Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Paus pembunuh (Orcinus orca) atau paus orca tercatat muncul pertama kali di perairan Kaimana, Papua Barat, saat penelitian berlangsung pada Mei 2021 hingga Maret 2023. Peneliti Konservasi Indonesia Mochamad Iqbal Herwata Putra mengatakan wilayah jelajah paus itu hingga ke wilayah tropis di antaranya disebabkan perubahan iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap ketersediaan makanan bagi paus orca, yang terutama terjadi melalui perubahan habitat dan distribusi mangsa mereka,” ucap Iqbal dalam keterangan tertulis, Sabtu, 18 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan penelitian berjudul Insights into cetacean sightings, abundance, and feeding associations: observations from the boat lift net fishery in the Kaimana important marine mammal area, Indonesia, keberadaan paus pembunuh termasuk rendah di perairan tropis seperti Indonesia. Kemungkinan muncul hanya 0-0,10 individu per 100 kilometer per segi karena terbatasnya peluang mencari makan dan ancaman dari aktivitas manusia.
Iqbal menjelaskan, salah satu penyebab paus pembunuh lebih sering mengunjungi wilayah yang sebelumnya kurang optimal, akibat perubahan distribusi sumber makanan. Fenomena El Niño yang merupakan anomali iklim, kemudian frekuensi yang semakin meningkat akibat perubahan iklim, justru dapat meningkatkan kelimpahan sumber makanan di laut wilayah Indonesia.
Kondisi ini berpotensi terkait dengan meningkatnya laporan kemunculan paus pembunuh di perairan Indonesia. Namun, dalam pengamatan penelitian di Kaimana, paus pembunuh baru muncul pertama kali dan hanya satu ekor saja yang terlihat.
Iqbal mengatakan perubahan suhu laut, peningkatan stratifikasi kolom air, dan penurunan produktivitas primer, dapat menggeser distribusi mangsa paus pembunuh ke wilayah yang lebih dingin atau lebih produktif. “Selain itu, perubahan musiman dalam distribusi mangsa dapat memaksa orca untuk menempuh jarak yang lebih jauh dan menghadapi kompetisi yang lebih besar dengan predator lain,” tutur Focal Species Conservation Program di Konservasi Indonesia itu.
Paus pembunuh, kata Iqbal, merupakan predator yang terspesialisasi dan sering bergantung pada spesies mangsa tertentu. Contohnya, populasi paus pembunuh di laut Pasifik Utara sangat bergantung pada salmon chinook, tapi keberadaan mangsa itu juga terancam akibat pemanasan global, laut semakin asam, dan perubahan aliran sungai.
Ikan salmon chinook sangat penting untuk kelangsungan hidup dan reproduksi paus pembunuh jenis tertentu. Perubahan dalam kelimpahan mangsa utama tersebut akibat perubahan iklim bisa secara langsung mempengaruhi populasi paus pembunuh.
Saat penelitian di Kaimana berlangsung, tim peneliti sedang melakukan pengamatan terhadap mamalia laut lain, salah satunya lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik yang berada di dekat bagan terapung. Seekor paus pembunuh muncul, tetapi tidak berinteraksi dekat dengan bagan terapung, berbeda dengan mamalia laut lain yang berada di dekat jaring penampung tersebut.
“Paus orca yang diamati dalam studi ini berada cukup jauh dari lokasi bagan dan hanya melintas atau berenang bebas menuju tujuan tertentu,” kata Iqbal.
Hal ini mengindikasikan bahwa Kaimana kemungkinan berfungsi sebagai koridor migrasi bagi paus orca. Pada 2018, wilayah Kaimana diidentifikasi sebagai Important Marine Mammal Area (IMMA) atau habitat penting mamalia laut karena adanya sejumlah populasi lumba-lumba dan paus.
Selain perairan Kaimana, kata Iqbal, paus orca pernah dilaporkan muncul di Laut Seram, Laut Sawu, Laut Timor, Laut Banda, Bali, Wakatobi, Gorontalo, dan Raja Ampat. Tetapi penelitian tentang mamalia laut tersebut masih sangat jarang di Indonesia.
“Mereka berlimpah di perairan dingin seperti di laut utara pasifik karena memiliki sumber makanan yang kaya,” ujarnya. Karena sumber makanan yang melimpah di perairan dingin tersebut, paus pembunuh biasanya memiliki wilayah jelajah yang kecil dan menetap.