Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiang-tiang rubuh. Bongkahan-bongkahan beton bekas tembok rumah berserakan. Ini bukan panorama tepi pantai Lebih, Gianyar, sehabis gempa. Tak ada yang berderak di bumi Bali. Ini ulah ombak yang menyapu bibir pantai.
Beberapa bulan lalu, beton dan tiang yang kini tertutup seng menyangga dua buah kafe. Di situ para pelancong biasa menikmati ikan bakar. Sang pemilik mengira kafe-kafe itu bakal aman dari terjangan ombak karena letaknya cukup jauh, sekitar 400 meter dari tepi laut. Tapi ombak besar setinggi lima meter pada awal Agustus lalu meluluh-lantakkannya. ”Runtuhan kafe ini sudah sampai di bibir pantai,” kata Ketut Kermit, 42 tahun, seorang tukang kayu yang ikut membangun kafe.
Fenomena di pantai Lebih terjadi pula di pantai-pantai selatan Bali lainnya. Juga di Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Maluku. Untuk pertama kalinya gelombang tinggi bertahan hampir sebulan di wilayah-wilayah tersebut. Pada Mei lalu, gelombang laut bahkan menghantam pantai selatan Jawa hingga mendekati permukiman nelayan.
Inilah dampak melejitnya suhu bumi ke titik terpanas pada tahun ini akibat pemanasan global dan meningkatnya kekuatan El Nino yang sudah terbentuk di Pasifik. El Nino membawa pengaruh tingginya curah hujan di beberapa tempat sepanjang Pasifik.
Pemerintah daerah Bali mengkategorikan pantai sepanjang 87 kilometer di Gianyar itu sebagai pantai terabrasi. Tanggul dan pemecah gelombang sudah dibangun di sana pada 2004, tapi langkah ini gagal menahan ombak. Maka, ketika ombak setinggi lima meter menghantam selama berhari-hari, tanggul itu menyerah, pecah berserakan di sepanjang pantai.
Pada saat yang sama sebagian Jawa Barat dan Tengah mengalami kekeringan hebat. Sekitar 268 ribu hektare padi di wilayah ini diperkirakan puso. Di Kalimantan, beberapa lokasi lahan gambut mulai terbakar sendiri karena teriknya matahari. Di Jakarta lain lagi keadaannya: hujan turun selama beberapa hari.
Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani dan Nelayan Siswono Yudo Husodo mengatakan, petani kini tak bisa lagi meramal dengan baik kapan berakhirnya kemarau. Padahal, 10 tahun lalu mereka masih bisa menghitung musim kemarau yang datang secara teratur pada April dan berakhir Oktober. Musim hujan dimulai akhir Oktober hingga April tahun berikutnya. ”Tahun ini mereka masih menanam padi pada Juni, padahal Juli sudah kemarau,” ungkapnya.
Kemustahilan ramalan petani itu, menurut Siswono, disebabkan adanya perubahan iklim dunia. Pemanasan global ditengarai menjadi penyebab utama kacaunya iklim bumi. Kenaikan suhu bumi terjadi lantaran volume gas rumah kaca yang meningkat.
Menurut perhitungan pada 1990, volume gas rumah kaca per tahun mencapai 13,7 gigaton. Ini bersumber dari pembuangan asap knalpot kendaraan, cerobong pabrik, pemakaian CFC pada pendingin udara dan alat elektronik lain. Kenaikan suhu bumi ini hanya bisa dicegah bila manusia mampu melakukan aktivitas yang mengurangi gas-gas itu dalam jumlah setara.
Para klimatolog di British Meteorological Office (BMO) pada Januari lalu menghitung, 2007 akan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah bumi. Penyebabnya adalah gabungan dari kemunculan El Nino, meningkatnya pemanasan global, dan efek penyinaran matahari.
Menurut mereka, bumi akan mengalami kenaikan suhu +0,54 derajat Celsius dari suhu rata-rata 1961–1990. Ini mengalahkan kenaikan pada 1998 sebesar +0,52 Celsius yang dikenal sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah. Kenaikan ini juga melampaui suhu tahun lalu yang menurut Badan Meteorologi Dunia (WMO) meningkat +0,42 di atas rata-rata 1961–1990. Suhu tahun lalu terhitung sebagai yang terpanas ke-6 dalam sejarah bumi.
Suhu rata-rata bumi yang dipakai sebagai acuan adalah pengukuran BMO selama periode 1961–1990 yang mencatat 14 derajat Celsius. Artinya, suhu rata-rata bumi tahun ini akan mencapai 14,54 derajat Celsius. Jika dibandingkan dengan suhu 1998 yang mencatat 14,52, suhu tahun ini meningkat relatif sedikit, yakni +0,02 Celsius. Kenaikan yang sekecil itu sudah dapat membunuh berbagai spesies di muka bumi, membikin gagal panen, dan membawa kekeringan panjang.
Indonesia pun terkena imbas yang hebat berupa kebakaran hutan terbesar di Kalimantan dan Sumatera, yang menghabiskan sekitar 10 juta hektare hutan, menggagalkan panen padi, dan mematikan terumbu karang (coral bleaching). Menurut lembaga konservasi World Wide Fund for Nature (WWF), pada 1990 saja Indonesia sudah menderita kerugian sekitar US$ 3 miliar (Rp 27 triliun) akibat pelbagai bencana.
Pakar iklim dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Zadrach D. Lupe, membenarkan bahwa sejak 1850 bumi terus memperlihatkan kecenderungan kenaikan suhu. Awalnya, kenaikan itu berselang-seling dengan penurunan. Anomali terjadi mulai 1970. Sejak itu suhu bumi terus merangkak naik.
Seperti BMO, Zadrach juga menyebutkan aktivitas matahari dan kegiatan manusia sebagai penyebab utama kenaikan suhu. Perubahan jarak matahari, presisi, dan kemiringan bumi yang berubah-ubah menyebabkan bumi mengelilingi matahari dengan sudut kemiringan antara 22 derajat hingga 7 derajat. Hasilnya? Derajat panas yang sampai ke permukaan bumi juga berbeda-beda. Adapun kegiatan manusia, terutama transportasi dan industri, ikut menyumbang kenaikan suhu.
Untuk tahun ini, Zadrach meramalkan kemarau di Indonesia akan memiliki intensitas tinggi. Artinya, udara akan lebih panas. Tanah lebih cepat mengering karena minimnya persediaan air di lapisan atas. Pada September sampai Desember, katanya, Indonesia akan memasuki musim pancaroba, yaitu musim kemarau yang diwarnai hujan. ”El Nino akan mempengaruhi sebagian wilayah Indonesia Timur,” ungkap Zadrach.
Untuk menekan kerugian akibat kacaunya cuaca dan perubahan iklim, Siswono mengusulkan agar Badan Meteorologi dan Geofisika secara teratur menyebarkan informasi pergeseran musim kemarau dan hujan kepada masyarakat. Meskipun sekarang amat sulit meramalkan iklim, kata Siswono, ”Setidaknya ramalan BMG bisa membuat petani lebih siap menghadapi kekeringan dan banjir.”
IGG Maha Adi, Rinny Srihartini (Bandung), Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo