Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Perjuangan Untuk Para Biawak

Perlindungan untuk biawak komodo ternyata menghadapi ancaman yang serius, karena manusia dan anjing pemburu rusa yang ditinggalkan. juga terhadap kawasan taman nasional karena penebangan batang lontar. (ling)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI jarak beberapa mil laut dalam pelayaran dari Sape, NTB, Pulau Komodo nampak dihiasi pebukitan setngah gundul. Pohon lontar tumbuh berjajar uk beraturan di puncak atau pun di lembahnya. Pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Komodo tampak kerontang, tanpa tanda-tanda kehidupan. Untuk membedakan Pulau Komodo dengan pulau lain yang berserakan di sana, "kita cukup melihat pohon lontar," ujar seorang pedagang asal Labuhan Bajo yang baru saja pulang dari membeli barang kelontong di Sape. Pohon lontar memang, "merupakan tumbuhan khas di padang savana Pulau Komodo," kata Nur Abady Abbas, Kepala Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam Komodo. Itulah sebabnya, menurut Abbas, lontar di pulau itu dijaga betul dari tangan manusia yang tergiur menebangnya. Lontar yang demikian banyak di Komodo memang mengundang orang Sape buat tak segan mengarungi laut dengan arus memutar yang terkenal galak di Selat Sape. Jarak Sape - Komodo, kira-kira 40 mil laut, biasanya mereka tempuh 10 sampai 12 jam dengan sampan berlayar. Menurut pengakuan seorang penduduk Desa Naru, Kecamatan Sape, Bima (NTB), yang terbiasa pergi berlayar menebang lontar di Komodo, mereka sekali sebulan mengambil batang lontar di pulau kawasan Taman Nasional itu. Ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional di tahun 1980 bersama Pulau Rinca (19.625 ha) dan Pulau Padar (2.017 ha), Pulau Komodo (33937 ha) diketahui sejak dahulu menjadi ajang penebangan lontar dan perburuan rusa oleh penduduk di pesisir pantai dalam wilayah Kecamatan Sape. Sebagai kawasan Taman Nasional ketiga pulau itu diberi nama Taman Nasional Komodo -- dengan sendirinya semua flora dan fauna di sana dilindungi. Terutama Veranus Komodoensis, kadal raksasa tersohor itu, yang diakui dalam perjanjian internasional sebagai spesies yang nyaris punah. Namun ancaman terhadap habitat satwa langka itu belum juga kunjung berakhir. Mei kemarin ditangkap 54 penduduk asal Sape yang tengah menebang lontar di Komodo. Kabarnya, selama sebulan mereka dikenakan ajib lapor ke Sektor Kepolisian Sape. Thomas Tagung, petugas PPA yang ikut tim di pantai barat, mengungkapkan bukan cuma batang lontar yang mereka tebang. Jatipadang savana dibakar penduduk Sape, buat memancing kedatangan rusa agar gampang dijerat. Rusa yang dijerat dan diburu dengan anjing atau ditombak itulah yang jadi bekal mereka selama berhari-hari di kawasan taman. "Para penebang rata-rata tak membawa bekal yang cukup dari rumah," kata Thomas Tagung, "rusa di sinilah yang jadi sasaran buat mengisi perutnya." Orang Sape memang secara tak langsung merupakan saingan bagi satwa langka itu dalam mempertahankan hidupnya. Kadal raksasa tersebut dikenal sebagai pemakan rusa, babi, kerbau dan kuda liar. Tapi mangsa Ora--demikian penduduk setempat menyebut kadal raksasa -- justru merupakan mangsa buruan manusia yang paling digemari. Rusa, misalnya. Sementara itu harga daging rusa yang melonjak dan permintaan yang tinggi di pasaran gelap menyebabkan mangsa Ora ini bukan cuma diburu untuk bekal penebang lontar, "melainkan diburu juga untuk diperdagangkan," ungkap Thomas Tagung, yang sudah bertugas di kawasan itu lebih 3 tahun. Sialnya lagi, setiap pemburu atau penebang lontar datang ke kawasan dengan anjing buruan--yang tak ikut dibawa pulang. Ditinggalkannya anjing pemburu ini, bagi Veranus Komodoensis, menurut Din Hendrikus, Kepala Pos PPA yang baru berumur 23 tahun, merupakan ancaman paling serius pada saat ini. "Anjing peninggalan itu berkembang biak macam jamur," kata Hendrikus "bukan mustahil Ora bakal kehabisan bahan makanan akibat intervensi anjing." Sebenarnya sebelum jadi Taman Nasional, Pulau Komodo sudah ditetapkan sebagai cagar alam pada 1965, menyusul Padar dan sebagian Rinca yang jauh sebelumnya (1938) sudah merupakan kawasan cagar alam. Ketiga pulau tersebut akhirnya (1980) ditetapkan sebagai Taman Nasional, meliputi luas daratan dan perairan di sekitarnya 75.000 ha. Khusus tentang perlindungan terhadap Veranus Komodoensis, Sultan Bima pada tahun 1912 malah sudah mengeluarkan larangan keras untuk memburu biawak itu. Inisiatif Sultan Bima--yang sekarang dianggap sebagai kesadaran akan lingkungan para leluhur oleh sementara kalangan di Bima kemudian dilanjutkan dengan keluarnya larangan yang sama dari Residen Timor pada 1930. Tapi pembinaan yang betul-betul intensif, "baru dirasakan satu setengah tahun belakangan ini," ujar Nur Abady. Tapi Nur Abady, yang belum genap sebulan memegang jabatan Kepala Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Komodo, mengakui bahwa penerangan pada penduduk Sape maupun Labuhan Bajo memang belum dilancarkan secara serius. Padahal, menurut petugas yang berpengalaman 7 tahun di kawasan Suaka Marga Satwa Pulau Moyo ini, penduduk di dua kecamatan--terutama Sape --belum tahu betul apa akibatnya jika ulah mereka berlangsung terus. Pendapat Nur Abady ada benarnya. Mustafa, penduduk Sape yang dipanggil Tifu, merasa sudah tak berani lagi pergi menebang lontar, semenjak tertangkapnya 54 rekannya Mei lalu. Menurut pengakuan Tifu, dua kali sebulan ia membawa pulang 15 hingga 20 batang pohon lontar bersama tiga anggota kelompoknya. Di Sape, "sebatang pohon lontar laku dijual Rp 10 ribu. Biasanya digunakan orang untuk membangun rumah panggung," kata lelaki keriput' 54 tahun yang dikenal penduduk sana sebagai jago penebang lontar. Tapi kini, setelah mendengar bahwa tindakan selama ini ternyata tak dibenarkan pemerintah, Tifu kontan menghentikan kegiatannya. "Saya mencoba berdagang ikan di pasar dibantu istri saya," katanya. Selama ia bolak-balik Sape-Komodo bertahun-tahun itu, "sama sekali saya tak tahu kalau pekerjaan itu dilarang." Abdul Bari T.S., Kepala Balai PPA VII yang membawahkan PPA di seluruh Nusa Tenggara, dalam perbincangan melalui pesawat SSB, mengatakan ancaman terhadap habitat Ora hingga kini masih tetap ada--kendati penangkapan 54 orang tadi paling sedikit dapat membuat para jago berpikir dua kali untuk datang menebang lontar dan berburu. Di samping ancaman di daratan pulau-pulau yang merupakan kawasan Taman Nasional itu, kata Bari pula, yang tak kalah seriusnya adalah ancaman terhadap pengrusakan terumbu karang di perairan laut di dalam dan di sekitar kawasan. Hampir semua terumbu karang di perairan dangkal di sekitar atau di dalam kawasan, "kini sudah semua hancur," ucap Thomas, menguatkan pendapat bosnya. Rusaknya terumbu karang itu akibat nelayan yang mendinamit ikan di sana. Pasal dari mana asal nelayan yang mendinamit ini, masih banyak dugaan yang simpang-siur. Dansek Kepolisian Sape mengisyaratkan memang hampir semua nelayan pendinamit berasal dari desa pesisir di Sape. Kabarnya polisi setempat sudah beberapa kali mengadakan penggerebekan mendadak ke rumah nelayan yang dicurigai menyimpan bahan peledak. Namun, menurut sumber Sektor Kepolisian Sape, penggerebekan tadi tak pernah berhasil menemukan bukti. Kurangnya personil dan terbatasnya fasilitas untuk tugas PPA-di kawasan itu memang jadi masalah. Personil yang ada sekarang untuk Sub Balai Kawasan PA Komodo kurang dari separuh yang dibutuhkan. Di Pulau Komodo sendiri ada enam petugas yang menempati pos Kampung Komodo dan (bakal) kantor di Loh Liang. Selebihnya mereka ngendon di pusat Informasi dan kantor diLabuhan Bajo. Paling sedikit, "untuk Sub Balai Kawasan Komodo kami membutuhkan 80 tenaga," kata Bari T.S. menjawab pertanyaan TEMPO. Kekurangan peralatan angkutan juga yang membuat petugas PPA sering kalah cepat dengan para nelayan pendinamit. Tatkala sedang memburu pendinamit pada 1980 lalu, misalnya, satu tim operasi yang dikirim sempat dilempari dinamit oleh nelayan. Menurut Bari T.S. maupun Nur Abady, untuk tugas pengamanan tak lama lagi akan segera dibeli satu motor bot fibreglass seharga Rp 15 juta dengan mesin 25 PK. Kecuali itu juga akan diusahakan lima senjata laras panjang. Juga, "Januari nanti, beberapa petugas PPA dari Sub Balai ini akan dikirim mengikuti latihan Polisi Khusus," ujar Nur Abady. Kebutuhan akan senjata dan pcrsonil Polsus memang amat dibutuhkan PPA soalnya, "untuk menembak anjing pun kami masih pinjam tenaga dan senjata dari Polri. Padahal polisi yang terdekat cuma di Labuhan Bajo -- 20 mil laut yang makan waktu 4-5 jam dengan sampan PPA," kata Nur Abady, alumnus SKMA Bogor itu. Pos Polisi bukan tak ada di Komodo: hanya saja selalu kosong. Beruntungnya mereka sudah dilengkapi dengan fasilitas SSB, yang tak jarang menjadi alat hiburan buat petugas yang kesepian dan merasa terpencil di Pulau Komodo. Namun alat komunikasi tersebut masih belum bisa menghubungi pos-pos dalam kawasan. Untuk itu "kami juga merencanakan membeli Radio CB untuk seluruh pos jaga dalam kawasan," ujar Nur mengungkapkan berbagai rencana tentang pengemhngan taman. Di Loh Liang sendiri kelak bakal menjadi pusat studi penelitian eranus Komodoensis. Itulah sebabnya, "di sana akan ada laboratorium lengkap, perpustakaan, dan fasilitas penelitian iainnya." Sarana fisiknya semua sudah tersedia, tinggal diisi dengan perlengkapan yang dibutuhkan. Dengan anggaran kurang lebih Rp 150 juta, kecuali dibangun fasilitas keilmiahan, juga sudah dibangun beberapa pondok wisata untuk para turis yang mulai membanjir ke sana. Juga rencana akan ada restoran dan pondok wisata terapung di perairan dekat sana. Untuk mengelola ini semua kantor Sub Balai akan dipindah ke Loh Liang dari Labuhan Bajo serta akan ditempatkan seorang ekolog dan empat orang biolog di samping beberapa sarjana lainnya untuk tenaga pimpinan. Ada rencana kawasan Taman Nasional ini akan dijadikan Cagar Biosfer-tempat penduduk hidup berdampingan dengan satwa lindungan dan habitatnya, tanpa saling merugikan. Gagasan Cagar Biosfer ini sudah dibicarakan dalam Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali baru-baru ini. Tapi bagaimana realisasinya, belum bisa dikemukakan: ide itu baru satu cetusan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus