WARTAWAN itu tak lagi sekadar kuli tinta. Ia, misalnya, sudah bekerja dengan perangkat teknologi tinggi, sehingga untuk melahirkan pekerja profesional seperti itu perlu lembaga pendidikan khusus. Dari asumsi inilah gagasan untuk mendirikan "sekolah wartawan" sudah lama dipikirkan tokoh-tokoh pers. Pada sidang pleno Dewan Pers di Bali tahun lalu, gagasan itu dimatangkan. Akhirnya, Sabtu pekan lalu, di Ruang Udayana Gedung Antara Jakarta, Menteri Penerangan Harmoko meresmikan Lembaga Pers Dr. Soetomo. Lembaga inilah yang nantinya mendirikan dan mengelola "sekolah wartawan" itu. Tapi, bagaimana bentuk lembaga pendidikan wartawan ini, belum dirumuskan. Begitu pula dari mana dananya. Yang jelas, seperti dikatakan Harmoko seusai peresmian, lembaga ini tidak akan membebani keuangan pemerintah. "Itu swadaya, akan dibiayai oleh masyarakat pers sendiri," kata Harmoko. Pertimbangan mendirikan lembaga pendidikan ini, menurut Harmoko dalam pidato peresmiannya, mengingat proyeksi kebutuhan tenaga wartawan yang disiapkan bekerja di industri pers setiap tahun berkisar antara 800 dan 1.000 orang. Jika diperhitungkan juga tenaga industri pers seperti periklanan, kehumasan, dan percetakan, angka itu membengkak antara 2.000 dan 3.000 per tahun. Proyeksi yang dilontarkan Menteri ini memperhitungkan 2 persen angka penggantian karena usia lanjut dan tingkat pertumbuhan pers antara 5 dan 7 persen setahun. Sementara itu, Harmoko menyebutkan jumlah lulusan dari 38 fakultas atau jurusan komunikasi massa di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta, tidak melebihi 300 orang per tahun. "Di sinilah letaknya mengapa dirasakan perlunya kehadlran Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Akademi Jurnalistik Dr. Soetomo, yang dapat menghasilkan kader-kader wartawan terdidik dan berpijak pada sistem pers Pancasila," kata Harmoko. Direktur Lembaga Pers Dr. Soetomo, Drs. Dja'far Hussin Assegaf, sependapat dengan Menteri, sekolah yang akan melahirkan wartawan profesional ini akan laku. Optimisme itu didasarkan pada kenyataan adanya 267 SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). "Bila penerbitan pers setiap tahun masing-masing menambah dua tenaga terlatih, maka bisa dihitung berapa sebenarnya kebutuhan yang harus dipenuhi," katanya. Keadaan "pasar" inilah yang dijadikan dasar pertimbangan, betapa perlunya sekolah untuk melahirkan wartawan itu. Lalu bentuk pendidikan itu seperti apa? "Kami lebih menitikberatkan pada segi profesionalisme," kata Dja'far Assegaf. Pendidikan ini tak memberi gelar dan ilmu yang diajarkan bersifat praktis serta mengacu pada peningkatan bobot, visi, dan wawasan. Dan seperti yang diharapkan Jakob Oetama, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pers Dr. Soetomo, dari sini akan lahir wartawan yang berbudaya, terampil, dan luas cakrawalanya. Program jangka pendek dari Lembaga Pers Dr. Soetomo ini adalah membuka Program Latihan Singkat yang meliputi semua aspek penerbitan pers. Agustus nanti sudah dimulai dengan Program Latihan Tata Letak dan Tata Muka untuk majalah dan tabloid. Pesertanya dibatasi sebanyak 30 orang, setiap orang dipungut Rp 150 ribu. Kursus berlangsung tiga hari bertempat di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, kantor Yayasan dan Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo ini. Tahun depan baru didirikan Akademi Jurnalistik. Akademi ini tidak sembarang akademi, karena ia menerima lulusan sarjana untuk dididik menjadi tenaga spesialis, ya, spesialis wartawan. "Mereka akan kami didik jadi wartawan profesional," kata Assegaf lagi. Persyaratan sarjana itu disesuaikan kebutuhan saat ini dan kenyataan hampir semua perusahaan pers mencari wartawan yang sudah lulus perguruan tinggi. Namun, menurut Assegaf, akan dipikirkan juga program dlploma untuk menampung lulusan SMA. Semua ini memang masih "di atas kertas", termasuk di mana lokasi kampusnya dan dari mana dananya. Namun, soal kurikulum, Assegaf menyebut, "kira-kira melongok ke Columbia School of Jurnalism, New York, Amerika Serikat." Jika pendidikan pers ini berjalan sesuai dengan harapan, seperti yang dikemukakan Menteri Harmoko, perusahaan pers tidak perlu lagi mendidik calon wartawannya sendiri. Apalagi, "tidak semua penerbitan mempunyai latihan swaloka (in house training) yang dapat menggodok para sarjana kepada keterampilan jurnalistik," kata Harmoko. Apakah lembaga pendidikan yang dikelola orang-orang pers -- dalam yayasan duduk beberapa pemimpin redaksi penerbitan terkemuka -- ini akan menyaingi sekolah jurnalistik yang telah ada? "Kami tak mau menilai sekolah jurnalistik yang telah ada. Yang jelas, kami akan membuat sekolah jurnalistik yang profesional," kata Assegaf, yang juga ketua bidang luar negeri PWI Pusat. Saat ini paling tidak ada dua sekolah tinggi swasta yang semula adalah "sekolah wartawan". Yakni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, yang ketika berdirinya 1953, bernama Perguruan Tinggi Jurnalistik, dan kemudian tenar dengan nama Sekolah Tinggi Publisistik sebelum beralih jadi IISIP. Satu lagi, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa (Stikosa) Surabaya yang ketika berdiri, 1964, bernama Akademi Wartawan Surabaya. Selain itu masih ada kursus-kursus -- jurnalistik, plus tentu saja jurusan komunikasi di beberapa universitas. IISIP yang berkampus di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, dikelola oleh Yayasan Kampus Tercinta. Kini memiliki 2.400 mahasiswa dan 150 dosen, tersebar di Jurusan Ilmu Jurnalistik, Ilmu Penerangan, dan Ilmu Hubungan Masyarakat. Terbanyak peminatnya adalah Ilmu Hubungan Masyarakat. Stikosa kini punya sekitar 500 mahasiswa dengan tiga jurusan yang sama dengan IISIP, dan tahun ini membuka jurusan baru yang sedikit melenceng, yakni Ilmu Pariwisata. Kedua perguruan tinggi ini sudah menghasilkan tenaga wartawan, terutama bekerja di perusahaan pers daerah. Memang, tak bisa dipungkiri, lulusan keduanya lebih banyak tertampung di luar penerbitan pers. Sementara itu, jurusan komunikasi di universitas negeri lebih banyak menampung mahasiswa yang berniat menjadi humas atau periklanan ketimbang wartawan. "Program Studi humas atau periklanan banyak peminatnya karena dianggap lebih praktis dan gampang untuk mencari pekerjaan," kata Ina Ratna Mariani Suparto, M.A., Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogya, kasusnya serupa. Jurusan ilmu komunikasi sepertinya untuk mereka yang berniat menjadi humas. Bukan tak ada yang berniat jadi wartawan, tapi kuliah dan praktek jurnalistik tak memadai untuk bekal menjadi wartawan. "Terus terang saya kecewa masuk jurusan sekarang ini," kata Rian Sudiarto, mahasiswa ilmu komunikasi Fisipol UGM angkatan 84. Niatnya jadi wartawan dirasakan cuma di angan-angan kalau ia hanya mengandalkan kuliah di situ. Karena itu, Rian ikut kursus jurnalistik yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y). "Di sinilah saya memperoleh keterampilan jurnalistik," katanya. Apa kata Ketua Jurusan Komunikasi Fisipol UGM Djoenaesih S. Sunardjo? "Lulusan dari sini diharapkan menjadi analis," katanya. Bila ada yang terjun ke bidang pers, itu semata-mata karena interes pribadi. "Bukan karena ilmu yang diperoleh di bangku kuliah," tambahnya. Di jurusan komunikasi kuliah 70 persen teori dan 30 persen praktek, sementara seorang wartawan justru dimatangkan oleh berbagai masalah yang dihadapi di lapangan. Artinya, untuk menjadi wartawan tak cukup hanya kuliah di Jurusan komunikasi. Seorang wartawan memang tak bisa dicetak dalam lembaga pendidikan jurnalistik yang hanya menekankan teori saja. Ini ucapan Ashadi Siregar, dosen Fisipol UGM, yang juga direktur LP3Y itu. Wartawan, menurut Ashadi, harus diberi materi jurnalistik praktis. Itu sebabnya, LP3Y menekankan pada praktek jurnalis praktis dan diskusi-diskusi. Ada penugasan, penyusunan berita, deadline, sebagaimana di penerbitan pers. Sudah menyelenggarakan kursus lima kali, LP3Y banyak menghasilkan lulusan yang diserap penerbitan pers, baik di pusat maupun daerah. Dan seperti menjawab tantangan wartawan di masa depan, LP3Y pun mulai angkatan ke-5 ini hanya menerima peserta kursus dari mahasiswa yang sudah selesai teori (minimal usai semester 7) dan sarjana. Yusroni Henridewanto, Ahmadie Thaha, Agung Firmansyah (Jakarta) dan I Made Suarjana (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini