Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Krisis Iklim Memicu Kenaikan Bencana Hidrometeorologi

Perubahan iklim telah meningkatkan jumlah kasus bencana hidrometeorologi. Indonesia tak serius mengatasi dampak krisis iklim.

19 November 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah rumah warga yang rusak diterjang banjir bandang akibat curah hujan yang tinggi meluapnya aliran Sungai Batang Sumpu dan Batang Ombilindi Nagari Silantai, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, 12 November 2024. ANTARA/Regi Darlis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aktivis Greenpeace dari berbagai negara berdemonstrasi di depan Blue Zone Area dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Baku, Azerbaijan, Senin, 18 November 2024.

  • Tiap aktivis menenteng kardus berisi sisa-sisa bencana hidrometeorologi yang terjadi di negaranya.

  • Dampak perubahan iklim menaikkan bencana hidrometeorologi pada masa peralihan musim.

BERDIRI di muka Blue Zone Area dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-29 atau The 29th Conference of the Parties (COP29) di Baku, Azerbaijan, Iqbal Damanik menenteng kardus berisi serpihan bekas kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera Selatan. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia itu bersama para sejawatnya dari Greenpeace negara-negara lain tengah menunjukkan kepada para peserta COP29 ihwal dampak perubahan iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami bawa semua serpihan bekas bencana yang terjadi di banyak negara untuk menunjukkan dampak serius bencana hidrometeorologi yang sedang dihadapi umat manusia,” kata Iqbal setelah berorasi pada Senin, 18 November 2024. Bencana hidrometeorologi yang dia maksudkan adalah fenomena bencana alam atau proses merusak yang terjadi di atmosfer, air, daratan, atau lautan. Petaka yang muncul seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir bandang, puting beliung, buruknya kualitas udara, hingga hujan ekstrem.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benda-benda yang diboyong Iqbal dari Indonesia adalah potongan panel surya, pesawat radio, dan kayu gosong yang tersisa dari kebakaran hutan di Sumatera Selatan pada Oktober 2023. Ketika itu, kebakaran mengakibatkan 4.083 hektare hutan dan lahan ludes dilahap si jago merah yang tersebar di 38.473 titik. Selain Iqbal, rekan-rekannya dari Greenpeace negara lain membawa benda-benda sisa bencana banjir bandang di Spanyol serta beberapa bencana lain di Banaba, Afrika Selatan, Brasil, Filipina, Austria, Kamerun, Italia, hingga Belgia.

Demonstrasi yang mereka gelar di sela konferensi tingkat tinggi iklim tersebut juga disertai protes. Para aktivis mengenakan kaus warna putih bertulisan “Make Polluters Pay” atau pencemar mesti menanggung biaya atas kerusakan akibat bencana di muka bumi. Mereka memprotes karena negara-negara penghasil emisi dinilai tidak serius mengatasi bencana hidrometeorologi yang terus meluas dan makin intens.

Pemerintah Indonesia, misalnya, menurut Iqbal, hanya mendengungkan pentingnya perdagangan karbon dalam upaya mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC). Iqbal melihat Indonesia tidak serius mengatasi perubahan iklim dan segala dampaknya, terutama bencana hidrometeorologi. Hal itu terpotret dari masifnya deforestasi atas nama pembangunan yang mengakibatkan kenaikan suhu bumi, melewati ambang batas 1,5 derajat Celsius dari kondisi Revolusi Industri yang disepakati dalam Perjanjian Paris.

Area sawah yang rusak diterjang banjir bandang akibat curah hujan yang tinggi meluapnya aliran Sungai Batang Sumpu dan Batang Ombilindi Nagari Silantai, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, 12 November 2024. ANTARA/Regi Darlis

Dampak perubahan iklim di Indonesia betul-betul nyata ketika bencana hidrometeorologi kian kerap terjadi pada masa peralihan musim. Belakangan, muncul badai hingga banjir yang melanda sejumlah daerah. Satu di antaranya adalah banjir bandang yang menerjang lima nagari di Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, pada Senin, 11 November 2024. Kelima nagari itu adalah Sumpur Kudus, Sumpur Kudus Selatan, Silantai, Unggan, dan Mangganti. Meski tak ada korban jiwa, banjir itu mengakibatkan banyak rumah warga terendam dan bahkan terseret arus air bah, seperti di Nagari Mangganti.

•••

SEBELUM banjir melanda Sijunjung, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah mewanti-wanti. Mereka menerbitkan peringatan dini cuaca buruk untuk wilayah Sumatera Barat. BMKG memprediksi terjadi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat disertai petir dan angin kencang. Peringatan dini itu juga disertai imbauan untuk bersiaga terhadap potensi bahaya banjir bandang akibat hujan deras, seperti limpahan material kayu, batu, tanah, dan kerikil yang dapat menghantam permukiman.

Supriadi, 24 tahun, warga Nagari Sumpur Kudus, menceritakan muasal air bah yang menerjang kampungnya. Mulanya, air disebut meluap dari Sungai Batang Sumpur pada pukul 08.00 WIB setelah semalaman wilayah itu diguyur hujan. “Karena sudah sering terjadi hampir setiap tahun, kami sudah bersiap dan membersihkan rumah dari puing-puing,” katanya kepada Tempo pada Selasa, 12 November 2024.

Kepala Stasiun Meteorologi BMKG Bandara Internasional Minangkabau Deddy Kurniawan menyebutkan fenomena banjir bandang di Sumatera Barat terjadi akibat Indian Ocean Dipole (IOD). “Saat ini fenomena IOD aktif di Pulau Sumatera sehingga berpengaruh terhadap wilayah Sumatera Barat lantaran adanya penampakan awan yang menyebabkan terjadinya musim hujan yang panjang,” ucap Deddy.

Dalam waktu bersamaan, Sumatera Barat juga tengah menghadapi fenomena La Nina atau ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik lebih dingin. Peristiwa inilah yang menjadi biang munculnya bencana hidrometeorologi di sejumlah kabupaten di daratan Sumatera. Deddy menyebut hal tersebut sebagai dampak perubahan iklim.

Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Negeri Padang Nofi Yendri Sudiar menjelaskan, perubahan iklim praktis telah mengacaukan peralihan musim, seolah-olah musim hujan dan kemarau tidak bisa diprediksi. “Misalnya di Kota Padang, tiga tahun terakhir terjadi perubahan siklus hujan,” tutur Nofi.

Perubahan siklus hujan yang dia maksudkan merujuk pada hasil penelitiannya di Stasiun Maritim Teluk Bayur, Padang. Penelitiannya mendapati intensitas hujan yang semestinya rendah pada Juni menjadi meningkat. Intensitasnya bahkan sama dengan intensitas hujan pada April. Kata Nofi, hal ini terjadi akibat krisis iklim yang diperparah oleh laju deforestasi di Indonesia.

Lebih dari dua dekade terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kenaikan intensitas bencana akibat fenomena iklim dan cuaca. Mereka mendapati 16.563 bencana hidrometeorologi berlangsung di seluruh wilayah Indonesia pada periode 2020-2024. Jumlah kejadian bencana ini meningkat 35 persen dibanding lima tahun sebelumnya.

Banjir menjadi jenis bencana yang paling dominan, diikuti kekeringan dan tanah longsor. Laporan BNPB menyebutkan bahwa sedikitnya 32,9 juta jiwa terkena dampak banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem yang berlangsung selama tiga windu tersebut. Adapun total rumah dan fasilitas publik yang rusak akibat bencana hidrometeorologi selama lima tahun terakhir mencapai 4,79 juta unit. Mayoritas bangunan rusak karena terjangan banjir.

Peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional, Erma Yulihastin, sejak beberapa tahun terakhir rajin mewanti-wanti publik ihwal dampak bencana hidrometeorologi. Teranyar, ia mengidentifikasi adanya pembentukan badai vortex atau aliran pusaran angin yang sangat kencang, yang disebabkan oleh konvergensi aliran, di Samudra Hindia.

Vortex itu berperan memindahkan uap air ke daratan dan secara tidak langsung menciptakan angin kencang melalui fenomena badai squall line atau bow echo,” ucap Erma. Squall line adalah fenomena cuaca berupa barisan badai yang tersusun dalam satu garis disertai angin kencang dan hujan lebat. Sedangkan bow echo menggambarkan kumpulan hujan atau badai petir yang menjauh saat ingin kencang mencapai permukaan dan menyebar secara horizontal.

“Pada beberapa kejadian cuaca ekstrem berupa hujan badai merusak yang luas, seperti di Cimahi, Cianjur, Bogor, Bekasi, dan Kendal, angin kencang dipicu oleh pecahnya badai squall line,” ucap Erma.

Berdasarkan pengamatan radar cuaca, fenomena squall line bisa dideteksi dari hujan deras berbentuk pola memanjang dan membusur yang menunjukkan aktivitas awan konvektif terus tumbuh dan memanjang. Setelah squall line pecah, wilayah yang mengalami hujan deras akan meluas, bahkan dapat membentuk dua sel badai.

Seorang anak berenang di depan rumahnya yang terendam banjir akibat tingginya intensitas hujan dan meluapnya Sungai Krueng Woyla, di Desa Blang Cot Mameh, Woyla Barat, Aceh Barat, Aceh, 17 November 2024. ANTARA/Syifa Yulinnas

Erma mengatakan, pada dasarian kedua November, aktivitas vortex di Samudra Hindia diprediksi membesar dan menguat. Faktor ini ia sebutkan bakal terus mempengaruhi cuaca ekstrem dan memuncak hingga dasarian pertama Desember. Selain itu, Indonesia sedang dihantui angin baratan yang akan bertemu dengan angin timuran di atas Pulau Jawa.

Faktor-faktor pembentuk bencana itu makin menguat karena suhu permukaan laut yang menghangat. Menurut Erma, memanasnya permukaan laut memberikan energi bagi pembentukan badai berupa hujan ekstrem karena terjadinya perbedaan tekanan di darat dan laut. “Mirip yang terjadi di kota-kota pesisir di Spanyol saat ini yang sedang dihantam hujan torensial,” ucap Erma.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati sudah mengingatkan perihal risiko terjadinya bencana hidrometeorologi yang akan terus berlangsung beriringan dengan terjadinya fenomena La Nina hingga Maret 2025. “Dimulai dari November hingga Desember diprediksi dan sudah terjadi La Nina lemah yang bersamaan dengan masuknya musim hujan,” kata Dwikorita pada Senin, 18 November 2024.

Adapun puncak musim hujan diperkirakan berlangsung pada Januari-Februari 2025, sehingga akan memicu intensitas hujan lebih tinggi dibanding pada bulan sebelumnya. Dwikorita bahkan menghitung 67 persen wilayah Indonesia akan dirundung hujan dengan curah tahunan lebih dari 2.500 milimeter. Wilayah-wilayah yang masif diguyur adalah Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Papua.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Fachri Hamzah dari Padang, Sumatera Barat, berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus