Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Produk sayur diekspor ke Singapura dan Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayam merah, selada hijau, selada merah, tomat, dan kale menghampar subur pada tanah gembur di lereng Gunung Merbabu di Dusun Kaliduren, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupa-ten Semarang, Jawa Tengah. Ladang seluas 2.000 meter persegi itu penuh warna beragam jenis sayuran segar. Rumah bambu beratap plastik memayungi kebun sayuran itu saat hujan mengguyur pada Sabtu sore, awal November lalu.
Di kebun itulah Rochmad, petani dari Kelompok Tani Bangkit Merbabu, mengolah lahan untuk ditanami sayuran menggunakan pupuk organik. Pupuk alami buatan kelompok tani ini tidak membunuh hama, tapi mengendalikannya. “Pupuk organik bagus karena menjaga keberlangsungan ekosistem,” ujar Rochmad.
Bertahun-tahun lamanya para petani di kawasan Gunung Merbabu itu menggunakan pupuk kimia sedikitnya 10 kilogram untuk lahan seluas 500 meter persegi. Mereka menggunakan pupuk urea, Phonska (pupuk majemuk NPK), dan triple superphosphate.
Ketergantungan pada pupuk kimia ini memberatkan karena, pada musim tanam berikutnya, lahan yang sama membutuhkan pupuk dengan dosis lebih tinggi, yaitu 25-30 kilogram. Biaya pupuk kimia pun lebih mahal ketimbang pupuk organik. Contohnya biaya pupuk kimia untuk satu batang brokoli mencapai Rp 1.500, sementara pupuk organik cuma Rp 800.
Penggunaan pupuk kimia sintetis sejatinya merugikan karena merusak kesuburan lahan. Petani pun kerap gagal panen karena penyakit menyerang akar tanaman brokoli dan pakcoi. Rata-rata 30 kilogram brokoli di lahan 500 meter persegi tak bisa dipanen. “Kami gagal panen dan kerugian petani hampir 90 persen,” kata Sekretaris Bangkit Merbabu Rebo Wahono.
Belajar dari kegagalan panen itu, para petani lereng Merbabu membentuk komunitas petani organik pada 2008. Zaenal menjadi pemimpin kelompok tani yang beranggotakan 20 orang dengan luas lahan 5,5 hektare ini. Mereka menamakan komunitas tersebut Bangkit Merbabu karena ingin bangun dari keterpurukan.
Demi menjalankan pertanian organik, mereka menghabiskan dua-tiga tahun untuk memulihkan kesuburan tanah dengan bakteri penyubur. Para petani juga memperoleh serangkaian pelatihan tentang praktik pertanian organik yang baik dari dosen Jurusan Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.
Kini Bangkit Merbabu di Kecamatan Getasan mengelola 16,4 hektare lahan. Total 150 petani tergabung. Luas lahan pertanian organik makin bertambah karena enam kelompok tani lain bergabung. Salah satunya Kelompok Wanita Tani Mekarasih, yang semua anggotanya perempuan.
Mereka membuat sendiri pupuk organik dari bahan yang mudah didapatkan, seperti nanas, tetes tebu, air kelapa, ragi, dan gula pasir. Produk pertanian mereka antara lain timun, brokoli, wortel, dan tomat. Timun menjadi tanaman primadona. “Pesanan ajek dan secara ekonomi menguntungkan,” tutur Pariyanti, yang menjabat ketua kelompok.
Pupuk organik mengolah tanah dengan bantuan bakteri atau mikroorganisme. Untuk menumbuhkan bakteri, para petani memakai media nasi yang ditaruh pada wadah berupa belahan bambu. Nasi pada wadah bambu itu diletakkan di bawah pohon bambu yang rindang selama tiga-lima hari.
Setelah lima hari, nasi yang berwarna kekuningan dimasukkan ke gentong, lalu dicampur dengan air dan tetes tebu. Campuran bahan-bahan itu menjadi pupuk cair. Adapun untuk membuat pupuk padat, para petani memanfaatkan abu sekam atau ampas tahu yang dicampur dengan bakteri yang dikembangkan dari pengetahuan lokal.
Produk unggulan Bangkit Merbabu adalah wortel, tomat, bit, sawi sendok, kale, sawi pagoda, bayam merah, dan romaine (selada cos). Pada 2012, Bangkit Merbabu mengantongi sertifikat organik dari Indonesian Organic Farming Certification. Mereka juga memperoleh sertifikat organik internasional Japanese Agricultural Standard dan dari Uni Eropa. Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Bogor, Jawa Barat, rutin menguji lahan Bangkit Merbabu.
Hasil pertanian organik Bangkit Merbabu dijual ke PT Duta Agro di Magelang, Ibu Organik di Semarang, dan eksportir -Bloom Argo, yang mengirimkannya ke Singapura dan Malaysia. Produk pertanian mereka juga menyasar pasar swalayan di Kudus, Pekalongan, dan Semarang di Jawa Tengah. Ekspor sayuran organik berjalan sejak 2016.
Setiap kali ekspor, petani mengirim 200-300 kilogram sayuran. Dalam sepekan, pengiriman bisa sampai tiga kali. Harga semua produk pertanian ini stabil. Bro-koli, misalnya, dihargai Rp 14 ribu per kilogram. “Setiap kali panen, petani mendapat keuntungan bersih Rp 2 juta,” ujar Zaenal. Petani bisa panen sayuran tiga kali dalam sebulan. Jenis sayuran pun kian beragam. Dari hanya kubis, brokoli, dan buncis, para petani sekarang menanam 164 jenis sayuran.
Pertanian organik juga menjaga biodiversitas di dalam tanah. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, meneliti jumlah dan keanekaragaman fauna tanah di lahan Bangkit Merbabu pada 2017. Hasilnya, ada 25 jenis fauna tanah. Sedangkan di lahan yang menggunakan pupuk kimia hanya ditemukan 11 fauna tanah. “Filosofi kami menjaga kelangsungan lingkungan dan kemandirian,” kata Zaenal.
Pupuk organik dan sistem pertanian yang ramah lingkungan dibahas secara khusus dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa di Sharm el-Sheikh, Mesir, 13-29 November 2018. Tempo berkesempatan meliput konferensi tersebut atas dukungan Climate Tracker—jaringan global yang beranggotakan jurnalis muda peliput isu iklim.
Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB merupakan pertemuan multilateral 146 negara yang melibatkan pemerintah, ilmuwan, organisasi non-pemerintah, masyarakat adat, dan kalangan swasta untuk melindungi keanekaragaman hayati dari kerusakan yang lebih parah. Dalam pertemuan itu dibahas strategi serta rencana aksi sebagai panduan bagi negara-negara penandatangan Konvensi Keanekaragaman Hayati dalam melindungi dan mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati dunia.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Enny Sudarmonowati menyebutkan penggunaan pestisida dalam pertanian menyebabkan serangga penyerbuk terbunuh. Dampaknya, produksi tanaman pertanian terganggu karena penyerbukan tidak sempurna. Burung predator alami penyokong ekosistem pun terancam mati ketika serangga terpapar pestisida. “Ekosistem yang rusak mengganggu produksi tanaman,” ucapnya.
Pupuk kimia, kata Enny, membuat tanah makin lama makin keras sehingga unsur fosfor di dalamnya sulit terserap. Selain itu, pestisida bisa mencemari sungai yang berada di sekitar lahan pertanian ketika hujan deras turun. Adapun penggunaan pupuk organik, dia melanjutkan, bisa menjadi mitigasi untuk perubahan iklim karena tanaman lebih tahan terhadap cuaca ekstrem. Pertanian organik juga bisa menangkap gas karbon dioksida.
LIPI, Enny menambahkan, sedang mengeksplorasi beberapa mikroorganisme lokal yang potensial sebagai bahan pupuk organik. Bahan seperti taoge, air kelapa, gula merah, dan telur, misalnya, digunakan sebagai campuran untuk membiakkan mikroorganisme tersebut. Menurut dia, penggunaan pupuk organik di Indonesia masih rendah karena pemerintah kurang mendorong pengembangannya.
Enny mengatakan industri yang masif menjual pupuk kimia juga menjadi faktor yang membuat pemakaian pupuk kimia di Indonesia tinggi. Akibatnya, petani menjadi bergantung dan berada di lingkaran setan. Dia menambahkan, pemerintah penting memperhatikan aturan-aturan yang telah dibuat, termasuk mengenai pemberian subsidi yang tepat kepada petani.
Peran komunitas petani seperti Bangkit Merbabu ini diangkat dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati oleh Gabor Figerczky, Kepala Kebijakan Global Federasi Internasional Gerakan Pertanian Organik—organisasi payung untuk gerakan pertanian organik dunia. Menurut dia, negara seharusnya menjamin partisipasi petani, saling membantu, dan memberikan kepercayaan kepada konsumen. “Peran komunitas petani lokal merupakan jalan terbaik,” tutur Figerczky.
SHINTA MAHARANI (SHARM EL-SHEIKH)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo