Egedius Asten bingung. Penduduk Dusun Oefta, Naekasa, Nusa Tenggara Timur, ini tak mengerti bencana apa yang menimpa ternaknya. Sejak dua tahun lalu, beberapa induk sapi yang dipeliharanya selalu mengalami keguguran. Lima dari 15 ekor sapi betina milik Egedius telah kehilangan bayi mereka. ''Saya tidak tahu apa penyakitnya,'' keluh peternak ini. Hal serupa juga dialami Ludovius Fehan, yang memiliki 38 sapi, termasuk 18 ekor induk. ''Selama tiga tahun terakhir ini, sapi- sapi saya juga keguguran,'' tuturnya. Seperti Egedius, Ludovius pun tak tahu apa penyakit yang suka membunuh janin sapi itu. Tapi survei yang dilakukan Dinas Peternakan NTT menemukan bahwa sapi-sapi itu menderita penyakit brucelossis. Hasil survei yang dilakukan tahun 1992 itu menunjukkan, hampir 80% dari 2.450 ekor sapi yang dipelihara di Dusun Oefta ternyata sudah terjangkit brucelossis. Yang lebih memprihatinkan, penyakit itu telah tersebar di puluhan dusun di Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Di setiap desa di Kabupaten TTU, misalnya, hampir 30% populasi induk sapi positif mengidap brucelossis. Di Biboki Selatan malah lebih dari 85% sapi telah tertular. Di Teun, Belu, prevalensinya bahkan mencapai 95,4%. Semakin banyak janin sapi yang mati, semakin kurang pertumbuhan populasinya. Dan gejala ini tentu membawa dampak ekonomi yang tidak kecil. Para peternak yang menggantungkan hidupnya dengan menjual anak-anak sapi sebagai sapi bibit sangatlah dirugikan. Setiap ekor sapi bibit bisa dijual Rp 125 ribu. ''Dengan itulah kami membiayai sekolah anak-anak kami,'' ujar Egedius, lesu. Wabah brucelossis juga berdampak buruk terhadap pendapatan Pemerintah Daerah NTT. Dari setiap ekor sapi yang diekspor, Pemda mendapat retribusi Rp 5.000 per ekor, sementara Dinas Peternakan memperoleh Rp. 5.250 per ekor. Kedua instansi itu jelas memperoleh dana yang lumayan. Dari Kabupaten Belu saja tercatat 10.711 sapi yang diekspor ke luar daerah dalam setahun (1991). Kendati pendapatan daerah agak bergantung pada sektor peternakan, toh serangan wabah brucelossis belum ditangani sebagaimana mestinya. Dan itu terlihat dari angka prevalensi brucelossis yang makin meningkat tiga tahun terakhir ini. Akibatnya, sejak bulan lalu pengiriman sapi potong sudah tak bisa melalui pelabuhan di Kupang dan wilayah Timor Tengah Selatan (TTS). ''Kedua daerah yang masih bebas dari penyakit itu memang dinyatakan tertutup,'' kata Eddy Djaya, kepala Sub-Dinas Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan NTT. Dan rupanya itulah satu- satunya cara agar wabah tak makin meluas. Menurut Kepala Dinas Peternakan NTT, Charles Malessy, penyebaran brucelossis diduga bermula dari masuknya sapi Brahman asal Australia ke Timor Tengah Selatan pada tahun 1976. Tak kurang dari 100 sapi didatangkan oleh PT Timor Livestock (Timlico), yang memiliki ranch di Mena, TTU. ''Pada tahun-tahun itu daerah Australia sedang menghadapi masalah brucelossis,'' kata Charles. Ketika sapi-sapi Timlico dijual kepada masyarakat terutama di Belu dan TTU penyakit mulai menyebar dengan cepat. Ini dipicu oleh pemeliharaan ternak yang tradisional: kebiasaan melepas sapi-sapi begitu saja di padang rumput, padahal lingkungan di situ telah tercemar bakteri Brucella abortus bang, penyebab brucelossis. ''Penularan bakteri itu memang mudah sekali,'' kata Dr. Fachriyan Pasaribu, peneliti dan dosen Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bakteri ini paling gampang menular lewat proses perkawinan, yang selanjutnya menyerang organ reproduksi sapi betina. Serangan bakteri itu tak mematikan penderita, tapi janin yang dikandungnya pasti mati. ''Bakteri ini tidak bisa diberantas,'' ujar Fachriyan, yang juga ahli mikrobiologi lulusan Justus Leibig University, Jerman. Soalnya, bakteri itu mirip virus, sulit ditangkal. Menurut Fachriyan, wabah brucelossis bukan hanya urusan lokal NTT, melainkan sudah menjadi masalah nasional. ''Penyakit ini telah berjangkit di seluruh Indonesia, dengan tingkat serangan sedang sampai tinggi,'' katanya. Pendapat itu didasarkan pada laporan tujuh laboratorium balai penyidikan penyakit hewan (BPPH) di seluruh Indonesia. BPPH memastikan bahwa brucelossis menduduki urutan pertama dari 12 jenis penyakit khusus hewan yang mesti diwaspadai. Itu berbeda dengan data Dinas Peternakan, yang menempatkan penyakit ini pada urutan ketujuh. Data tersebut juga menyebutkan bahwa penyakit ini belum berjangkit di Lampung dan Indonesia Bagian Timur. ''Kalau kita membaca laporan Dinas Peternakan, tampak wabah brucelossis tak perlu diwaspadai dan kurang mendapat prioritas. Padahal masalahnya serius dan memprihatinkan,'' kata Fachriyan menandaskan. Peringatan ahli mikrobiologi ini agaknya tak berlebihan. Australia saja memerlukan sepuluh tahun untuk mengatasinya. Sedangkan Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda akan menanggu- langi wabah brucelossis. Apakah harus menunggu sampai jumlah ternak sapi merosot drastis dan terlambat untuk diatasi? Seharusnya tidak. Apalagi kalau kita sampai terpaksa membeli daging impor yang mahal yang tentu tidak terjangkau oleh sebagian besar konsumen Indonesia. G. Sugrahetty Dyan K., Supriyanto Khafid, dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini