Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nyambung sik,” kata perupa Teguh Ostenrik kepada Purwanto, tukang las di bengkel pabrik Niko Steel di Cikupa, Tangerang, Banten. Purwanto lalu mengangkat pelat-pelat besi berkarat yang membentuk tempurung besar itu dengan bantuan derek listrik. Pelan-pelan ”tempurung” tersebut ditempelkan dan dilas ke pelat-pelat besi lain yang menjadi kaki-kaki dari sebuah patung perempuan hamil.
Teguh menambahkan pelat-pelat besi seukuran telapak tangan untuk menyempurnakannya. Bahkan satu dari delapan patung yang sudah jadi itu dibongkar dan dipasang lagi pada akhir Maret lalu karena Teguh merasa kurang sreg. ”Saya memperhatikan gesturnya,” kata seniman yang sudah 40 kali lebih berpameran solo di berbagai negara sejak 1977 ini.
Patung-patung Teguh itu memanfaatkan besi bekas silinder mesin pabrik yang dipotong menjadi pelat-pelat persegi berbagai ukuran. Seniman yang mencetuskan gerakan ”seni dan lingkungan” ini sudah lama mengolah limbah menjadi karya seni. Tahun lalu ia mengolah besi bekas menjadi beragam bentuk wajah rusak dalam pameran deFACEment. Pada 1993, bersama seni man Bali, dia membangun piramida dari plastik bekas setinggi 5 meter.
Kali ini alumnus jurusan seni murni di Hochschule der Kuenste, Berlin Barat, Jerman, itu menciptakan 10 patung besi dalam pameran Linea Nigra di CGartspace, Plaza Indonesia, Jakarta, 12-22 Juni. Pameran ini disertai 11 lukisannya yang bertema sama. Linea nigra adalah istilah dalam bahasa La tin untuk garis gelap dari tengah perut sampai ke bawah yang muncul pada saat kehamilan.
Kurator pameran, Chris Kerrigan, menyatakan Teguh mengabadikan perempuan sebagai wadah dari kekuatan yang luar biasa lewat patung besi. Namun, kata dia, ada kerumitan dalam pemanfaatan materi yang abstrak dan bertentangan semacam ini untuk menggambarkan kelembutan perempuan hamil.
Semua patung membentuk sosok perempuan hamil yang diwakili bentuk perut buncit dan sebagian paha. Warna cokelat karat pada patung itu akibat terkena panas dan hujan serta dibantu zat kimia untuk mempercepat oksidasi. Teguh mempertahankan kekaratan ini untuk memperoleh warna cokelat alami warna bumi perlambang perem puan sebagai ibu pertiwi.
Semuanya tanpa kepala (termasuk lukisannya), yang disengaja Teguh agar perhatian orang terpusat pada perut, yang juga membuat karya ini menjadi abstrak dan mengaburkan identitasnya. Perbedaannya hanya pada ge rakannya: ada yang sedang duduk, berdiri, dan mencondongkan badan ke kiri. Ukurannya besar-besar. Yang terbesar, Little Bundle of Joy, setinggi 2,5 meter lebih dan beratnya 300 kilogram lebih, diletakkan di antara dua eskalator di lantai satu mal tersebut. Patung-patung lain disebar di tiga lantai mal.
Punggung patung itu dibiarkan kosong. ”Secara estetik saya ingin membuat bentuk cekung dan cembung,” kata Teguh. Dari sisi depan, orang akan melihat kecembungan tubuh wanita yang sedang hamil. Dari sisi belakang, bentuk itu jadi cekung, ”Karena ibu kan selalu membuat kecekungan supaya si anak nyaman,” katanya, merujuk pada posisi ibu yang menimang bayinya.
Karya-karya Teguh ini memang diilhami pengalamannya menyaksikan istrinya, Mira Tedja, hamil tiga dan dua tahun lalu untuk melahirkan Pasola dan Nalini. Saat kehamilan Mira, Teguh membuat beberapa sketsa yang belakangan diselesaikannya menjadi lukisan yang kini dipamerkan.
Lukisan-lukisan itu menggambarkan kecemasan dan ketegangan perempuan hamil yang menanti kelahiran si jabang bayi. Dalam Get an Hour or Two, misalnya, Teguh menggambarkan perempuan yang mengelus perut buntingnya dalam kombinasi warna merah, kuning, dan ungu. Dia menempelkan kertas-kertas ke kanvas, sehingga sapuan cat di atasnya membuat tekstur kertas muncul.
Pameran Teguh kali ini terkesan lebih serius dan personal. Tak terlihat sen tilan humor yang dulu sering menyeruak di antara karyanya. Yang do minan adalah keintiman yang pekat antara seorang perupa dan subyeknya, antara seorang suami dan istrinya.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo