Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Padi Lahan Gambut, Mission Impossible

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahan gambut tidak berjodoh dengan pertanian padi. Meski gambut masih tipis, hanya beberapa meter, lahan seperti itu tak layak ditanami. Suriato dan warga Dusun Tumbang Mangkutub lainnya di ping gir an Sungai Kapuas pernah mencoba bertanam padi. Tapi sebagian besar gagal.

Hanya tiga dari 35 keluarga yang berhasil. Itu pun karena mereka memiliki perhitungan sendiri tentang lahan yang bisa ditanami. Pertama, yang mereka sebut sebagai pematang dan luau, tanah bantaran sungai hingga selebar 700 meter dari tepi sungai, yang berupa pasir putih yang tidak bisa ditanami. Baru kemudian gleget, selebar sekitar 300 meter saja. Bagian inilah yang bisa dita nami berbagai tanaman, termasuk padi. Setelah itu 700 meter tambah 300 meter dari tepi sungai sudah berupa gambut tipis, yang hanya dapat ditanami karet. Selanjutnya adalah gambut tebal.

Nah, megaproyek sawah sejuta hektare ini rencananya ditanam di gambut tebal. Terang saja tanaman padi warga Tumbang Mangkutub ketika itu gagal total.

Sawah ”diciptakan” dengan membuka lahan gambut seperti yang dilakukan di perkebunan sawit. Caranya, gambut di keringkan, dengan menebangi pohon-pohon hingga habis, lalu dibangun saluran air yang membuat air di dalam gambut mengucur sampai kering. Dalam proyek sawah sejuta hektare, saluran air ini memiliki panjang se-Pulau Jawa. Semua digali dengan ekskavator.

Di berbagai daerah lain di Sumatera, kadang pembalak juga membuat kanal semacam ini untuk transportasi balok. ”Mereka membuat kanal untuk membawa kayu,” kata Yus Rusila Noor, koordinator nasional pemulihan lahan gambut Wetlands. Efek kanal untuk transportasi ini sama persis dengan di lahan sejuta hektare. Air dari gambut yang berwarna cokelat kekuningan itu dengan cepat mengucur keluar dan la hannya menjadi kering.

Gambut yang kering ini sangat mudah terbakar, dan jika sudah terbakar dampak lingkungannya jauh lebih buruk. Simpanan karbon dalam gambut 18 kali jumlah karbon di pohon yang ada di permukaannya. Ini karena gambut dalam proses menjadi batu bara.

Risiko ini mungkin sudah terlihat jika lahan ”sawah sejuta hektare” itu diker jakan dengan benar, dengan analisis dampak lingkungan yang seharusnya. Tapi, karena tidak ada analisis dampak lingkungan, dan proyek dilakukan tanpa perhitungan, yang terjadi sekarang adalah malapetaka lingkungan.

Nur Khoiri


Monumen Tragedi Padi

Proyek sawah sejuta hektare di atas lahan gambut itu telah menjadi monumen tragedi lingkungan. Program ini gagal menciptakan lahan pertanian sekaligus mengunduh bencana alam. Lokasi terparah terdapat di sekitar Kecamatan Mantangai, Kalimantan Tengah: hutan gundul dan gambut mengering.

Luas total
1,4 juta hektare

Blok A
Luas 227 ribu hektare dikerjakan paling awal. Saat proyek dihentikan, kerusakan terparah di wilayah ini akibat hutan sudah dibabat habis dan sebagian besar menjadi tanah terbuka yang hanya berisi semak-semak. Kanal-kanal dari Sungai Barito menuju Kapuas sudah dibuat di blok ini.

Total kanal
4.400 kilometer (sebagian berkedalaman sampai 10 meter)

Transmigran
Sebanyak 13.500 transmigran didatangkan untuk mengolah lahan.

Warga setempat
Sekitar 500 ribu penduduk setempat terkena dampak langsung asap setiap kali gambut terbakar. Kebakaran pada 1997 menghancurkan dua juta hektare lahan gambut di Kalimantan.

Kisah Petaka Sejuta Hektare

Sawah sejuta hektare yang digelar di lahan gambut sudah diprediksi gagal sejak awal. Analisis dampak lingkungan dilakukan ketika proyek sudah berjalan. Satu-satunya alasan proyek ambisius ini jalan terus adalah karena ini gagasan mantan presiden Soeharto, penguasa Orde Baru.

1985
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia menobatkan Indonesia sukses menjadi negara swasembada beras, padahal sebelumnya pengimpor beras terbesar di dunia. Namun Indonesia kembali tidak swasembada karena berkurangnya lahan pertanian di Jawa dan kurangnya pembukaan lahan di luar Jawa.

5 Juni 1995
Presiden Soeharto menginstruksikan pembukaan lahan pertanian baru 5,8 juta hektare di kawasan gambut Kalimantan Tengah. Dari luas itu, hanya 1,4 juta hektare yang akhirnya disetujui para menteri. Total biaya US$ 2-3 miliar (Rp 4,6-6,9 triliun dengan kurs 1995 atau Rp 18-27 triliun kurs sekarang).

26 Desember 1995
Keluar keputusan presiden untuk menjadikan lahan gambut itu sebagai lahan pertanian padi.

23 Januari 1996
Proyek mulai dikerjakan, analisis dampak lingkungan menyusul.

1997
Analisis Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor menyatakan hanya 30 persen lahan yang layak menjadi sawah padi. Analisis belakangan hanya 10 persen yang bisa menghasilkan padi.

1999
Presiden B.J. Habibie menghentikan proyek lahan gambut sejuta hektare. Tapi lahan sudah telanjur dibuka, dengan 917 kilometer saluran air utama dan 11 ribu kilometer saluran sekunder.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus