negara.
Sudah siapkah rakyat Irak memanggul tanggung jawab kemerdekaan? Kita dapat meninjau jawaban pertanyaan ini dari berbagai aspek. Secara psikologis, tentu euforia keterlepasan dari belenggu rezim Saddam kini berkobar di nurani rakyat Irak. Kondisi seperti ini dapat berekses positif tapi juga negatif. Semua bergantung pada bagaimana rakyat Irak mampu mengontrol euforia mereka.
Adapun secara mental-kognitif, saat ini Irak dituntut untuk mampu memaknai arti kemerdekaan mereka. Sebab, bertolak dari pemaknaan inilah negara dikelola. Dibutuhkan sebuah kedewasaan mental serta kematangan kognisi untuk dapat memahami arti sebuah kemerdekaan secara luas, termasuk pembagian kedaulatan dan menebar kemaslahatan rakyat.
Ditinjau dari aspek sosial, yang dibutuhkan oleh Irak adalah sebuah kerja sama yang arif antara berbagai pihak untuk membangun kembali pranata sosial yang lama terkoyak oleh kekejaman rezim Saddam. Ini merupakan salah satu pekerjaan rumah yang berat.
Dalam hal ini, peran ulama patut diperhitungkan secara matang. Sebab, di Irak, dengan latar belakang pengaruh teologi Syiahnya, agama adalah kekuatan politik dalam "wajahnya" yang lain. Ranah sosial adalah senjata lain ulama Irak tatkala secara politis mereka dilumpuhkan. Dan agama adalah perangkat vital yang oleh ulama digunakan sebagai "alat" untuk mempertajam akses mereka pada aspek sosial.
Dalam konteks ini, kita dapat memahami bahwa salah satu kunci kekuatan rezim Saddam sehingga dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama terletak pada keberhasilannya meredam "taji sosial" ulama dengan menggunakan senjata politik. Sehingga logikanya, tumbangnya rezim politik di Irak berarti kebebasan ulama untuk berkiprah di aras sosial, yang berarti kembali meringseknya cengkeraman kuku ulama pada tubuh politik.
Inilah fakta yang dapat kita lihat di Irak pasca-tumbangnya Saddam. Kekuatan politik ulama, melalui keran sosial, berdiaspora di seluruh negeri, bahkan menimbulkan percikan konflik di antara mereka, sebagai ekses dari perbedaan visi politik dalam mencanangkan masa depan Irak. Maka tersebutlah nama Al-Sistani, Moqtada al-Shadr, sebagai petinggi politik non-formal yang memanggul kekuatan politis lebih besar dan riil dari para pejabat serta politisi formal Irak. "Faktor ulama" inilah yang harus menjadi salah satu pertimbangan strategis dan matang pemerintahan Irak sementara dalam menentukan berbagai kebijakan serta langkah politiknya.
Terlebih lagi ketika mereka dihadapkan pada kenyataan munculnya perbedaan pandangan politik dari beberapa ulama teras Irak dengan basis massa signifikan. Fenomena ini harus dapat disiasati tanpa menimbulkan konflik. Inilah tantangan berat Irak pasca-kemerdekaannya.
Puncaknya, kita dapat meninjau kesiapan Irak untuk merdeka dari aspek politik. Ini adalah satu sumber peliknya fenomena di Irak hingga detik ini. Persoalan Irak, tatkala ditinjau dari aspek ini, menjadi tak kalah rumitnya dengan usaha pemerintah Amerika Serikat dahulu kala yang jatuh bangun untuk menumbangkan rezim Saddam.
Kerumitannya setidaknya terletak pada satu titik: kenyataan bahwa eksistensi Irak pasca-penyerahan kedaulatan berkaitan dengan aneka macam kepentingan berbagai pihak serta negara terkait. Sehingga, idealnya, konstruksi negara Irak yang merdeka diharapkan mampu mengapresiasi serta mengakomodasi segala bentuk kepentingan tersebut. Mulai dari kepentingan politis berlatar belakang etnik, religi, hingga format politik global.
Di sinilah kerumitan politik Irak jelas tampak. Setidaknya, kita dapat melihat gejalanya dari fenomena militansi yang akhir-akhir ini eskalasinya semakin tinggi. Modusnya, menebar teror bom bunuh diri atau menyandera dan membunuh warga negara asing. Jelas, ini merupakan problem mendasar yang menjadi "pekerjaan rumah" pemerintahan sementara Irak pasca-penyerahan kedaulatan ini.
Akhirnya sampailah kita pada satu kesimpulan: kemerdekaan Irak bisa menjadi sebuah "berkah" politik, namun juga bisa sebaliknya, menjadi petaka politik. Semua bergantung pada kearifan berbagai kelompok sosial-politik yang berserak di Irak dalam mengelola kemerdekaannya. Jika tidak, ada dua kemungkinan bagi masa depan Irak: terlilit dalam kubangan konflik berkepanjangan atau terjebak kembali dalam sebuah rezim otoriter yang baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini