Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mawardi, warga Desa Buangan, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, tak sedang bermimpi ketika dipan yang ia tempati tiba-tiba berubah lasak pada Rabu subuh pekan lalu. Tubuhnya beberapa kali terpelanting. "Saya terlempar-lempar di ranjang," katanya Kamis pekan lalu. Menyadari ada yang tak beres, ia pun segera melompat. Kekagetannya memuncak. Lantai yang ia pijak, "Seperti terangkat." Ini gempa!
Tanah yang menyangga 145 ribu warga Pidie Jaya—juga masing-masing 400 ribu di Pidie dan Bireuen—berderak pada pukul 05.03 WIB itu. Gempa dengan magnitudo 6,5 selama 15 detik itu merengkahkan jalan-jalan di beberapa wilayah di tiga kabupaten. Belasan ribu rumah roboh atau rusak berat. Begitu pula ratusan toko, puluhan masjid, juga sekolah dan rumah sakit. Sebanyak 100 orang tewas, ratusan luka berat dan ringan. Sekitar 11 ribu orang mengungsi ke rumah kerabat dan 28 pos pengungsian.
Miswar, warga Meuraksa, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya, yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Pidie Jaya, tertimpa lemari. Ia memilih dirawat di selasar luar, bukan di ruang inap. Di rumah sakit itu, Miswar masih ketakutan saat merasakan getaran gempa susulan. "Saya ke toilet saja takut. Di ruangan saya juga ada yang retak-retak," katanya pada Kamis pekan lalu.
Ratusan santri Pesantren Mahadal Ulum Diniyah Islamiyah Masjid Raya Samalanga, Kabupaten Bireuen, juga pontang-panting menyelamatkan diri. Listrik yang padam membuat mereka bertabrakan dan terjatuh. Lindu juga merobohkan gedung Sekolah Tinggi Agama Islam Azziziyah dan kubah masjid di kompleks pesantren di Samalanga itu.
Pemerintah Aceh mengeluarkan status tanggap darurat bencana hingga 20 Desember mendatang. "Prioritas tanggap darurat adalah pencarian dan penyelamatan korban," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei.
Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan gempa Pidie Jaya disebabkan oleh aktivitas sesar mendatar (strike-slip fault). Menurut Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Tsunami BMKG Daryono, pemicunya adalah Sesar Samalanga-Sipopok, yang bergerak ke arah barat daya-timur laut.
Pergerakan horizontal Sesar Samalanga-Sipopok memicu gempa dengan panjang bidang mencapai 30 kilometer. Guncangan itu tak hanya mengejutkan warga Aceh, tapi juga para peneliti gempa. Sesar di daratan seperti Samalanga-Sipopok seakan-akan luput dari pantauan para periset gempa. Ternyata belum ada studi komprehensif tentang sesar ini.
Pergerakan sesar ini sebetulnya pernah mengguncang Aceh hampir 50 tahun lalu. Gempa kala itu berkekuatan magnitudo 6,1. Namun para peneliti belum bisa memastikan apakah Samalanga-Sipopok termasuk kategori sesar aktif atau tidak. "Dalam peta mitigasi gempa Indonesia belum masuk," kata Irwan Meilano, pakar kegempaan dari Institut Teknologi Bandung, Rabu pekan lalu.
Irwan sebenarnya tak yakin gempa di Pidie Jaya dipicu aktivitas Sesar Samalanga-Sipopok. Apalagi belum ada identifikasi yang jelas tentang sesar tersebut. Padahal di bawah Aceh ada ratusan sesar lokal lain yang belum terinci. Riset kawasan pesisir timur Aceh yang berpotensi gempa juga terbilang jarang. Menurut dia, ancaman gempa di sisi barat Sumatera justru lebih besar datang dari zona megathrust. Sistem Sesar Sumatera di bagian tengah pulau yang memanjang dari Aceh hingga Lampung juga lebih banyak diteliti.
Aktivitas Patahan Sumatera yang terbagi dalam belasan segmen itu menjadi prioritas karena memiliki potensi gempa besar di atas magnitudo 7. Ini adalah jalur patahan paling aktif di Indonesia. "Ternyata sesar di Pidie itu sangat rentan," kata Irwan.
Indonesia kerap dihantam lindu karena berada di atas zona tektonik yang sangat aktif. Ada tiga lempeng besar—Indo-Australia di bagian selatan, Eurasia di utara, dan Pasifik di wilayah timur—dan sembilan lempeng kecil bertemu di wilayah Indonesia. Jalur pertemuannya sangat kompleks dan mereka bergerak ke arah berbeda. Sejak 1897, Indonesia dihantam lebih dari 14 ribu gempa dengan kekuatan di atas magnitudo 5.
Pulau Sumatera, yang terbentuk akibat penunjaman lempeng Indo-Australia ke bawah Eurasia, merupakan kawasan yang paling sering diguncang gempa. Sumber gempa biasanya berasal dari zona subduksi Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan sistem Sesar Sumatera. Pergerakan lempeng Indo-Australia bisa mencapai 4 sentimeter per tahun. Gesekan dua lempeng besar inilah yang memicu gempa dan tsunami dan menghancurkan Aceh pada Desember 2004.
Adanya pergerakan patahan lokal di sebelah timur sistem Sesar Sumatera kali ini menunjukkan banyak sumber gempa yang belum dipelajari. Apalagi episentrum gempa berada di darat dengan kedalaman hanya 15 kilometer yang tergolong aktivitas tektonik dangkal. Getarannya bahkan mencapai Banda Aceh, yang berjarak 105 kilometer dari episentrum.
Sebaran struktur sesar aktif di daratan Sumatera mencakup segmen Aceh, Seulimeum, dan Tripa. Selain itu, terdapat struktur patahan lokal lain, seperti Sesar Lhokseumawe dan Sesar Samalanga-Sipopok. "Dalam periode 1936-2016, di Aceh terjadi gempa signifikan dan merusak sebanyak 22 kali," ujar Daryono.
Gempa Pidie Jaya menimbulkan kerusakan besar karena tergolong dangkal, memiliki magnitudo besar, dan terjadi di kawasan padat hunian. Selain itu, tanah Pidie Jaya tersusun dari material lunak, seperti pasir dan endapan lempung tebal. Komposisi itu memicu resonansi gelombang seismik dan memperbesar guncangan. "Banyak bangunan yang tak memiliki standar aman gempa sehingga mudah rusak," kata Daryono.
Danny Hilman Natawidjaja, ahli gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tak sependapat Sesar Samalanga-Sipopok sebagai pemicu guncangan. Dia mengesampingkan peta geologi yang mencantumkan keberadaan sesar itu. Menurut dia, peta itu tidak dibuat untuk mitigasi gempa. "Sipopok tidak didefinisikan sebagai sesar aktif," ujar ilmuwan dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Bandung itu.
Jika dianggap aktif, menurut Danny, Sesar Samalanga-Sipopok yang panjangnya bisa ratusan kilometer itu berpotensi menimbulkan guncangan dengan kekuatan di atas magnitudo 8. Dengan magnitudo 6,5, kata Danny, penyebab gempa Pidie Jaya adalah sesar dengan estimasi panjang 15-20 kilometer. "Tapi sesar mana, ini yang belum jelas. Walaupun jalur sesarnya jelas, perlu dicek ke lapangan," ujar Danny, yang juga menjabat Ketua Kelompok Kerja Bidang Geologi Tim Revisi Zonasi Gempa Indonesia.
Danny lebih yakin pemicu gempa di Pidie Jaya adalah sesar ranting dari sistem Sesar Sumatera, terutama yang melintasi Pulau Weh, Banda Aceh, Pidie, dan Lhokseumawe. Iamenyebutnya sebagai Sesar Pidie. "Sesar itu belum terpetakan di zonasi gempa Indonesia." Sesar itu akan dimasukkan ke pembaruan peta zonasi gempa. Berdasarkan riwayat gempa, Danny menduga Sesar Pidie menjadi penyebab gempa yang mengguncang Lhokseumawe pada 1941. Kekuatannya kala itu mencapai magnitudo 6,8.
Menurut Sri Hidayanti, ahli seismologi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, banyak sesar aktif yang belum terpetakan. Anggota Tim Revisi Zonasi Gempa Indonesia itu mengatakan riset dan ahli tentang sesar di Indonesia belum banyak. Bahkan, di Pulau Jawa, dengan risiko bencana tinggi karena memiliki populasi terbesar, belum memiliki riset sesar yang lengkap.
Indikasi keberadaan sesar diketahui dari citra satelit. Namun peneliti mengalami masalah ketersediaan gambar. Citra yang bisa didapat gratis memiliki resolusi terbatas sekitar lima meter. Jika ada tutupan endapan, sulit memastikan jalur sesar. Adapun citra satelit dengan resolusi 60 sentimeter dibanderol US$ 40 atau sekitar Rp 537 ribu. "Gambar yang lebih detail lagi harganya bisa US$ 400 per kilometer persegi," ucap Mudrik Rahmawan Daryono, peneliti gempa Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Beberapa patahan yang kini menjadi prioritas riset, kata Sri, antara lain Sesar Lembang dan Cimandiri di Jawa Barat serta Sesar Opak di Yogyakarta. Sesar Opak adalah pemicu gempa yang merusak sejumlah kawasan di selatan Yogyakarta sepuluh tahun lalu. Papua juga memiliki sesar dalam jumlah besar.
Riset untuk menentukan definisi sesar aktif bisa memakan waktu bertahun-tahun. Setelah dipastikan aktif, harus dilakukan riset tambahan tentang dampak gempa. Setelah itu ada sosialisasi mitigasi bencana, termasuk memperkenalkan desain bangunan tahan gempa. "Tidak bisa melarang orang membangun di sekitar jalur sesar," ujar Sri.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, MAYA AYU PUSPITASARI (JAKARTA), IMRAN MA, ADI WARSIDI (ACEH), ANWAR SISWADI, AHMAD FIKRI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo