Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena cuaca yang panas dan gerah di Bandung belakangan ini menjadi pertanyaan warga juga ahli. Peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengatakan Bandung mengalami kenaikan suhu rata-rata harian selama tiga tahun terakhir. “Banyak yang bertanya mengapa akhir-akhir ini cuaca panas dan gerah tapi sore hari hujan,” katanya Ahad, 15 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari pengukuran suhu di Bandung pada Sabtu, 14 Mei 2022, pukul 15.30 WIB misalnya, termometernya menunjukkan angka 24 derajat Celcius. Sebenarnya, menurut Erma, besaran suhu itu masih dalam rentang suhu rata-rata di Bandung pada periode April-Mei yang berkisar antara 23-24 derajat Celcius. Sementara suhu rata-rata tahunan di Bandung berdasarkan data klimatologis dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berkisar antara 19-23 derajat Celcius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun data dari layanan informasi cuaca Ogimet, kata Erma, menunjukkan kenaikan suhu harian rata-rata. Contoh periodenya pada kurun 1-14 Mei. Dari data pengukuran di Bandara Husein Sastranegara Bandung pada 2020 suhunya 23,4 derajat Celcius, kemudian 23,8 (2021), dan 24,2 (2022). Kondisi itu, menurut Erma, dapat dipahami secara ilmiah karena pada 2020-2022 terjadi La Nina secara global. “Pendinginan suhu di Samudera Pasifik berdampak pada fenomena kemarau basah pada Mei,” ujarnya.
Kenaikan suhu itu, menurut Erma, yang menyebabkan suhu udara belakangan ini di Bandung terasa panas menyengat. Selain itu, parameter cuaca lain yang mengalami perubahan signifikan di kota Bandung adalah kelembapan udara pada saat terjadi hujan yang mengalami penurunan. “Berdasarkan teori, hujan bisa terjadi ketika kelembapan relatif udara mencapai atau mendekati 100 persen,” kata dia.
Namun begitu, terdapat tendensi bahwa kelembapan relatif saat terjadi hujan di kota Bandung mengalami penurunan selama Mei pada kurun waktu tiga tahun terakhir. Kelembapan relatif yang terdata, yaitu 89 persen pada 2020, kemudian 87 persen (2021), dan 84 persen (2022).
“Hal ini menunjukkan hujan yang terjadi merupakan jenis hujan hangat atau hujan panas,” kata Erma. Hujan seperti itu tidak dibangkitkan oleh proses konveksi yang optimum melainkan oleh peningkatan panas yang antara lain disebabkan oleh penghangatan suhu permukaan laut di perairan selatan Jawa.
Cuaca yang dikenal orag Jawa dengan sebutan hujan selak itu berintensitas ringan meskipun tidak ada awan mendung. Selama hujan itu udara tetap terasa panas selama hujan tersebut turun. Kondisi lainnya, hujan itu berpotensi disertai petir sehingga muncul istilah lain seperti gerimis berpetir. Penyebabnya karena awan mendung yang dihasilkan awan cumulus tunggal kemudian bercampur dengan awan cumulus lain yang masih tumbuh dan berwarna putih terang.
Karakteristik hujan panas itu, menurut Erma, yaitu cuaca yang panas pada siang hari karena sedikit tutupan awan dengan angin berembus tenang. Sementara hujan dibangkitkan oleh peningkatan panas dan suhu permukaan laut. “Selama tidak terjadi gangguan yang bersifat sinoptik atau skala luas, maka cuaca seperti ini dapat bertahan hingga beberapa hari mendatang.”
Baca:
Ini Penyebab Cuaca Panas di Indonesia Belakangan Ini
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.