Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Di Bawah Bulan Purnama Borobudur

Pentas Melati Suryodarmo, Tony Broer, dan Anwari dalam Borobudur Writers and Cultural Festival 2018 terasa hidup. Tafsir atas perjalanan jiwa.

1 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Melati Suryodarmo dengan karya terbarunya, Luminous Emptiness. -Dok. Borobudur Writers and Cultural Festival 2018

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN nyaris purnama, terang dan bulat, di antara langit yang sedikit tertutup awan. Sebuah area ”panggung” terhampar di sisi tenggara Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, berhias bambu dan lampion. Tata panggung dikerjakan oleh seniman Yani Mariani, dengan instalasi lampu berbalut kain putih yang menjulur seperti sulur. Instalasi ini berjudul Mekar Langit Malam-Raya Pertiwi. Di baliknya, kemegahan candì ditimpa lampu kuning temaram, menjadi bagian dari pemandangan yang tampak di hadapan para penonton.

Menghadiri perayaan Borobudur Writers and Cultural Festival 2018 menjadi terasa sedemikian mewah; diskusi yang menarik dan beragam tema sejak pagi hingga petang, lalu menyaksikan pertunjukan dengan pemandangan spektakuler pada malam hari. 

Melati Suryodarmo membuka pergelaran malam hari pada 23 November lalu dengan karya terbarunya, Luminous Emptiness. Ia muncul di panggung dengan gaun merah dan wajahnya berwarna putih pekat. Melati lalu turun ke area di sekitar bawah panggung untuk menaburkan tepung putih membentuk lingkaran. Setelah itu, ia kembali ke panggung, disusul munculnya sosok lain dengan kostum yang sama, Hitomi Sado. Melati sengaja menggandengnya untuk menjadi bagian dari pertunjukan ini, khusus menjadi bagian dari adegan pembuka. Kemudian mereka seperti saling berbicara. Di belakang mereka, kanvas putih terbentang. Hitomi kemudian menggoreskan tinta hitam, membuat gerak menulis itu dalam gestur yang lebih ditata, dan selesai empat bidang itu ditulis dengan empat simbol: tanah, air, api, udara.

Beberapa saat kemudian, sejumlah penari lain muncul memakai kostum putih, membawa empat bidang kanvas ke belakang panggung, hingga mereka menjadi dinding pembatas. Dari sini, koreografi terasa lebih dinamis, bergeser dari kesan yang lebih spiritual pada bagian sebelumnya. Dari sisi koreografi, Melati bekerja bersama seorang koreografer Jepang, Katsura Kan. Para penari lelaki berteriak mengeluarkan suara-suara aneh, yang menurut Melati seperti menggambarkan sisi roh jahat dalam semesta; sementara penari perempuan berjalan berkeliling dengan kepala yang ditutup semacam cadar.

Cadar menjadi simbol bagaimana identitas manusia ditutupi atau bagaimana kita menyederhanakan perwujudan. Pertunjukan Luminous Emptiness diiringi musik yang digubah oleh musikus asal Jepang, Naoki Iwata atau Skank. Faktor musik ini juga membuat pertunjukan terasa lebih hidup; suara seperti menciptakan ritme dan konteks ruang bagi para penari. Dalam beberapa bagian pertunjukan, Melati menyanyikan tembang Pangkur 13 dan 14 dari Serat Wedhatama, yang juga memperkuat tafsir atas jiwa-jiwa moksa.

Di bagian selanjutnya, para penari terus berputar-putar seperti dalam ritual tradisi; kemudian seolah-olah memasuki arena perang dan saling menyerang. Pada saat yang sama, dentuman musik menjadi tegas dan keras, ritme yang monoton seperti pendisiplinan; suara lonceng yang sesekali memberi jeda pada yang rampak. Dengan ruang panggung yang cukup luas, Melati cukup lihai memanfaatkan sudut-sudut yang tak lazim. Ketimbang menutupnya atau menggelapkannya, sisi-sisi ruang yang di antara instalasi Yani Mariani juga dijelajahi oleh para penari. Bagian akhir merupakan adegan ketika manusia seperti lahir kembali; ditampilkan dalam hening dan syahdu.

Gagasan karya ini sendiri berangkat dari buku Bardo Thodol (Tibetan Book of Dead) saat kisah perjalanan setelah kematian menjadi narasi yang kemudian ditafsir lebih jauh melalui gerak dan aspek artistik lain. Jika mengaitkannya dengan kuratorial festival yang terarah pada perjalanan dan pencatatan, bagi Melati dan Katsura, perjalanan tampaknya tidak hanya dimaknai dalam dimensi perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat yang lain, tapi juga merujuk pada bagaimana jiwa manusia berpindah dan mengembara. Tafsir perjalanan lain dari pertunjukan ini adalah bagaimana pengembaraan manusia juga memungkinkan pertemuan berbagai laku budaya; perjalanan narasi Tibet yang ditafsir dengan kondisi psikologis batin manusia masa kini, bagaimana tembang Jawa bertemu dengan musikalitas Jepang, bagaimana tari butoh dimainkan oleh tubuh penari Jawa, dan persilangan-persilangan lain.

Pertunjukkan teater dan instalasi berjudul Batu Bergerak karya Tony Broer bekerja sama dengan Katia Engel dalam Borobudur Writers and Cultural Festival ke-7, di panggung Akhsobya, Candi Borobudur, Magelang, 24 November 2018. -TEMPO/Pito Agustin

Pada malam selanjutnya, Tony Broer- menyajikan performans-instalasi Batu Bergerak, yang ia kerjakan sebagai karya kolaboratif dengan Katia Engel. Perjalanan tak selalu harus terproyeksi pada jarak-jarak yang jauh; ia bisa merupakan setapak kecil yang pendek. Tony menelusuri jalan yang mempertemukan Candi Pawon-Candi Mendut-Candi Borobudur sembari membawa sebuah batu. Tony dan Katia memasuki gagasan ketika batu menjadi subyek dalam pembangunan tiga candi yang megah yang menjadi simbol peradaban. Untuk membangun ketiganya, batu-batu ini bermigrasi dari habitat asli menjadi bagian dari konstruksi. 

Tony menggunakan lahan di area penonton untuk memasang instalasi batu yang ditumpuknya di atas rumput. Di sebuah ujung ”selasar batu” itu, dipasang kotak putih yang menampilkan proyeksi video yang dikerjakan oleh Katia Engel dan Faozan Rizal. Tony muncul dengan tubuh ditutup celana pendek, dengan rambut panjang yang tergerai, memulai dengan berjalan di antara bebatuan itu, dengan ritme yang cukup lambat. Di belakang, kita melihat rimbun dedaunan dari pohon-pohon di sekitarnya dan bulan purnama yang bulat terang; terasa hening dan indah.

Tony perlahan mulai menumpuk batu itu seperti sedang berbicara kepada mereka. Satu batu di atas yang lain, menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh. Gerak yang sebenarnya hanya repetisi dan monoton, tapi penonton seperti larut bersama waktu. Sesekali ia naik ke atas kotak putih dan menari di sana.

Penampilan yang cukup segar dimunculkan oleh kelompok Anwari dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, melalui karyanya, Menjahit Kertas. Ia mengajak para aktor yang menetap di sekitar tempat tinggalnya sehingga gagasan karya seperti ditubuhkan secara alamiah oleh mereka. Ia menggunakan lahan di bawah panggung yang dibatasi dengan obor batu yang dibuat Yani Mariani. Para penampil lelaki muncul bertelanjang dada, membawa batu kapur putih di atas kepala, seperti para petani yang hidup di ladang. Bagian-bagian ketika teks dan percakapan tampaknya menjadi kekuatan pertunjukan ini; di mana mereka mampu memposisikan percakapan pada porsi yang cukup dan pas, seperti humor dan sapaan keseharian.

Sesekali mereka menggunakan ungkap-an dari budaya pesantren yang kuat di daerah mereka atau teks-teks yang diambil dari puisi tradisi Madura yang ada di kitab-kitab kuno. Dalam sebagian besar pertunjukan, mereka menyanyikan lagu-lagu daerah, seperti Pajher Lagghu, yang berkisah tentang petani, atau lagu tentang penambang batu. Lagu-lagu itu dinyanyikan dengan gestur keseharian yang penuh semangat, seperti mereka yang sedang merayakan hidup. Mereka membawa tikar anyam bambu sebagai bagian dari properti pertunjukan, memasukkan aktivitas keseharian sebagai bagian dari koreografi di atas panggung. Di belakang, para perempuan sedang duduk menyaksikan keriuhan ini, mengenakan baju kebaya dan tutup kepala yang sehari-hari dikenakan perempuan Madura.

Seusai adegan para pemuda, seorang perempuan maju ke depan; menyampaikan narasi tentang bagaimana perempuan mempunyai peran yang penting dalam masyarakat Madura. Setelah itu, mereka menyanyikan bersama lagu bernuansa romantisisme, seperti Ghei Bintang dan Kembang Melate Pote.

Karya Anwari seperti menjadi contoh tafsir lain atas gagasan perpindahan yang dalam karya-karya lain seperti merujuk pada kosmopolitanisme kelas menengah. Para penampil dalam karya Anwari memberi nilai lokal yang kuat, tapi dalam posisi kekuatan yang sama dengan fenomena global tersebut. Tubuh para penampil menjadi sebuah cara mereka membaca diri mereka sendiri sebagai orang Madura; sejarah yang kompleks dan pengalaman keseharian. Dalam kemegahan Borobudur yang selalu kita agungkan sebagai contoh dari ”puncak kebudayaan”, melalui penampilan Anwari, saya seperti diingatkan bahwa yang sehari-hari dan akrab dengan hidup kita sendiri adalah bagian dari perayaan kehidupan yang juga penuh dengan harapan.

ALIA SWASTIKA, PEMERHATI SENI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus