PELURUSAN arus Bengawan Solo tanpa didorong aba-aba mimpi dan wangsit. Padahal, sebagian penduduk harus menyingkir dari sana. Digusur. Setidaknya, itu yang dialami di Desa Telukan, Grogol, dan Langenharjo. Namun, calon tergusur membangkang. Mereka tidak mau hengkang bila ganti ruginya kurang memadai. Misalnya Sukiman, 48 tahun. Bapak dua anak ini pegawai negeri. Rumah dan pekarangannya, sekitar 400 m2 yang bisa laku Rp 11 juta, ditawarkan ganti rugi yang tak sebanding. Bahkan rumah di pinggir jalan raya Solo-Wonogiri itu diganti dengan rumah di pelosok. "Lebih kecil, lebih sempit, dan lebih buruk dibanding milik saya sekarang," tutur Sukiman. Walau begitu, penduduk seperti Sukiman dan kawan-kawan paham kenapa mereka mesti pindah. Di Desa Grogol, wilayah Kabupaten Sukoharjo, misalnya, ada 32 rumah yang bakal digusur, plus sebuah kuburan. Namun, mereka minta agar ganti ruginya berupa tanah juga, dan itu tetap di Grogol. Mereka memang tidak mau dipelosokkan alias "dibuang" dari kota ke desa. Sementara itu, yang sial, seperti Mbah Ragil (begitu janda tua itu dipanggil) terus tergusur-gusur. Sebelum proyek itu berjalan, rumahnya tergusur karena pembangunan Jembatan Bacem, Grogol. Karena ganti ruginya kecil, Mbah terpaksa menjaja tanahnya yang di pinggiran Bengawan Solo yang terancam banjir laten itu. "Sekarang disuruh pindah lagi. Saya tak mau uang, tapi tanah untuk tempat bikin rumah," katanya. Lain Kartonrimo, 57 tahun. "Saya sudah rela meninggalkan pekerjaan untuk mengikuti kampanye Golkar. Eh, dua minggu setelah coblosan rumah kami dipatoki untuk digusur," ujar lelaki yang sudah puluhan tahun menetap di pinggir sungai itu. Bengawan Solo, yang riwayatnya dialunkan lewat lagu ciptaan Gesang itu, mencatat bah-bah dari aliran yang berhulu dari Pegunungan Seribu dan bermuara ke Gresik, Jawa Timur. Muntahan air Bengawan Solo sudah tak terkendali. Selama ini hutan di kawasan hulu Wonogiri makin hebat dibabat. Dan itu sejak zaman para penguasa Belanda berambisi menanam kopi. Kemudian berlanjut dengan berganti pelaku oleh penduduk setempat, yang pencariannya menjual kayu dari hutan-hutan. Akibatnya, air mencurah dari gunung tanpa hambatan, gara-gara penggundulan yang tak bertanggung jawab. Air dari sana lalu melimpah ke tubuh Bengawan Solo. Padahal, sungai itu merupakan penampung air, antara lain, dari Kali Dengkeng, Kali Brambang, Kali Kebangan. Maka, sejak 1863, sungai ini sudah tak mampu menampung air. Warna air bengawan itu kian cokelat, mengandung lumpur. Sebaliknya, bila musim kemarau sebagian badan sungai berubah jadi daratan, hingga bisa untuk bercocok tanam, misalnya jagung. Tapi penggarapnya mesti berhitung agar panennya itu sebelum hujan datang, lalu terendam. Dan bukan hanya penggarap yang rugi. Musim banjir bahkan sering jadi langganan tetap bagi penduduk Solo. Karena itu, pernah raja Solo membuat tanggul agar kotanya tak digenangi air. Tapi apa daya. Karena air yang memang punya sifat mengalir ke bawah dan berkekuatan itu tanggul malah jebol. Bah melimpah, seperti pada 1966, hingga menggenangi 32 ribu haktar daratan, termasuk wilayah Kasunanan Paku Buwono. Saat itu debit air di Jurug, Solo, 2.160 m3/detik. Pada 1975, debit sebesar itu terulang. Banyak kerusakan di sekitar anak Bengawan Solo, yakni Sungai Dengkeng di hulu Jurug. Dan tiap tahun banjir tambah menyebalkan. Kemudian diatasi dengan membuat waduk Gajah Mungkur (1981) di Wonogiri. Menurut Sriyono Mitrosutarno, pimpinan proyek Bengawan Solo, waduk itu sanggup menahan debit air sampai 400 m3/detik. "Selain itu, waduk itu juga mampu membebaskan daerah banjir sekitar 11 ribu hektar untuk periode ulang 50 tahunan," kata insinyur sipil alumnus ITB itu. Jadi, kawasan langganan banjir Jurug-Wonogiri, yang sebelumnya 19.500 hektar, dapat diperkecil dalam jumlah tadi. Sisanya yang 8,5 ribu hektar menunggu waktu diatasi. Tubuh sang bengawan yang bengkok-bengkok akan diluruskan. Rencana itu sudah sejak 1974, dan mulainya Mei lalu. Tapi kerja ini tak mencakup seluruh aliran Bengawan Solo, yang panjangnya 600 km itu. Pelurusannya cuma 11 km, di antara 55 km panjang sungai yang melewati Kota Solo. Badan sungai yang semula lebarnya rata-rata 100 m diperlebar menjadi 200 m. Di sebelah kiri-kanannya, sepanjang 23 km, dibuat tanggul yang tingginya 2 sampai 3 meter. Untuk dua tahapan pertama, proyek itu dikerjakan kontraktor Indonesia yang bekerja sama dengan Jepang, PT Waskito Kayima dan PT Bangun Makmur Utama. Proyek raksasa itu bakal menelan sekitar Rp 4,7 milyar, yang merupakan utang lunak dari Jepang. Jika proyek itu selesai, setelah 5 tahun mendatang maka panjang Bengawan Solo yang semula 55 km tadi menciut jadi 38 km. Kelak warga Solo, terutama yang menghuni di sekitar sungai terpanjang di Jawa itu, bebas banjir. Bengawan Solo kelak juga diharapkan punya riwayat "berseri" (bersih, sehat, rapi, dan indah), selain bebas banjir 100%. Dan itu pula program Pemda Solo, yang berturut-turut dua tahun ini meraih Adipura, karena kota itu terbersih di Indonesia. Konsekuensi dari pelurusan tersebut: sawah yang terkena lokasi proyek (80 hektar), kendati masih menghijau padinya, dibabat. Puluhan traktor, buldoser, truk pengangkut tanah, kemudian menggantikan pak tani bekerja di sawah. Badan Bengawan Solo yang berkelok-kelok itu, nanti, dibikin tak aktif. Tapi karena proyeknya baru mulai, kini masih bakal menelan areal 474 hektar lagi. Suhardjo Hs., Kastoyo Ramelan, Rustam Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini