Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Demi Gambut Kembali Sehat

Revitalisasi lahan gambut bekas megaproyek zaman Orde Baru, sawah sejuta hektare, membutuhkan dana luar biasa besar. Tanpa peran penduduk sekitar, perbaikan tak akan berhasil.

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sejumlah acara televisi, perjalanan menyusuri sungai di Kalimantan dengan perahu digambarkan sebagai pengalaman menarik dan eksotis. Pepohonan rindang di sepanjang tepian sungai membuat kita kadang mesti menunduk agar kepala tidak terkena batang-batang yang menjulur. Terik matahari sulit menembus pepatnya pepohonan, sehingga hanya garis-garis sinarnya yang memantul di permukaan air.

Tapi pengalaman Tempo dua pekan lalu bersampan di saluran air yang bermuara di Sungai Kapuas, Kalimatan Tengah, berbeda jauh dengan tayangan promosi wisata itu. Tidak ada pohon yang menjadi tameng sinar matahari. Pepohonan di tepian sungai sudah sangat jarang, dan itu pun hanya setinggi sekitar tiga meter. Di sela-sela pohon itu bertumpuk bongkahan pangkal kayu menghitam bekas terbakar. Udara terasa sangat kering, tidak lembap seperti seharusnya hutan tropis.

Setelah perahu menepi, kondisi lanskapnya lebih buruk lagi. Kayu menghitam bekas kebakaran bertebaran di mana-mana hingga sejauh mata memandang. Kalaupun ada unsur hijau, itu berasal dari semak-semak pakis vegetasi yang mampu tumbuh di tempat yang tumbuhan lain tak hidup yang tak lebih tinggi dari lutut orang dewasa.

Begitulah pemandangan di sisa proyek pengembangan lahan gambut yang dijalankan pada 1996-1999. Orang mengingatnya sebagai megaproyek sawah sejuta hektare. Program yang digagas Presiden Soeharto itu bermaksud mengubah 1,4 juta hektare lahan gambut menjadi sawah. Hasilnya, padi tak tumbuh, rakyat tak makmur, sepanjang 917 kilometer saluran air telanjur digali untuk membuat kering lahan gambut, dan lahan ratusan ribu hektare pun telanjur rusak tidak bisa ditanami pepohonan.

Tempo menyaksikan petaka di lahan bekas proyek raksasa zaman Orde Baru itu di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, dua pekan lalu. Di tanah yang sakit itulah Kemitraan Karbon Hutan Indonesia-Australia akan merevitalisasi kawasan gambut yang mati suri.

Bila lahan gambut sehat, bayangan akan belantara Kalimatan itu seperti tayangan promosi wisata yang sering kita lihat: pohon-pohon setinggi puluhan meter menjulang, berkat gambut yang basah karena selalu menyerap air. Namun, jika gambut kering, lahan pun sangat mudah terbakar karena kandungan karbonnya tinggi, mirip bahan bakar.

Bila sudah terbakar, asapnya sangat menyesakkan karena tingkat karbon pada gambut bisa 18 kali lebih banyak dibanding pada pohon di atasnya. ”Seperti merokok 10 batang sekaligus,” kata Yus Rusila Noor, yang menjadi koordinator nasional ketika lembaga lingkungan Wetlands International berusaha memulihkan lahan gambut di bekas proyek padi gagal itu, pada 2002-2008.

Kandungan karbon yang begitu banyak ini membuat perbaikan gambut diupayakan dimasukkan ke program pengu rangan emisi akibat pembabatan dan penurunan jumlah hutan di negara berkembang (REDD) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam program ini, negara maju memberikan bantuan untuk perbaikan hutan negara berkembang. Jika sudah berjalan, dana rehabilitasi bisa lebih lancar mengalir. Beberapa pekan lalu, misalnya, Norwegia menjanjikan US$ 1 miliar (Rp 9 triliun) untuk program serupa. Adapun yang segera berjalan adalah hibah dari pemerintah Australia melalui proyek Kemitraan Karbon senilai US$ 30 juta (Rp 272 miliar) untuk perbaikan hutan, terutama lahan gambut.

Sebelumnya Kanada dan Belanda juga mengirim dana untuk perbaikan lahan gambut. Proyek Kanada ini yang dilaksanakan Wetlands. Lembaga tersebut memulai revitalisasi lahan gambut dengan membendung kanal-kanal yang sudah telanjur dibuat untuk sawah sejuta hektare. Waduk-waduk kecil tersebut berfungsi mencegah air mengalir ke Sungai Kapuas, sehingga gambut yang kering kembali basah. Mereka sudah membuat sekitar 25 bendungan berbagai ukuran bergantung pada lebar kanal yang ada di kawasan gambut ini.

Proyek Kemitraan Karbon juga mirip. Hanya besarannya lebih jumbo, ya itu dengan membangun 400 bendungan. Menurut salah satu koordinator Kemitraan Karbon, Neil Scotland, bendung an yang akan dibangun itu untuk menyehatkan gambut sehingga lebih kebal dari kebakaran. ”Kebakaran selalu ber asal dari pinggir kanal karena orang beraktivitas di kanal,” kata Scotland. ”Air membuat pinggir kanal basah dan tidak gampang terbakar.”

Setelah lahan basah, pohon-pohon vegetasi asli, seperti meranti dan belangeran, dapat kembali ditanam dan hidup layak. Belangeran adalah tum buhan yang tahan api. ”Kadang batangnya sudah hangus, tapi daunnya bisa tumbuh lagi,” kata Yus Rusila Noor.

Adapun hutan gambut yang masih memiliki pohon besar diharapkan tidak ditebangi. Tempo sempat melihat satu sampan lewat menghela ikatan belasan gelondongan kayu melewati bendung an buatan Wetlands yang sudah rusak. Itu adalah ulah penduduk sekitar yang memang tak punya penghasilan kecuali sebagai pembalak liar. ”Sehari bisa Rp 500 ribu,” kata Suriato, pemimpin Ko perasi Tuntung Pandang di Dusun Tumbang Mangkutub, di pinggir Su ngai Kapuas, yang sebelum 2004 sering ikut memotongi pohon untuk dijual. Sekarang ia tidak berani menebang karena risikonya besar. ”Takut ’disekolahkan’ dalam sel,” katanya.

Karena itu, sebagus apa pun program perbaikan gambut, tetap harus melibatkan penduduk setempat. Wetlands, misalnya, memperkerjakan warga lokal untuk membangun bendungan dan menanami pohon di lahan yang sudah cukup ”sehat”. Kalau membangun bendungan, penduduk dibayar kontan. Tapi, bagi para penanam pohon, bayarannya sedikit berbeda, yakni di pinjami uang. Satu pohon, misalnya, dihargai Rp 1.000.

Uang itu harus digunakan untuk mo dal usaha. Ada yang menggunakannya untuk modal industri rumahan, seperti membuat keripik, bertani, dan beternak bebek. Tidak semua berhasil. Yang mencoba membuat karamba ikan di sungai dan beternak ayam, misalnya, gagal.

Penduduk setempat juga diajak ikut memelihara proyek. Jika pohon yang ditanam itu tumbuh baik, mereka tidak perlu membayar utang. ”Mereka jadi ikut menjaga dan mencegah kebakaran,” kata Yus. Adapun di tengah bendungan dibuat kolam ikan. ”Mereka akan menjaga bendungan karena ada ikannya itu,” dia menambahkan.

Suriato sudah mendapat keuntungan. Koperasi Tuntung Pandang mendapat pinjaman Rp 19 juta dari Care International. Cara pembayarannya, kata Suriato, ”Kami harus menanami lahan se luas 19 hektare di lahan gambut yang rusak.” Setelah kegiatan Care selesai, prog ramnya diteruskan Kemitraan Indonesia-Australia dengan, salah satunya, pendidikan penanaman dan pemasaran karet.

Suriato, seperti warga lain di bekas lahan proyek sawah sejuta hektare, memang menjadi pokok penting perbaikan gambut ini. ”Tanpa melibatkan masyarakat, perbaikan dijamin langsung gagal,” kata Yus.

Nur Khoiri (Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah)


Air Mengalir Sampai Kering
Kanal yang dibuat di proyek sawah sejuta hektare membuat air di dalamnya habis dan kering. Gambut menjadi sangat mudah terbakar. Padahal kadar karbon gambut jauh lebih tinggi daripada pohon di atasnya. Itu sebabnya, gambut menyumbang karbon sangat besar di atmosfer jika terbakar.

Kanal
Sudah dibuat kanal 917 kilometer atau kira-kira sepanjang Pulau Jawa.

Pohon
Lahan gambut yang sehat sekilas tidak berbeda dengan hutan tropis lain. Pohon besar di sana-sini, seperti meranti, yang harganya mahal. Saat proyek sawah sejuta hektare, pohon dibabat habis.

Gambut
Tinggi bisa 10-15 meter dari sungai. Di da­erah lain, kedalaman gambut ada yang mencapai lebih dari 300 meter. Untuk proyek sawah sejuta hektare, lahan yang digunakan mencapai 1,4 juta hektare.

Gambut
Gambut terbentuk di lahan basah sehingga sering kali muncul di antara dua sungai. Mereka terbentuk saat tanaman tidak membusuk sempurna karena tidak ada oksigen. Jika dibiarkan, dalam jutaan tahun bisa berubah menjadi batu bara. Kadar karbon dalam gambut 18 kali karbon di pohon di permukaan. Saat gambut terbakar, emisinya jauh lebih buruk daripada kebakaran pohon di atasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus