Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Washington - Bank Dunia menggelar Konferensi Lahan 2024 di Washington, Amerika Serikat, 12-17 Mei 2024. Topiknya tentang perhutanan sosial sebagai penopang manajemen lahan dan ketahanan iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto berbicara dalam satu sesi bertema hubungan lahan dengan iklim dan ketahanan pangan pada Senin 13 Mei 2024. Bambang satu forum dengan wakil dari Kementerian Lingkungan dan Perubahan Iklim Brasil Andre Aquino dan Gabriela Rodrigues Eklund dari Global Land Alliance.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang menceritakan tentang program perhutanan sosial di Indonesia yang dimulai sejak 2016. Ia menyampaikan lima poin: status dan tren perhutanan sosial, dukungan regulasi berbasis keadilan pengelolaan lahan, implementasi kebijakan perhutanan sosial dalam mendukung kelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat, tantangan pengelolaan perhutanan sosial; dan strategi penguatan ekonomi masyarakat berbasis sumber daya hutan.
Menurut Bambang, program perhutanan sosial yang lebih progresif dimulai pada 2016 dengan dibentuknya Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan di bawah KLHK. Program ini berupa distribusi akses hutan negara kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Target distribusi akses tersebut seluas 12,7 juta hektare pada 2030. Menurut Bambang, hingga Mei 2024 target itu telah tercapai seluas 6,7 juta hektare. Pencapaian ini termasuk 240 ribu hektare hutan adat dengan wilayah hutan adat indikatif (penetapan yang tidak boleh untuk tujuan lain) seluas 1,2 juta hektare. “Tujuan perhutanan sosial yang lain adalah pemerataan ekonomi dan meningkatkan pendapatan keluarga,” kata dia.
Perhutanan Sosial Indonesia Bisa Jadi Model di Dunia
Willem van der Muur, Land Tenure Specialist Bank Dunia, mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi model percontohan tata kelola hutan berbasis masyarakat untuk mencapai ketahanan iklim dan pangan. Willem merujuk pada masuknya program perhutanan sosial ke dalam program FOLU net sink 2030 atau keberimbangan serapan dan produksi karbon dari hutan melalui program ini seluas 4,06 juta hektare.
FOLU net sink perhutanan sosial juga ditopang oleh regulasi berupa Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Terpadu Pengelolaan Perhutanan Sosial yang menempatkan kerja kolaborasi sebagai simpul percepatan akses kelola, keterlibatan pemerintah pusat dan daerah sebagai pendamping kelembagaan kelompok petani hutan, serta untuk percepatan penyusunan Rencana Kerja Perhutanan Sosial (RKPS) berbasis masyarakat dan/atau Adat.
Bambang menambahkan, untuk menopang perhutanan sosial sesuai mandat regulasi tersebut juga telah dicetuskan pengembangan Integrated Area Development (IAD) berbasis komoditas dengan dukungan oleh investasi keuangan mikro yang mendorong akses pasar komoditas perhutanan sosial.
Bambang mencontohkan perhutanan sosial di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah memakai pendekatan integrasi berbasis komoditas. Perhutanan sosial di sini sudah masuk ke dalam program pemerintah daerah yang mengintegrasikannya dengan ekowisata berbasis wilayah.
Presiden Joko Widodo memanen jagung saat panen raya jagung di Perhutanan Sosial, Ngimbang, Tuban, Jawa Timur, 9 Maret 2018. Jagung yang dipanen raya tersebut merupakan hasil budi daya pertanian oleh petani penggarap hutan penerima KUR dari BNI. ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Hasil IAD di Lumajang, kata Bambang, mendorong peningkatan pendapatan masyarakat dua kali lipat di atas garis kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, dan pengembangan bisnis sektor transportasi dan pariwisata.
Dalam ketahanan iklim, Bambang juga menunjukkan hasil studi terbaru serapan karbon di wilayah perhutanan sosial. Selama 2016-2021, tutupan hutan di area perhutanan sosial bertambah dan menyumbang serapan karbon sebanyak 32 juta ton setara karbon dioksida. Angka ini lima kali lipat target serapan karbon perhutanan sosial di awal program ini didesain.
Perhutanan Sosial di Brasil
Sebelum giliran Bambang, Andre Aquino menceritakan tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Brasil yang mencapai 120 juta hektare—hampir separuh luas hutan di negara itu yang mencapai 310 juta hektare. Menurut Andre, problem pengelolaan hutan di Brasil terbentur pada lemahnya tata kelola lahan/wilayah, rendahnya kapasitas masyarakat mengelola hutan, orientasi masyarakat masih pada kayu, dan ketimpangan hak akses lahan, serta akses ke pasar dan permodalan.
Sebagai jalan keluar, pemerintahan di Brasil membuat program manajemen hutan berbasis komunitas. Tujuannya mempromosikan bisnis inovatif dan solusi berkelanjutan berdasarkan usaha kehutanan berbasis masyarakat di wilayah secara kolektif, mewujudkan konservasi lingkungan, dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Selaku Presiden G20, Brasil juga membentuk gugus tugas untuk memperkuat agenda kehutanan menuju Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-30 tahun depan. Karena itu, secara khusus, gugus tugas itu mendorong keterlibatan masyarakat adat dan kontribusi kehutanan dalam memberikan nilai tambah pada nilai ekonomi karbon hutan.
Dalam forum itu, para pembicara sepakat bahwa hak atas lahan hutan menjadi tumpuan keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Di masa krisis iklim, pengelolaan hutan berbasis masyarakat sekaligus menjadikan hutan sebagai ketahanan pangan, yang paling rentan terkena dampak akibat perubahan iklim. “Dengan begitu, ketahanan iklim dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat juga meningkatkan peluang ketahanan pangan dan ekonomi,” kata Andre.