LAPISAN atmosfer bumi sudah memberi tanda bahaya. Dan kesimpulan para ahli lingkungan hidup: kehidupan manusia tcrancam punah karena ulahnya sendiri Lalu, apa kiamat kian dekat, karena langit bolong tanpa lapisan ozon, kendati tidak terlihat mata telanjang? Sudah ada peringatan dini. Bahwa korban kanker kulit kelak bakal meningkat hingga 131 juta jiwa, terutama bagi mereka yang berkulit putih. Dan itu untuk manusia yang lahir sebelum tahun 2075. Sedangkan mencegah ulah tadi baru berupa perbincangan, diskusi, seminar. Para ahli lingkungan hidup se-ASEAN, misalnya, selama tiga hari, sejak 20 Juli lalu, berkumpul di Yogyakarta. Pertemuan ke-11 kali ini juga membahas uraian Muhammad Kuswanda, ketua panitianya. Ia bahkan membicarakan adanya Deklarasi Montreal yang membatasi penggunaaan CFCs atau Chlorofluorocarbons. Gas itulah yang bikin lapisan ozon di atmosfer makin menipis. Padahal, ozon menangkal sinar ultraviolet yang dipancarkan matahari. Jika sinar lembayung sampai ke bumi, maka kanker kulit dan katarak mata bakal merajalela di muka bumi. Tanpa ada pencegahan, lapisan ozon itu berkurang 2,3% setiap 20 tahun. Bahaya-bahaya seperti disebut tadi juga diungkapkan dalam konperensi tingkat dunia bulan silam, di Toronto, Kanada. Pertemuan itu dihadiri Prof. Emil Salim, Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Sekitar 350 ahli dari 48 negara, dalam pertemuan itu, mengamati perubahan atmosfer yang dipenuhi gas-gas berbahaya. Gejala itu disebut green house effect. Bumi bagai terkurung dalam rumah kaca besar, pengap dan panas. Lalu kesimpulannya: mesti dicegah sejak sekarang. "Kehancuran yang disebabkan gas-gas celaka ini merupakan bahaya nomor dua setelah ancaman perang nuklir," ujar Perdana Menteri Norwegia Dr. Gro Harlem Brundtland, yang hadir dalam pertemuan itu. Di samping bumi makin terasa panas, lapisan ozon di atmosfer terancam habis. Emil Salim sempat bergidik mengetahui akibatnya bagi kehidupan. "Menyeramkan," katanya. Pertandanya sudah muncul sekarang. Misalnya perubahan cuaca. Afrika kekeringan. Musim dingin tidak dingin, dan musim hujan yang tak menentu. Dan itu bukan kasus yang terpisah. Karena musim dingin yang menghangat di belahan kutub akan mengakibatkan mencairnya gunung es dan menaiknya permukaan laut di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Jawa. Selain itu, pohon tumbuh kerdil serta kian tandus. Sedangkan penyebab kerusakan lapisan ozon itu adalah penimbunan gas CO2 (karbon dioksida) dari pengunaan bahan bakar minyak, gas alam, batu bara. Gas-gas itu menumpuk sampai 5 milyar ton setahun, dan itu sejak revolusi industri di- Barat pertengahan abad lalu. Jumlahnya bakal bertambah hingga 25% selama 200 tahun mendatang. Urutan kedua yang merusakkan lapisan ozon adalah Chlorofluorocarbons. Penggunaannya, sejak ditemukan pada 1920, meningkat terus dari tahun ke tahun. Misalnya gas freon -- untuk AC dan berbagai alat semprot -- setiap tahun dihasilkan antara 800.000 dan sejuta ton. Parfum semprotan dan alat pencukur kumis bahkan sudah memakai CFCs. Padahal, bahayanya 10 ribu kali lipat katimbang CO2. "Meskipun itu tidak berwarna, tidak beracun, dan sukar bereaksi," ujar Prof. Otto Soemarwoto. CFCs itu, ujar Otto lagi, baru bereaksi dengan ozon di atmosfer. Inilah yang membuat lapisan ozon tipis, bahkan jadi bolong. Hal itu sudah ditemukan pada 1983, di atas Antartika. Lapisan ozon telah terkuras dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Sepuluh tahun sebelumnya, dua orang ahli, Rowland dan Molina, bahkan memberikan peringatan kepada masyarakat di seluruh dunia agar menentang kebiasaan menggunakan CFCs. Brundtland tegas menyalahkan negara-negara industri -- termasuk negaranya sendiri. "Kami yang memulai mengotori, dan kamilah yang harus membayarnya," katanya. Dan tahun lalu Dr. Irving R. Mintzer dari World Resources Institute di Washington memprakarsai Montreal Accord. Baru tiga negara yang tercatat menandatangani semacam kode etik penggunaan CFCs itu: AS, Meksiko, Norwegia. Sedangkan Kanad menyatakan menjadi penanda tangan ke-4. Singapura, seperti ditulis The Straits Times, akan mengikuti Montreal Accord. Tapi kata Richard Liem, juru bicara Kementerian Lingkungan Hidup Singapura, pada Ekram H. Attamimi dari TEMPO, ikutnya negara itu tergantung kesepakatan kelompok ASEAN setelah di Yogya pekan ini. Bagaimana Indonesia? Menurut Otto, mestinya ikut. "Pemerintah bisa menyelenggarakan sistem insentif dan disinsentif," katanya. Sctidaknya, produksi barang yang menggunakan CFCs itu dikenai pajak tinggi. Ada yang penting. Indonesia sudah mengirim kawat ke KBRI di New York: prinsipnya setuju. "Insya Allah, bulan ini kita akan menandatangani," tutur Emil Salim. Dan upaya pembatasan lain yang muncul di Kanada yaitu penggunaan bahan bakar mesti diturunkan sampai 50%. Sebagai tindakan pertama yang perlu diambil, ujar Brundtland, merestrukturisasi penggunan bahan bakar di negara industri. Lalu negra-neara brkembang? Emil Salim protes. Sebab, 75%, penduduk negara-negara yang sedang membangun itu (sekitar 3,5 milyar jiwa) masih menggunakan minyak atau kayu sebagai bahan bakar. "Di satu pihak kita membutuhkan pembangunan, tetapi juga menimbulkan akibat," kata Otto, ahli ekologi dan direktur Lembaga Ekologi Universitas Padjajaran itu. Memang, banyak pembangunan di negara berkembang yang berakibat pencemaran lingkungan. Padahal, itu perlu ditanggulangi. Dan kontradiksinya, menurut Brundtland, bagi negara Dunia Ketiga, demi pembangunan dan beban membayar utang, tentu diberi kelonggaran waktu. Bahkan terhadap pemakaian CFCs, mestinya juga serupa. Suhardjo Hs., Sigit Haryoto (Bandung), Aries Margono (Yogya), Toeti Kakialatu (Kanada)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini