Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NASIR, 50 tahun, dan warga Desa Gebang, Kabupaten Pesawaran, Bandar Lampung, lainnya pernah merasa frustrasi lantaran minimnya ikan tangkapan yang bisa dibawa pulang. Jangankan untuk dijual ke pasar, sekadar untuk dimakan bersama keluarga pun tak ada. Nasir tak tahu apa penyebabnya. Tapi itu cerita lama sebelum warga Desa Gebang bahu-membahu menjaga dan memelihara hutan mangrove di wilayah mereka.
Kini kondisinya sudah jauh berbeda. Mereka dengan mudah bisa menjala ikan sekitar 10 kilogram sekali melaut. "Jarak melaut juga menjadi enggak jauh," kata Nasir saat ditemui di Desa Gebang, tiga pekan lalu.
Desa Gebang, yang berjarak sekitar 30 kilometer selatan Bandar Lampung, adalah desa pesisir yang meliputi empat pulau, yakni Pulau Tegal, Bakau, Mahitan, dan Pasir Timbul. Rumah warga yang dekat dengan pantai memiliki ciri khas, yaitu berbentuk panggung. Bukan apa-apa, ketika laut pasang, banjir rob selalu menerjang desa mereka. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya hutan bakau di daerah pesisir.
Semula 1.900 keluarga Desa Gebang tak tahu manfaat mangrove. Warga yang bermata pencarian nelayan dan buruh itu dengan enteng mengambil batangnya untuk membangun rumah. Selain itu, batang mangrove dipakai untuk membuat area penangkapan ikan di tengah laut, semacam sistem keramba. Mereka juga tak pernah merasa bersalah jika mematahkan atau menghancurkan beberapa batang mangrove saat menangkap ikan. Sekali tebang, 15-20 batang mangrove bisa jadi korban.
"Waktu itu kami enggak peduli karena memang enggak tahu manfaatnya," kata Ketua Kelompok Mangrove Desa Gebang, Bambang Supriyadi. Semua itu berakhir ketika Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Mitra Bentala melakukan pendampingan untuk pemulihan mangrove. Pendampingan dimulai dengan satu kelompok yang terdiri atas 30 orang dan melakukan penanaman 50 ribu bibit mangrove.
Selama enam tahun program itu bergulir, sudah ada tiga kelompok mangrove yang terbentuk. Tiap kelompok memiliki anggota yang berbeda tempat tinggal dengan harapan pengetahuan tentang mangrove merata di seluruh desa.
Desa Gebang pernah memiliki luas hutan mangrove sekitar 250 hektare. Namun praktek pembuatan keramba di tengah laut memangkas luas itu menjadi tinggal 74,5 hektare pada 2010. Perlahan upaya penanaman dan pelestarian mangrove oleh kelompok masyarakat ternyata berhasil meningkatkan luas mangrove menjadi 98,4 hektare.
Masyarakat bersedia berubah lantaran mulai merasakan manfaat mangrove dalam kehidupan sehari-hari. Hutan mangrove yang menjadi tempat bertelurnya ikan mempermudah nelayan memperoleh ikan. Di setiap satu hektare hutan mangrove ada sekitar seribu ton ikan yang siap dikonsumsi. Selain itu, sebelum pemeliharaan mangrove, malaria menjadi penyakit endemis di Desa Gebang. Kini penyakit itu berkurang drastis. "Mangrove menjadi tempat hidup nyamuk, yang membuat mereka tak menyerang warga," kata Bambang.
Sayangnya, pelestarian hutan mangrove yang menampakkan hasil itu tak dilindungi payung hukum. Tak ada aturan yang jelas bila suatu saat kembali ada penebangan liar. Maka Dadang, Kepala Desa Gebang, kemudian mengambil inisiatif membuat "payung hukum" untuk menjaga kawasan mereka tahun lalu. Isinya, setiap orang yang menebang satu batang mangrove didenda Rp 500 ribu.
Peraturan ini berlaku bagi siapa saja, entah warga Desa Gebang entah pendatang. Hasilnya? Bukan cuma tak ada lagi penebang, mereka justru kian gencar melebatkan kembali hutan mangrove di Gebang. "Kalau kami tak melindungi, kami juga yang menderita," kata Dadang.
Ketua Divisi Pengembangan Masyarakat dari Mitra Bentala, Rizani Ahmad, mengatakan selama ini memang tak ada payung hukum yang melindungi kawasan mangrove. Padahal vegetasi mangrove sangat penting bagi kehidupan masyarakat dan ekosistem laut. Wisata bahari dan pertambakan adalah dua hal utama yang jadi pengganggu kelangsungan mangrove. Rehabilitasi yang selama ini sudah dilakukan sering menjadi percuma karena nihilnya perlindungan. "Jadi mangrove yang sudah lebat bisa saja berubah menjadi tambak karena tak ada legalitas dalam perlindungannya," ujar Rizani.
Peraturan desa, kata dia, adalah "perlindungan hukum" yang cukup ampuh menjaga kawasan mangrove, tapi legalitasnya lemah. Langkah selanjutnya adalah mengajukannya agar masuk ke zonasi pesisir, yang menjadi wewenang Pemerintah Provinsi Bandar Lampung. "Sudah kami ajukan. Semoga pemerintah provinsi menyetujuinya," ujar Rizani. Jika provinsi tak menyetujui kawasan mangrove sesuai dengan peraturan Desa Gebang, rehabilitasi yang selama ini dilakukan bisa berubah menjadi tambak atau kawasan wisata.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mengatakan mangrove punya peran penting untuk Indonesia. Sebab, Indonesia adalah salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Jika mangrove tak dijaga, Indonesia akan sangat rentan terhadap ancaman perubahan iklim. Tanaman mangrove melindungi pesisir dari ancaman abrasi dan kenaikan muka air laut. Jika tak ada mangrove, ombak dan air laut langsung masuk ke daratan. "Ini akan mengganggu air tanah dan banjir di pesisir," kata Nur Hidayati.
Ia mengatakan harus ada upaya khusus yang sama seperti perlindungan terhadap hutan kayu. Sebab, kedua kawasan ini memiliki peran yang sama pentingnya, ditambah peran mangrove sebagai tempat pemijahan ikan. Mangrove punya peran penting dalam kedaulatan pangan.
Saat ini, kata Nur Hidayati, aturan perlindungan hutan bakau belum jelas berada di kementerian mana. Namun sudah ada proses pembuatan peraturan itu. "Proses pembentukan peraturan pemerintah sudah sekitar setahun, tapi belum rampung," kata dia.
Belum adanya payung hukum yang melindungi mangrove disadari oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Ia mengatakan kawasan mangrove saat ini memang dikelola oleh kementerian yang ia pimpin. "Kami punya pusat pengembangan mangrove di Bali dan Indramayu," kata Siti.
Namun, khusus wilayah pesisir, kewenangan perlindungan tak berada di bawah kuasanya, tapi di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian ini mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Luas kawasan mangrove di Indonesia kini mencapai 24 juta hektare. Pemerintah, kata Menteri Siti, telah menjalin kerja sama dengan Australia untuk mengembangkan dan melestarikan kawasan bakau. "Saya tak pernah mempersoalkan ada di bawah kuasa siapa. Yang penting lingkungannya lestari," kata Siti dalam kunjungannya ke Lampung.
TRI ARTINING PUTRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo