Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kemenangan Becak Obama

Patung Barack Obama naik becak menang dalam Indonesia Art Award 2010. Ada perdebatan soal lukisan dalam seni rupa kontemporer.

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERDEBATAN panas pecah di antara lima ahli seni rupa itu. Mereka harus memutuskan yang mana di antara tiga lukisan dan sebuah karya grafis yang patut dipilih sebagai karya terbaik dalam kompetisi Indonesia Art Award 2010.

Para ahli itu adalah juri kompetisi tersebut, yakni Jim Supangkat, Asmudjo J. Irianto, Suwarno Wisetrotomo, Rizki A. Zaelani, dan Kuss Indarto. Mereka sudah saling kenal dan sering menjadi kurator pameran seni rupa kontemporer.

Mereka ”bersidang” di tengah 93 karya finalis yang dijejerkan di Ruang Serba Guna di belakang Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Rabu tiga pekan lalu. Mereka memberikan penilaian terhadap satu karya, lalu pindah ke karya berikutnya. Tapi, ketika sudah sampai di ujung deretan, mereka kadang balik ke karya pertama bila merasa perlu mempertimbangkannya kembali. Berbagai istilah berlontaran di antara mereka: contemporaneity, konteks persoalan, moralitas, tanda-tanda, representasi, dan seterusnya.

Ketua tim juri, Jim Supangkat, membantah adanya perdebatan keras, tapi mengakui perdebatan itu ada. ”Jurinya ada lima dan punya pendapat sendiri-sendiri. Namun, dalam penyeleksian itu, juri biasanya punya pendapat berbeda tentang karya bagus, tapi punya pendapat yang sama untuk karya jelek,” katanya.

Menurut sumber Tempo, para juri dengan mudah bersepakat memilih patung Presiden Amerika Serikat Barack Obama naik becak karya seniman Yogyakarta, Wilman Syahnur, dan The Good, The Bad, and The Restless karya Erwin Windu Pranata dari Bandung sebagai karya terbaik. Keduanya adalah karya tiga dimensi yang sudah dipajang di beberapa pameran. Tapi tak semua satu suara dalam perkara lukisan. ”Empat juri mendukung, tapi satu juri kurang setuju,” katanya.

Lukisan seakan menjadi anak tiri dalam wacana seni rupa kontemporer, yang didominasi karya tiga dimensi dan media baru, seperti seni video dan instalasi. Lima karya pilihan juri Indonesia Art Award 2008 juga tak menyertakan satu pun lukisan dua dimensi. Bahkan hasil penjurian dua tahun lalu itu juga kontroversial karena juri memutuskan tak ada pemenang dalam kompetisi.

Tim juri kompetisi tahun ini menghadapi masalah ini. ”Pemungutan suara” tak resmi dilakukan melalui perdebatan, yang bergeser dari masalah medium ke batasan makna kontemporer, yang kemudian menjadi tema pameran. Setelah berdebat sehari penuh, akhirnya mereka sepakat memasukkan lukisan Teater dari Saluran 99 karya Tatang Ramadhan Bouqie dari Jakarta sebagai satu dari tiga karya terbaik. Setiap seniman yang terpilih menerima hadiah Rp 50 juta.

Para juri sepakat bahwa kelebihan karya Tatang adalah ukurannya yang besar, 2 x 12 meter. ”Dalam melukis, membuat karya besar itu butuh napas panjang, karena menjaga kontinuitas itu tidak gampang,” kata Jim.

Karya besar itu dibagi dalam empat panel, yang setiap panelnya menampilkan berbagai obyek dan sosok yang berbentuk dan berkelakuan ganjil. Beberapa tokoh populer muncul pula di sana, seperti Elvis Presley dan Marilyn Monroe. Tapi di setiap panel ada manusia putih bertotol-totol hitam, yang seakan menjadi pemeran utama ceritanya. ”Ada situasi yang secara tak langsung kita tangkap sebagai situasi yang agak chaos di situ,” kata Asmudjo.

Semua karya finalis itu kini dipajang dalam Biennale Indonesia Art Award 2010 Contemporaneity di Galeri Nasional Indonesia hingga 27 Juni. Dalam pembukaan pameran pada Kamis dua pekan lalu, Jim mengumumkan penegasan bahwa pameran yang digelar rutin oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia pimpinan Miranda S. Goeltom ini merupakan biennale atau pameran seni rupa dua tahunan.

Tim juri mengakui tak semua karya yang masuk sesuai dengan harapan, karena seleksi awal mereka terhadap 1.300 karya yang masuk bukan dengan melihat karya sebenarnya, melainkan hanya berdasarkan foto dan catatan sang seniman. Walhasil, ada karya yang di foto bagus, tapi ternyata tak demikian dengan bentuk aslinya. ”Yah, sekitar 70 persen dari karya itu sudah baik. Tapi ada 20-30 persen yang kecelakaan,” ujar Jim.

Para juri terutama memuji patung Obama karya Wilman yang berjudul Membuat Obama dan Perdamaian yang Dibuat-buat itu. ”Karya Wilman itu sudah mendapat pengakuan publik, jadi karya itu sudah memiliki kekuatan. Saya kira sulit kalau kita menyangkalnya,” kata Jim.

Karya itu berupa patung Obama berjas hitam, terbuat dari polyesterin resin. Sambil tersenyum lebar, dia duduk di atas becak berbendera Abang Sam. Pada spatbor becak itu terpajang berbagai coretan, seperti ”Save Gaza Street”, ”Save Iraq”, dan ”Yes U Can”.

Karya ini memang menjadi buah bibir sejak pertama kali dipamerkan di Biennale Jogja X, tahun lalu. Pada saat itu, Wilman, sang penciptanya, mengayuh becak tersebut dari Taman Budaya Yogyakarta menuju Jogja National Museum. Becaknya terguling dan kaki ”Obama” patah. Wilman lantas membawa ”Obama” ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah.

Foto ”Obama” di depan rumah sakit Islam itu membuat heboh dan dikutip berbagai media nasional dan asing. Popularitas ”Obama” terus menanjak ketika dipajang dalam sebuah festival seni di Plaza Indonesia, Jakarta, dan menjadi karya yang paling ramai dikerubungi penonton.

Ketika dipamerkan di Galeri Nasional, karya itu juga menjadi favorit para pengunjung. Orang antre untuk berfoto bersama ”Obama”. Bahkan Asmudjo, salah satu juri, diseret beberapa temannya untuk berfoto bersama.

Asmudjo menimbang karya seni rupa kontemporer sebagai kesenian yang menyusup dan merepresentasikan setiap aspek dan persoalan masyarakat global masa kini. Patung Obama, katanya, mengandung banyak lapisan makna dan sebenarnya juga sebuah kritik. ”Karya ini sangat sadar akan gejolak politik global. Selain itu, interaksi orang dengannya juga sangat menarik,” katanya.

Adapun Jim mengajak publik mendiskusikan kembali apa itu contemporaneity atau kesezamanan dalam wacana seni rupa kontemporer dengan mencari tanda-tandanya. Hal ini, kata dia, berkaitan dengan seniman karena setiap seniman adalah produk dari zamannya.

Sementara karya Wilman merupakan pengaruh kondisi sosial-politik terhadap seniman, karya Erwin Windu Pranata merupakan pengaruh kondisi teknologi. Karya itu berupa dua kapsul besi setinggi setengah meter dengan sebuah lubang yang di dalamnya terdapat sebuah video kecil yang menampilkan rekaman ekspresi wajah sang seniman. Satu kapsul tampak mulus dengan video hitam-putih yang menayangkan ekspresi wajah riang dan jail. Kapsul lain kusam dan seakan berkarat dan menampilkan video berwarna dengan ekspresi yang ganjil, seakan-akan heran.

Sebagai ajang kompetisi, pameran ini jelas sulit menyajikan karya-karya seni rupa kontemporer Indonesia karena tak semua seniman mau berpartisipasi. Para seniman yang sudah punya nama, kata Jim, tak merasa perlu ikut kompetisi karena karyanya sudah dikenal atau takut kalah dalam lomba ini.

Akibatnya, kata Rizki, banyak segi dari seni rupa kontemporer di luar sana yang belum terwakili di sini. Dia mengusulkan nantinya ajang ini mengundang seniman tertentu untuk berpameran di luar kompetisi.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus