Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAHAN namanya. Ada tato ”1981” terpatri di lengan kanannya. ”Tahun ketika orang kota membabat alas royang (hutan rimba) milik datuk-datuk kami,” kata lelaki 40 tahun ini. ”Sejak itu tak ada lagi rotan di sini. Tak ada lagi gelang dan kalung rotan.” Gelang plastik biru melingkar di tangan kiri Jahan.
Gunung Lumut, Kabupaten Paser, sekitar 300 kilometer dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Itulah kawasan hutan yang ditinggali Jahan, satu dari 130 orang dalam suku Dayak Paser Muluy. Total ada 28 keluarga yang tinggal di dua larik rumah papan sederhana. Semua orang saling kenal di sini.
Pertengahan Juni lalu, tim Yayasan Padi Indonesia, Sawit Watch, dan Tempo Institute singgah di Kampung Muluy. Salah satu komunitas adat penjaga jantung Borneo. Rimba yang lebat dan wingit mengitari kampung. Monyet bekantan, beruang madu, dan aneka jenis burung murai endemik hidup merdeka di belantara ini.
Ada 35 ribu hektare area tercakup dalam kawasan hutan lindung Gunung Lumut, termasuk 13 ribu hektare hutan adat milik suku Dayak Paser Muluy. Batas-batas hutan adat ditetapkan bersama dalam pemetaan partisipatif yang difasilitasi Yayasan Padi Indonesia, 2005. ”Kami membantu mengumpulkan ingatan kolektif tentang hutan warisan nenek moyang Muluy,” kata Ahmad S.J.A., Direktur Yayasan Padi.
Jidan, Ketua Adat Suku Dayak Paser Muluy, menjelaskan, sukunya telah 13 generasi tinggal di Gunung Lumut. ”Selama saya hidup, kami pindah empat kali di sekitar sungai,” kata Bining, nenek 80-an tahun, ibunda Jahan dan Jidan.
Pada 2002, Dinas Sosial Kabupaten Paser membangun permukiman yang sekarang menjadi lokasi Kampung Muluy. ”Lebih enak di sini. Rumah berjajar rapi. Cucu-cucu bermain di halaman,” kata Bining.
Banyak rahasia belum tersibak di Gunung Lumut. Sebagian besar wilayah ini masih berupa hutan perawan lebat tak terjamah. Di puncak gunung, 1.888 meter dari permukaan laut, ratusan jenis tanaman belum diidentifikasi secara ilmiah. ”Lumut di sana tebal sekali. Tak sedikit yang berkhasiat obat,” kata Jidan. Ada juga yang beracun. ”Bisa langsung membuat orang dibungkus tikar. Mati,” ujarnya.
Menjaga hutan bukan perkara mudah bagi suku Muluy. Iming-iming dan tekanan dari luar begitu deras. ”Kami pernah ditawari sepeda motor untuk setiap orang,” kata Jidan, Kepala Adat Kampung Muluy. ”Syaratnya, sebagian hutan kami dijadikan kebun sawit.”
Tawaran yang menggiurkan—kendati amat murah jika dibanding harga tanah. Mobilitas warga Kampung Muluy amat terbatas. Pasar terdekat ada di Simpang, 70 kilometer, dengan medan yang sulit berliku. Butuh seharian berjalan kaki. Tapi tawaran ditolak. ”Kami sudah pernah sengsara karena hutan rusak,” ujar Jidan.
Sepanjang dasawarsa 1970-1980—dan ini masih berlangsung sampai kini—hutan Kalimantan adalah magnet luar biasa. Perusahaan pemegang konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) bergerak agresif, tak terkecuali di Gunung Lumut. Pohon ulin yang kukuh perkasa, berdiameter lebih dari satu meter, ditebas gigi tajam gergaji mesin. Begitu pula pohon bangris (Koompassia excelsa). ”Itu harta kami. Tempat lebah madu bersarang,” kata Jombo, 90-an tahun, sesepuh Muluy.
Memasuki awal 1990-an, warga Kampung Muluy tak tahan menyaksikan pohon demi pohon tumbang, secara legal dan—apalagi—ilegal. Perlawanan terbuka digeber. Beralasan menuju pasar, Jidan dan kawan-kawan menggunakan gerobak berkemudi sederhana. Mereka ogah menepi ketika berpapasan dengan truk pengangkut kayu milik perusahaan pemegang HPH atau pembalak liar. ”Sengaja kami jalan seperti keong. Tiga hari tiga malam,” kata Jidan.
Ketegangan meletup di sana-sini. Tak jarang ada warga yang dibawa ke kantor keamanan perusahaan. Ketegangan mulai mereda ketika pemerintah resmi menetapkan status hutan lindung pada 1999. Perusahaan pemegang HPH yang memang sudah kehabisan izin jatah tebang menyetop operasi.
Hutan yang rusak perlahan menyembuhkan diri. Warga Muluy menanam pohon rotan di beberapa lokasi. Mereka berharap 30 tahun lagi rotan kembali penuh di Gunung Lumut.
Bukan berarti gangguan berhenti total. Pada awal 2000, sekelompok calon investor datang dan ingin menambang bukit di Gunung Lumut. Kabarnya, ada timbunan emas di sana. ”Kami berjaga-jaga, mengasah parang,” kata Sanen, warga Muluy. Helikopter pengangkut tim survei riuh mengitari udara Kampung Muluy. ”Begitu mereka melihat kami, tua-muda, lelaki-perempuan, berbaris mengacungkan parang, helikopter pergi menjauh,” kata Sanen.
Begitulah, jalan telah dipilih. Suku Muluy setia menjaga hutan, jauh sebelum area ini ditetapkan sebagai hutan lindung. Jauh sebelum insentif deforestasi diributkan dalam skema reducing emission from deforestation and forest degradation seperti sekarang ini. ”Karena kami tahu bahwa hutan adalah jatas tete ine, air susu ibu,” kata Bining. ”Tanpa hutan, mana bisa kita hidup.”
Bukan basa-basi. Kelangsungan hidup Muluy bergantung pada hutan. Petang itu, bersama sepuluh lelaki, Jahan turun dari kedalaman rimba. Masing-masing memanggul karung berisi biji asam keranji. ”Lagi panen,” katanya. Satu kilogram biji asam keranji laku dijual Rp 9.000. Rombongan Jahan bisa memanen satu ton asam keranji. ”Lumayan…!” dia berseru girang.
Hutan Gunung Lumut tahu benar membalas budi. Ekosistem terjaga. Sungai-sungai dengan air luar biasa jernih. Silih berganti musim panen hasil hutan bisa dinikmati Kampung Muluy. Asam keranji, durian, duku, dan yang paling dinanti adalah panen wani (madu) dari pohon bangris. Harga wani lumayan mahal, Rp 60-100 ribu per liter. ”Pernah sampai Rp 150 ribu per liter karena hanya sedikit lebah di hutan,” kata Jahan.
Bangris pohon yang gagah. Ia menjulang, 50-60 meter, jauh melampaui rekannya sesama pohon di hutan.
Sejak kecil pohon ini dirawat dengan cinta. ”Tiap bulan kami tengok. Kami bersihkan dari belitan akar pengganggu,” kata Asen, 20 tahun, satu dari sembilan pemanjat. ”Kami pasang pasak kayu ulin berbaris di satu sisi.” Kelak, jika bangris sudah dewasa dan menjadi tempat lebah bersarang, jajaran pasak ulin inilah yang berfungsi sebagai tangga pijakan. ”Satu pohon bisa ada 300 pasak,” kata Asen.
Setahun sekali, biasanya September, sarang lebah dipanen. Warga Muluy berombongan masuk hutan. Menjelang senja, sepotong kayu dupa dibakar. Besoyong (dukun) mengumandangkan mantra. Arwah leluhur diundang untuk menjaga para pemanjat pohon.
Memanjat bangris betul-betul bukan urusan gampang. Nyawa taruhannya. Pernah ada seorang pemanjat jatuh terpeleset pasak yang tidak kukuh ditanam. Mati.
Saat ini hanya sembilan (benar: 9) orang Muluy yang sanggup memanjat bangris. Berat kualifikasinya. Pemanjat tak boleh gampang panik, lincah berayun di ujung dahan meraih sarang dengan tali, dan sanggup menahan sakit digigit puluhan lebah. ”Mata harus awas, karena memanjat di malam hari,” kata Asen.
Dalam satu pohon bisa bertengger 50 sarang. Setiap sarang menghasilkan 50-100 liter madu. Tak mengherankan, begitu usai memanen madu, si pemanjat panas-dingin seharian, efek sengatan pasukan lebah yang marah. ”Saya dulu juga pemanjat. Tapi berhenti waktu umur 25 tahun,” kata Jahan. ”Ngeri kali di atas sana. Pusing.”
Ratusan liter wani hasil panen dibagi. Pemilik pohon—yang merawat dan memasang pasak ulin—dan pemanjat mendapat bagian paling besar. Sisanya dibagi rata kepada semua warga dan para tamu.
Malam itu, sembari menyampaikan kisah heroik panen madu, Jidan dan semua warga Muluy menyiapkan upacara tradisional. Sepasang ayam, berbulu merah dan putih, dikorbankan. ”Ini doa kami kepada arwah para datuk,” kata Mamang, sang besoyong. ”Agar mereka merestui dan ikut menjaga hutan kami.”
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo