Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
+ Mungkinkah Jakarta dihantam tsunami?
- Mungkin.
+ Apa mungkin pula Ibu Kota hancur karena gempa?
- Dari buku yang pernah saya baca: itu juga mungkin.
Percakapan ini terjadi antara Sukarto dan Joniansyah, penghuni rumah susun Tanah Abang, Jumat dini hari dua pekan lalu. Keduanya masih terengah sehabis berlari menuruni tangga dari lantai 6. Gempa pada beberapa menit selepas tengah malam itu membuat mereka dan sebagian besar penghuni rumah susun berlarian panik menyelamatkan diri.
Sukarto cemas pada kemungkinan runtuhnya ”apartemen murah meriah” tempat ia bermukim. Ia juga khawatir mengenai nasib saudaranya yang tinggal di Muara Angke, tak jauh dari pantai Jakarta. Bukan apa-apa, gempa sepagi itu berlangsung lebih dari dua menit! Kekuatannya 7,5 pada skala Richter. ”Saya khawatir jangan-jangan ada tsunami,” ucapnya.
Kecemasan Sukarto dirasakan banyak warga lain. Selain Jakarta, getaran terasa hingga Cilacap, Yogyakarta, dan Padang, Sumatera Barat. Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) bahkan menyebutkan getaran merambat hingga Semenanjung Malaysia.
Memang, gempa ini tak mengakibatkan kerusakan fatal. Hanya ada laporan dari Unit Pengolahan (UP) VI Pertamina Balongan di Indramayu yang menyebutkan turbin penggerak mesin di kilang minyak mengalami kerusakan. Itu pun belum dipastikan apakah akibat gempa. ”Kerusakan ditemukan setelah terjadi gempa,” kata Kepala Humas UP VI, Balongan, Darjanto.
Yang mengejutkan adalah gempa itu datang dari pantai utara Jawa, 75 kilometer barat laut Indramayu. Selama ini gempa yang datang bergiliran biasanya berpusat di pantai selatan Jawa, Sumatera, Selat Sunda, atau di sepanjang ”sabuk bencana” Indonesia. Pantai utara Jawa praktis berada jauh di luar sabuk ini. Mungkinkah terjadi perluasan patahan hingga utara Jawa?
Pakar geologi Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja, mengatakan, gempa di utara Jawa itu bukan sekali ini terjadi. Data gempa Jawa menunjukkan, secara umum pantai utara Pulau Jawa sering dilanda gempa-gempa dalam. Hampir dua bulan sekali terjadi getaran dengan kekuatan di atas 5 pada skala Richter. Pada 1996, misalnya, terjadi gempa berkekuatan 6,1 pada skala Richter. Ini adalah siklus 30 tahunan.
Adapun gempa berkekuatan 7,5 pada skala Richter, yang terjadi dua pekan lalu, adalah yang pertama dalam 40 tahun terakhir. ”Tapi memang gempa yang menimbulkan dampak fatal di utara Jawa jarang terjadi,” ujar Danny.
Gempa dua pekan lalu dihasilkan oleh tumbukan subduktif lempeng Indo Australia yang menghunjam lempeng Euro Asia. Yang pertama bergerak ke timur laut, sedangkan lainnya ke barat daya. Lempeng Indo Australia di utara Jawa berada di kedalaman 60–300 kilometer.
Suhardjono, Kepala Bidang Gempa Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), mengatakan, gempa tidak menimbulkan kerusakan fatal karena pusat (episentrum) gempa berada pada kedalaman 286 kilometer di bawah permukaan laut. Guncangan teredam oleh lapisan bebatuan di atasnya. Meski demikian, getaran gempa terasa hingga jauh karena sifat guncangan adalah horizontal. ”Ini tidak terlalu merusak,” katanya.
Dia menambahkan, gempa dengan episentrum yang demikian dalam memang tidak menimbulkan kerusakan serius. Gempa susulan pun kecil kemungkinan terjadinya. Selain itu, dipastikan tidak memicu gelombang tsunami. Yang merusak dan menimbulkan tsunami adalah gempa dangkal dengan episentrum kurang dari 70 kilometer di bawah permukaan laut. ”Selagi masih di kisaran 7 pada skala Richter, dampaknya tidak fatal,” kata Suhardjono.
Bukan berarti daerah utara Jawa, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah, bebas dari gempa yang mematikan (dangkal). Sejarah mencatat, pada 1847 Cirebon dan Majalengka porak-poranda oleh lindu. Demikian pula dua gempa yang menggoyang Kuningan pada 1842 dan 1875. Gempa bumi merupakan peristiwa alam yang terus berulang dalam siklus tertentu, sehingga bisa dipastikan ancaman gempa tetap ada di utara Jawa.
”Kita sedang memasuki siklus kembalinya gempa-gempa besar yang terjadi seabad silam,” kata Cecep Subarya, pakar geodesi dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional dalam diskusi dengan Tempo beberapa waktu lalu.
Suhardjono pun tak menampik kemungkinan timbulnya tsunami di Jakarta atau pantai utara Jawa lainnya. Ini mungkin terjadi bila muncul gempa dangkal di Selat Sunda. Peluang tsunami karena gempa di selat ini adalah 40 persen. Persentase ini jauh lebih rendah daripada di selatan Jawa, yaitu hampir setiap gempa diikuti gelombang pasang. Tapi, ancaman sekecil apa pun bisa menjadi petaka. Karena itu, kata Suhardjono, masyarakat harus tahu dan dilatih menghadapi bencana.
Gempa di Indramayu menimbulkan pula kekhawatiran lain, yaitu kelangsungan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di kawasan Pegunungan Muria, Jawa Tengah. Widjanarko, peneliti dari Pusat Kajian Lingkungan Hidup Muria Research Center, Universitas Muria, Kudus, mengatakan, gempa yang terjadi di sejumlah daerah di Jawa belakangan ini membuat rencana pembangunan PLTN harus ditinjau ulang.
Muria termasuk daerah yang aman dari gempa, tapi dampak gempa dari daerah lain dikhawatirkan mengganggu reaktor nuklir yang akan dibangun. Sebab, gempa yang terjadi di Jawa kerap mengeluarkan energi besar karena terjadi dalam siklus panjang. Seperti teori pelentingan, makin sering pelepasan, makin kecil tenaga yang dilepaskan; makin lama diam tenaganya terkumpul, semakin besar energi yang dilepaskan.
Gempa memang menjadi ancaman serius bagi PLTN. Bocornya reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Tokyo Electric Power Co (Tepco) akibat gempa menjadi acuan untuk penolakan pembangunan PLTN Muria. Tepco mengeluarkan 1,5 liter air yang mengandung radioaktif setelah gempa berkekuatan 6,8 pada skala Richter mengguncang Kashiwazaki pada awal bulan lalu. Buntutnya, Jepang menutup tiga reaktor nuklir lain.
Menurut survei LIPI, Institut Teknologi Bandung, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan, Semenanjung dan Gunung Muria adalah daerah patahan yang berpotensi gempa. Hasan Aziz, Wakil Ketua Masyarakat Rekso Bumi, organisasi masyarakat yang menolak PLTN, mengatakan, sejarah mencatat daerah sekitar Muria, seperti Jepara, Kudus, Pati, dan Semarang, pernah diguncang gempa hebat.
Pemerintah rupanya sudah mempertimbangkan semua aspek, termasuk geologi, sehingga memilih Muria. Mengutip Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Hudi Hastowo, wilayah itu tetap stabil saat terjadi gempa. Menurut rencana, PLTN Muria akan beroperasi pada 2016. Pembangkit ini diprediksi bakal melahirkan listrik sebesar 4.000 megawatt.
Adek Media/Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo