SUARA klarinet tiba-tiba hadir di malam di tengah hutan Pulau Seram itu. Lagu sayu Summertime. Ganjil, memang. Umur hutan itu ratusan tahun, tapi mungkin baru kali itu sebuah melodi dari Porgy 'n Bess dimainkan di sana. Tapi kenapa tidak ? Di sini Kamp Solea. Di sini salah satu titik pada peta kegiatan Operation Raleigh (disingkat OR), yang mempertemukan ilmu, dan dana, yang bermula di Barat, dengan alam tropis, di Maluku. Di sini bergabung ilmuwan Inggris dan Indonesia, dalam suatu ikhtiar dengan biaya hampir Rp 200 juta, dan berlangsung selama setengah tahun, untuk menemukan jawab bagi banyak pertanyaan keilmuan tentang flora dan fauna. Dan mungkin, akhirnya, juga tentang manusia. Mereka menghuni tiga kamp. Selain di Solea itu, sebagian di Kanikeh (dua hari jalan kaki dari Solea) dan sebagian lagi di Manusela (satu atau dua hari dari Solea). Si peniup klarinet di Kamp Solea itu, dalam acara sehabis makan, adalah seorang penjelajah berkebangsaan Inggris. Setelah menembus hutan dan meneliti di siang hari penghuni kamp meriung di barak beratap plastik itu. Ada beberapa kaleng bir tergeletak di meja. Ada saat untuk lupa pada keseharian -- dan pada kenangan yang tak enak. Beberapa hari sebelumnya, seorang anggota rombongan tewas. Korban itu, Paul Claxton, jatuh ke sebuah jurang. Jasadnya sudah diterbangkan ke Inggris, tapi ingatan tentang dia masih membekas. Kata Steven Rose, kepala kamp Solea, "Kenangan atas Paul sangat pahit bagi kami." Tapi kematian Claxton rupanya tak mempreteli nyali. "Semangat kami masih tinggi untuk meneruskan program ekspedisi ini," kata Wandy Swales, direktur OR, seorang bekas mayor resimen para Inggris. Artinya, setelah tahap I selesai, kegiatan berikutnya tetap dimulai awal Oktober, dan berakhir Desember. Masih di Seram, hanya lokasinya bergeser ke selatan. Seram, 17.000 km2, memang pulau istimewa. Wilayah ini dilintasi yang disebut sebagai "Garis Wallace" (berdasarkan peta penelitian yang dibuat oleh ilmuwan termasyhur itu). Di sini hidup tak cuma jenis flora dan fauna yang berciri Asia. Juga yang berciri Australia. Di Maluku Tengah, Seram termasuk pulau tertua, muncul karena tubrukan antara lempeng Australia dan Asia, sekitar 15 juta tahun lalu. Mitos setempat menyebutkan, di sinilah tempat suku bangsa Alifuru, yang dipercaya sebagai nenek moyang orang-orang Ambon, Nusa Laut, Haruku, dan Saparua. Sampai kini, mereka masih menyebut Seram "Nusa Ina", Pulau Induk. Itu semua yang mengundang para peniliti itu datang. Hasilnya tak cuma buat mereka. "Ekspedisi ini sungguh banyak manfaatnya," tutur Sutrisno Suwoko dari Balai Konservasi Sumber Alam VIII, lembaga yang melingkupi daerah Maluku dan Irian Jaya. Penelitian segala potensi fisik biologis selama OR diharapkan akan banyak menolong rencana induk Taman Nasional Manusela. Ada 19 jenis penelitian OR di Seram: dari survei tentang mamalia sampai ke pola asuh anak. Terlibatlah 34 orang ilmuwan, di antaranya dari Indonesia sendiri, yang harus hidup di hutan berhari-hari. Kisah OR akhirnya, bukanlah cuma kisah tentang tanaman dan hewan, tapi juga ilmuwan. Dr. Hasiana Ibkrar misalnya. Ketua Laboratorium Ekologi ITB ini usianya 56 tahun. Hampir tiap hari wanita ini menempuh naik turun bukit, jalan kaki. Tujuan: meneliti tikus Pulau Seram. Hasiana ingin mengetahui nilai lebih hewan itu. Ia juga mengaisi tanah, mencari cacing. Maksudnya, mengukur kesuburan wilayah setempat. Begitulah tiap pagi, seusai sarapan Hasiana langsung mengenakan topi lapangan berwarna beige. Di tengah hutan, tanpa ragu ia berlutut di tanah, lalu memasang sendiri perangkap tikus hasil rancangannya. Tapi ia tak mengeluh. "Kerja begini bukan hal baru bagi saya," kata Hasiana, yang pada 1982 memimpin ekspedisi ke Krakatau. Untuk jalan kaki dan membungkuk bungkuk itu, Hasiana, seperti ilmuwan Indonesia lainnya dalam OR, harus membayar US$ 100 (tarif bagi mereka yang datang dari Inggris: 1.200). Para peneliti itu didampingi asisten dan teman kerja, yang disebut venturer, terdiri dari pemuda usia 17-24 tahun dari berbagai bangsa, yang harus membayar (ini 'kan semacam darmawisata antara US$ 100 dan US$ 3000. Biaya itu tak percuma. Lihat temuan pasangan John-John, yang dijuluki "manu sia burung". John Bowler, 24 tahun, sarjana ekologi dari University East Anglia, Inggris dan John Taylor, 26 tahun, seorang ahli bangunan yang punya hobi mengamati burung, bekerja sama melacak hutan. Dari dataran tinggi Kabipoto, menukik ke Kanikeh, mereka mencari. Sampai akhir Agustus, mereka temukan 110 spesies, 13 di antaranya hidup dan berbiak ("endemik") di Seram. Dari yang endemik ini, "Sepuluh di antaranya tak pernah ada di bagian dunia lain," tutur Bowler, yang tiga tahun lalu pernah meneliti unggas di Selat Sunda. Tapi Seram tak hanya punya burung. Orang juga bisa meneliti lautnya. Di Pulau Sawai, yang seluas dua kali lapangan bola itu ada Gayatri, sarjana biologi laut dari Universitas Nasional Jakarta. Ia disertai Bayu Wardoyo, 18 tahun, yang baru lulus SMA dan Steven Wattimena, 24, mahasiswa tingkat akhir Fakultas Perikanan Universitas Pattimura, Ambon. Tinggal di sebuah gubuk 3 x 5 meter ketiganya betul terpencil. Berita kematian Claxton di Binania, misalnya, mereka dapatkan dua pekan setelah kejadian. Sepanjang hari mereka merayapi ombak dan menyelam mengumpulkan gambar dan contoh binatang dasar laut. Malam hari, selain sebuah radio kaset mini, mereka dilingkupi oleh cahaya di bawah sana -- yang bagaikan gerak ribuan kunang-kunang. "Itulah keong-keong laut yang mengandung fosfor," tutur Gayatri gadis manis berusia 24 tahun. Pesona laut tak cuma itu. Di sana berbiak pula bia (semacam tridacna squamosa): kerang laut yang konon mengandung zat pembangkit gairah. Banyak sejoli dari Desa Sawai, datang dengan biduk bermesin, bermalam akhir pekan di pulau itu. Mencicipi bia, menggapai bulan. OR tentu bersumber gairah lain. Diatur oleh The Scientific Explorer Society, The Explorer Club, Institute of Underwater Archeology (semua di London) dan Walhi di Jakarta, OR meneruskan semangat ingin tahu Sir Walter Raleigh yang berkelana empat abad yang lalu. Mohamad Cholid, dari P. Seram
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini