Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pemerintah Daerah Terbuang dari Agenda Transisi Energi

Agenda transisi energi cenderung mengabaikan peran pemerintah daerah. Membuat mitigasi krisis iklim berisiko tinggi.

10 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Cilegon, Banten, Rabu 31 Juli 2024. ANTARA/Galih Pradipta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRANSISI energi terus menjadi topik panas di tengah upaya dunia meredam laju perubahan iklim akibat peningkatan suhu bumi. Indonesia termasuk negara yang paling disorot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan terbaru Energy Institute yang dipublikasikan pada akhir Juni 2024 menempatkan Indonesia di peringkat kesembilan dalam daftar negara dengan konsumsi bahan bakar fosil terbesar di dunia. Hingga 2023, konsumsi bahan bakar fosil di Indonesia ditaksir mencapai 2.514 terawatt-jam (TWh), terbesar kelima di Asia setelah Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah sebenarnya telah berkomitmen mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil. Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC), pemerintah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi sebesar 12,5 persen secara mandiri dan 15,5 persen dengan dukungan internasional. Konsumsi bahan bakar fosil secara bertahap akan digantikan energi terbarukan yang rendah emisi.

Terlepas dari implementasinya yang masih jauh dari targetnya, komitmen transisi energi tersebut juga membawa konsekuensi di tingkat tapak. Transisi akan berdampak pada ekonomi daerah, terutama yang selama ini bergantung pada pertambangan dan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara. Transisi energi juga akan mendorong pencarian sumber-sumber energi baru, yang erat kaitan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat lokal. 

Karena itu, peran pemerintah daerah semestinya sangat krusial untuk memitigasi beragam konsekuensi berbagai aktivitas transisi energi. Namun amat disayangkan peran tersebut menghadapi berbagai tantangan. Riset kami menemukan betapa pemerintah daerah malah terkungkung kendala struktural dan kebijakan.

Penambangan Batubara di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. TEMPO/ Rully Kesuma

Keterbatasan Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota

Riset kualitatif tersebut merupakan bagian dari studi transisi batu bara yang dipublikasikan Bank Dunia pada November 2023 dalam laporan bertajuk “Social Dimensions of Climate Change in Indonesia”. Kami mewawancarai para pemangku kepentingan di empat kabupaten di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan, daerah yang kaya batu bara. 

Hasilnya, salah satu tantangan utama yang dihadapi pemerintah daerah adalah keterbatasan wewenang dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal yang berkaitan dengan transisi energi. Pemerintah kabupaten/kota pada akhirnya amat bergantung pada program dan arahan pemerintah pusat dalam mengelola dampak transisi batu bara.

Dalam dua dekade terakhir, kebijakan hubungan pemerintah pusat-daerah dan energi di Indonesia terus bergonta-ganti seiring dengan dinamika politik dalam negeri. Setelah reformasi, desentralisasi kewenangan merembet ke sektor energi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) memberikan kewenangan luas kepada pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola sektor ini. 

Namun euforia desentralisasi itu dianggap kebablasan. Pemerintah kabupaten/kota berlomba menerbitkan izin. Kala itu, setidaknya hingga akhir 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat penerbitan lebih dari 10 ribu izin tambang, melonjak lebih dari 13 kali dibanding sepuluh tahun sebelumnya. Sebanyak 40 persen di antaranya merupakan izin usaha pertambangan (IUP) batu bara.



Eksploitasi besar-besaran tambang batu bara itu tak hanya merusak lingkungan, tapi juga memicu konflik sosial dan menjadi ladang korupsi perizinan. Walhasil, seiring dengan penertiban izin tambang, kewenangan pemerintah daerah secara bertahap dipangkas.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, mengembalikan penyelenggaraan energi dan sumber daya mineral ke tangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, sebagai revisi atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, juga mengembalikan otoritas pengelolaan izin pertambangan ke tangan pemerintah pusat.

Resentralisasi terus berlanjut setelah itu. Kendati Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi memberikan tanggung jawab pelaksanaan kebijakan transisi energi di tingkat lokal kepada pemerintah daerah, peran pemerintah pusat tetap dominan. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral pada Subbidang Energi Baru Terbarukan, misalnya, menegaskan bahwa pemerintah pusat berwenang merekomendasikan pengelolaan berbagai sumber daya energi, seperti panas bumi, biomassa, biogas, dan energi terbarukan lain, yang melintasi batas wilayah provinsi.

Hal serupa terjadi dalam pengaturan penyediaan ketenagalistrikan. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko hanya mengakomodasi kewenangan pemerintah provinsi, terutama dalam hal perizinan distribusi dan penjualan tenaga listrik dalam satu kesatuan usaha serta izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri (IUPTLS) dengan total kapasitas 10 megawatt. 

Akibatnya, pemerintah kabupaten/kota praktis tak punya banyak ruang untuk berkontribusi dalam agenda pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di sektor ketenagalistrikan. Mereka juga tak punya wewenang menggulirkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan sebagai mitigasi dampak transisi energi.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di atas Waduk Cirata, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan

Tantangan Pendanaan, Pemahaman, dan Koordinasi

Tantangan utama lain yang dihadapi pemerintah kabupaten/kota dalam agenda transisi energi adalah terbatasnya pembiayaan. Padahal kebutuhan dana untuk pengembangan serta pengelolaan sumber EBT dan mitigasi dampaknya tidak murah. 

Dua tahun lalu, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi memperkirakan kebutuhan investasi untuk membangun pembangkit EBT yang diperlukan untuk transisi energi menuju net-zero emission pada 2060 mencapai US$ 1.042 miliar. Angka itu belum termasuk biaya membangun jaringan transmisinya senilai US$ 135 miliar.

Sejauh ini, sumber dana untuk proyek energi terbarukan di daerah kerap kali terbatas dari anggaran pemerintah provinsi atau dana alokasi khusus dari pemerintah pusat. Akibatnya, banyak proyek yang seharusnya dapat dijalankan di tingkat kabupaten/kota terpaksa ditunda atau dibatalkan. 

Proyek pembangkit listrik tenaga surya di Pulau Tunda, Kabupaten Serang, Banten, merupakan salah satu contohnya. PLTS ini hanya beroperasi delapan bulan karena baterainya tidak cocok dengan panel surya. Sementara itu, bantuan pemerintah kabupaten terhambat oleh keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Keterbatasan dana itu berkelindan dengan tingginya kesenjangan pengetahuan mengenai program transisi energi. Berdasarkan studi kami di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan, banyak pejabat daerah yang belum memahami agenda transisi energi, termasuk urgensinya di tataran kebijakan, implementasi, dan dampaknya yang perlu dimitigasi. 

Temuan tersebut melengkapi kajian lain dengan hasil serupa, seperti yang dilakukan Center of Economic and Law Studies serta Yayasan Indonesia Cerah di Langkat, Sumatera Utara; Cilacap, Jawa Tengah; dan Probolinggo, Jawa Timur. Pengoperasian PLTU batu bara di tiga daerah tersebut berpotensi dihentikan. Namun pemerintah daerah setempat kurang memahami bagaimana transisi energi akan dijalankan. 

Kondisi tersebut diperparah oleh tidak lancarnya koordinasi dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Sejumlah pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam menyelaraskan kebijakan mereka dengan program transisi energi PLN

Perusahaan listrik milik negara itu pada akhirnya menjadi wajah tumpang-tindih kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. PLN merupakan kepanjangan tangan negara atas semua wilayah usaha penyediaan tenaga listrik di Indonesia. Sebagian besar kebijakan ketenagalistrikan pada akhirnya dikendalikan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta PLN.

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu beroperasi di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, 4 Desember 2022. ANTARA/Abriawan Abhe

Penguatan Keterlibatan dan Kapasitas

Transisi energi yang efektif dan berkeadilan jelas memerlukan langkah strategis untuk memperkuat peran pemerintah kabupaten/kota. Karena itu, pemerintah pusat perlu mempertimbangkan merevisi sejumlah regulasi dan menambah kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola energi terbarukan. Hanya dengan begitu, pemerintah kabupaten/kota bisa terlibat aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan peralihan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. 

Pemerintah kabupaten/kota, misalnya, dapat menyusun perencanaan pembangunan jangka menengah dan panjang yang mengakomodasi perubahan struktur ekonomi daerahnya, dari semula bergantung pada sektor pertambangan ke sektor lain yang lebih berkelanjutan. Pemerintah kabupaten/kota bisa juga ikut mencari potensi sumber dana alternatif untuk membiayai transisi energi, seperti mengalokasikannya dari dana bagi hasil mineral dan batu bara. 

Di sisi lain, pembagian kewenangan juga diperlukan untuk membuka ruang-ruang koordinasi yang selama ini tertutup, seperti antara pemerintah daerah dan PLN. Koordinasi amat penting untuk menyelaraskan program ketenagalistrikan, terutama proyek-proyek energi terbarukan.

Memang semua itu harus disertai penguatan kapasitas perangkat daerah dalam merancang dan menjalankan transisi energi. Ihwal hal ini, kami sedang mengkaji berbagai mekanismenya yang paling optimal untuk memastikan transisi energi berjalan efektif, inklusif, dan berkeadilan. Jangan sampai pemerintah daerah sekedar menjadi tamu undangan dalam berbagai acara berkedok sosialisasi yang hanya melegitimasi kepentingan Jakarta.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Azka Azifa, peneliti Dala Institute, berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Artikel ini bagian dari Kolokium, program penulisan sains popular dan pengembangan komunitas peneliti yang dikelola Tempo. Sebagai rubrik, Kolokium terbit setiap Sabtu.  

Balgis Inayah

Balgis Inayah

Peneliti Dala Institute, lulusan program pascasarjana ilmu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan Monash University, Australia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus