Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font color=#CC0000>Tubuh Chaos</font>, Tubuh Kesepian

Indonesian Dance Festival ke-10 berlangsung pekan lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Beberapa penampil dari luar menyuguhkan tontonan tak lazim.

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Plakk, plakk….” Mereka saling menampar pipi. ”Bukk....” Mereka kemudian saling meninju ulu hati. Sungguh pertunjukan tari yang tidak biasa. Empat laki-laki dari Osaka, Jepang, yang menamakan diri Contact Gonzo itu terdiri atas Yuya Tsukahara, Itaru Kato, Yu Kanai, Keigo Mikajidi awalnya naik panggung Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta, dengan bersahaja.

Mereka mengenakan kaus dan celana sport, seperti anak muda baru pulang dari joging. Mulanya mereka me ngitari panggung, saling pandang. Tiba-tiba terdengar entakan ganas pukulan drum. Di layar panggung muncul ba yang-bayang besar seperangkat drum dipukul seorang perempuan (Sayaka Himeno). Cara memukulnya energetik, kalap, hingga menimbulkan insting agresi kepada Yuya dan kawan-kawan. Hampir setengah jam, mereka saling mendorong, menindih, memukul.

Penonton sampai terpekik karena pukulan di dada, perut, terdengar keras. Ada kalanya seseorang dari mereka berusaha menenangkan penonton, tapi kemudian perkelahian mereka makin brutal. Kamera poket yang terpental dari saku mereka tendang, injak ke sana-kemari, juga botol air minum an kemasan, yang isinya membuat licin lantai. Mereka makin saling menyerang, melempar diri, sampai badan mereka tumpuk-menumpuk.

”Kami ingin memperlihatkan bahwa tubuh tak bisa dikontrol dengan logika,” kata Yuya Tsukahara, yang berambut Mohawk. Itulah prinsip estetika pertunjukan mereka. Yuya mengenakan kaus bertulisan ”Gonzo, accidental aesthetic”. Ia menerangkan, semua yang dilakukan di pentas spontan, tidak ada koreografi yang terencana. Pertama kali mereka melakukan ini di taman-taman Osaka pada 2006. Nama Gonzo diambil setelah membaca karangan Hunter S. Thompson, jurnalis Amerika yang mengembangkan Gonzo journalism gaya jurnalistik yang berusaha melihat realitas dengan cara berbeda dibanding jurnalisme pada umumnya. ”Kami ingin melihat tari dengan cara berbeda,” kata Yuya.

Menurut Yuya, para personel Gonzo berusaha menjaga keselarasan gerak agar meminimalkan cedera, walau tetap saja ada yang terluka. ”Saya pernah patah tulang rusuk. Teman-teman lain patah jari,” kata Yuya. Segera kita lihat Contact Gonzo menjadi gaya urban sendiri di tengah kecepatan hidup Osaka. Empat pemuda itu memiliki pandangan sendiri terhadap gerak tubuh chaotic. Prinsip-prinsip gerak dari tari klasik atau balet yang serba terkontrol, terkendali sama sekali, dibuang dari parameter mereka. Mereka sama sekali tiada beban bereksperimen tanpa unsur-unsur tradisi.

Tubuh yang chaos juga menjadi roh pertunjukan Kim Jae-duk. Anak muda 27 tahun asal Seoul ini menafsirkan kembali melodi tradisional Korea, poomba. Judul pertunjukannya Darkness Poomba. Ia menghadirkan dua gitaris dan drumer yang live di panggung Graha Bakti Budaya. Pentas dibuka dengan dua laki-laki berpakaian seperti narapidana saling merebut tangan dan meraupkannya ke muka masing-masing, dalam tempo yang kian cepat. Lalu masuk lima orang, dua di antaranya perempuan, yang bergerak bersamaan, tapi kadang hanya duet atau trio. Dua penari laki-laki di atas sampai menghambur ke penonton membawa sendok, mangkuk, dan nampan aluminium.

Cabikan disonan yang garang dari dua gitaris yang menafsirkan poomba mengiringi tujuh penari Kim itu. ”Basic saya adalah gerak dengan flow bebas,” kata Kim. Kim mengakui gerakannya dipengaruhi modernisasi Seoul. Kehidupan urban kota besar menuntut gerakan supercepat. Tubuh pun harus dibiarkan lepas. Kim tak mau terlalu banyak memasukkan unsur tradisional dalam tariannya. ”Tari saya merefleksikan ketidakpastian anak-anak muda Seoul,” ujarnya.

l l l

Problemnya mungkin sajian mereka terlalu radikal bagi yang mengharap bahwa tari adalah pergumul an kefitrahan tubuh, yang menghasilkan efek indah dan kedalaman spiritual. ”Saya sama sekali tak paham dengan pentas Gonzo. Apa bedanya dengan perkelahian di jalanan,” kata Vincent Mantsoe, penari Afrika Selatan.

Tapi mau tidak mau, seiring dengan kompleksitas modernisasi, selalu muncul visi estetika baru atas apa yang dinamakan tari. Gagasan koreografi Gonzo dan Kim tak lepas dari pertumbuhan kota tempat mereka tinggal. Kini kota metropolitan Asia seperti Seoul, Tokyo, Shanghai, Dubai, Abu Dhabi, Beijing, dan Taipei boleh dibilang dipenuhi gedung yang jauh lebih futuris daripada Eropa. ”Mereka sehari-hari hidup dalam lingkungan artifisial bikinan arsitek yang didominasi visual,” kata penari kita, Sardono W. Kusumo.

Maka Sardono menganggap, bila tari para koreografer muda Korea dan Jepang kini dipenuhi unsur kecepatan gerak, itu merupakan keniscayaan. Juga bila panggung dipenuhi elemen kece patan cahaya. Anak-anak muda itu mungkin membutuhkan pelepasan yang tak tertampung dalam energi tradisi. Menurut Sardono, itu berbeda dengan semangat generasi penari Asia 1970-an. Saat itu yang berkobar justru perla wanan tubuh terhadap mo dernisasi. ”Para penari butoh di Jepang, misalnya, ingin kembali ke hal yang intrinsik dari tubuh,” kata Sardono.

Di Indonesia, karena lingkungan kota belum sepenuhnya futuristis dan kosmopolit, serta sifat agraris dan urban masih bercampur aduk pada penduduknya, mungkin para penari kita menghadapi tantangan yang lain. Pada Eko Supriyanto dan Jecko Siompo, kita masih melihat akar tradisi diolah.

Pada Fitry Setyaningsih, kita sering melihat keberaniannya berinteraksi dengan aneka benda dan menampilkan para penarinya dalam ekspresi gerak yang ”aneh-aneh”. Penarinya sering orang-orang biasa yang tak memiliki latar belakang tari. Kini ia menyajikan Shelf sebuah koreografi yang khusus dibuatnya untuk dua penari muda Jakarta, Siti Ajeng Soelaiman dan Andara Firman Moeis. Tema nya menyangkut kehidupan sehari-hari mereka.

Pentas penuh unsur visual. Ia menggunakan papan luncur untuk ditum pangi tubuh Siti dan Andara. Ia menghadirkan cermin-cermin mika, di mana Sita dan Andara bisa seolah berkaca dan berganti pakaian. Ia menggelontorkan kertas toilet di lantai. Klimaksnya adalah saat Siti dan Andara mendorong meja gelas-gelas anggur. Keduanya meneguk beberapa sloki dan menjatuhkannya di lantai hingga pecah. Yang menjadi persoalan seluruh elemen visual kadang sekadar aksesori atau hanya menjadi barang-barang sepintas lalu tanpa adanya interaksi yang kuat dengan tubuh keduanya.

Akan halnya Asri Mery Widowati, dengan pentas berjudul Merah, ingin mengkontraskan kealamiahan tubuh dengan keartifisialan tubuh. Dalam cahaya temaram musik bunyi-bunyian serangga malam ia menampilkan penari asal Sorong, Boogie Yason Koirewoa, hampir telanjang. Boogie, yang hanya mengenakan celana minim sewarna kulit itu, bergerak menampilkan seluruh detail anatomi ototnya. Di hadapan Boogie, Asri sendiri berbalut kostum yang mengesankan ”manusia masa depan”.

Dalam pertunjukan sebelumnya di Teater Salihara, Jakarta Selatan, pementasan terasa lebih intens. Di situ Boggie seorang diri mengeksplorasi diri, tanpa sosok ”cyborg”. Ia seolah melakukan perjalanan detik per detik ke dalam anatominya sendiri. Ia mampu mengirim kita ke suasana arkais. Kekontrasan yang ingin dihadirkan Asri di akhir dengan menggendong Boogie, sayang, malah mengendurkan tenaga pertunjukan.

Sajian lain yang menarik adalah pentas Maybe Forever karya kolaborasi Meg Stuart dan Philipp Gehmacher dari Jerman. Ini juga koreografi dalam pengertian yang tak lazim. Dalam tata cahaya yang kelam dan lantunan musik berkesan angker, mulanya kedua penari itu berusaha saling merengkuh, mene lusuri tubuh, sebelum hilang ditelan gelap.

Setelah terang, seorang gitaris, Niko Hafkenscheid, muncul. Alunan chord-nya yang sederhana, tanpa efek apa pun, membawa kita pada suasana mengambang, melankolis, yang perih. Meg dan Philipp saling mendekat, membelai, namun interaksi mereka terasa dingin dan penuh potensi konflik. Se saat mereka bergandengan, berpe lukan, dan bercumbu. Tapi dalam waktu singkat gandengan tangan terlepas.

Di atas panggung mulanya Meg berdiri di depan mikrofon, dan bercerita panjang: ”You remember when I said I couldn’t live without you? Kita tahu koreografi ini bermaksud menyuguhkan dunia yang personal. Dari sudut ke sudut pasangan itu bergumul, bergantian dengan Niko yang menyanyi sangsai. Sementara dua pertunjukan sebelumnya, Gonzo dan Kim, menampilkan tubuh chaos dan agresif, sebaliknya Meg dan Philipp menampilkan sepa sang tubuh yang kesepian.

Sepasang tubuh yang hampa dan teralienasi. Sepasang tubuh yang mengobarkan hasrat erotisme namun jatuh dalam hubungan yang monoton, datar, dan hambar. Maka itulah jawaban (ali bi) mengapa karya ini memang dibuat begitu lambat selama 80 menit. ”Untuk apa bergerak terlalu banyak jika memang tak diperlukan?” kata Meg Stuart kepada Tempo.

Powering the Future, tema festival kali ini, memang menyediakan ruang bagi usaha memperluas dimensi tari. Forum ini nantinya mungkin harus dibaca sebagai tempat berbagai kalangan tari membaca problem tubuh yang ada dalam modernitas.

Seno Joko Suyono dan Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus