DARI jarak beberapa mil laut dalam pelayaran dari Sape, NTB,
Pulau Komodo nampak dihiasi pebukitan setngah gundul. Pohon
lontar tumbuh berjajar uk beraturan di puncak atau pun di
lembahnya. Pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Komodo tampak
kerontang, tanpa tanda-tanda kehidupan.
Untuk membedakan Pulau Komodo dengan pulau lain yang berserakan
di sana, "kita cukup melihat pohon lontar," ujar seorang
pedagang asal Labuhan Bajo yang baru saja pulang dari membeli
barang kelontong di Sape. Pohon lontar memang, "merupakan
tumbuhan khas di padang savana Pulau Komodo," kata Nur Abady
Abbas, Kepala Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam Komodo. Itulah
sebabnya, menurut Abbas, lontar di pulau itu dijaga betul dari
tangan manusia yang tergiur menebangnya.
Lontar yang demikian banyak di Komodo memang mengundang orang
Sape buat tak segan mengarungi laut dengan arus memutar yang
terkenal galak di Selat Sape. Jarak Sape - Komodo, kira-kira 40
mil laut, biasanya mereka tempuh 10 sampai 12 jam dengan sampan
berlayar.
Menurut pengakuan seorang penduduk Desa Naru, Kecamatan Sape,
Bima (NTB), yang terbiasa pergi berlayar menebang lontar di
Komodo, mereka sekali sebulan mengambil batang lontar di pulau
kawasan Taman Nasional itu. Ditetapkan sebagai kawasan Taman
Nasional di tahun 1980 bersama Pulau Rinca (19.625 ha) dan Pulau
Padar (2.017 ha), Pulau Komodo (33937 ha) diketahui sejak dahulu
menjadi ajang penebangan lontar dan perburuan rusa oleh penduduk
di pesisir pantai dalam wilayah Kecamatan Sape.
Sebagai kawasan Taman Nasional ketiga pulau itu diberi nama
Taman Nasional Komodo -- dengan sendirinya semua flora dan fauna
di sana dilindungi. Terutama Veranus Komodoensis, kadal raksasa
tersohor itu, yang diakui dalam perjanjian internasional sebagai
spesies yang nyaris punah.
Namun ancaman terhadap habitat satwa langka itu belum juga
kunjung berakhir. Mei kemarin ditangkap 54 penduduk asal Sape
yang tengah menebang lontar di Komodo. Kabarnya, selama sebulan
mereka dikenakan ajib lapor ke Sektor Kepolisian Sape.
Thomas Tagung, petugas PPA yang ikut tim di pantai barat,
mengungkapkan bukan cuma batang lontar yang mereka tebang.
Jatipadang savana dibakar penduduk Sape, buat memancing
kedatangan rusa agar gampang dijerat. Rusa yang dijerat dan
diburu dengan anjing atau ditombak itulah yang jadi bekal mereka
selama berhari-hari di kawasan taman. "Para penebang rata-rata
tak membawa bekal yang cukup dari rumah," kata Thomas Tagung,
"rusa di sinilah yang jadi sasaran buat mengisi perutnya."
Orang Sape memang secara tak langsung merupakan saingan bagi
satwa langka itu dalam mempertahankan hidupnya. Kadal raksasa
tersebut dikenal sebagai pemakan rusa, babi, kerbau dan kuda
liar. Tapi mangsa Ora--demikian penduduk setempat menyebut kadal
raksasa -- justru merupakan mangsa buruan manusia yang paling
digemari. Rusa, misalnya.
Sementara itu harga daging rusa yang melonjak dan permintaan
yang tinggi di pasaran gelap menyebabkan mangsa Ora ini bukan
cuma diburu untuk bekal penebang lontar, "melainkan diburu juga
untuk diperdagangkan," ungkap Thomas Tagung, yang sudah bertugas
di kawasan itu lebih 3 tahun.
Sialnya lagi, setiap pemburu atau penebang lontar datang ke
kawasan dengan anjing buruan--yang tak ikut dibawa pulang.
Ditinggalkannya anjing pemburu ini, bagi Veranus Komodoensis,
menurut Din Hendrikus, Kepala Pos PPA yang baru berumur 23
tahun, merupakan ancaman paling serius pada saat ini. "Anjing
peninggalan itu berkembang biak macam jamur," kata Hendrikus
"bukan mustahil Ora bakal kehabisan bahan makanan akibat
intervensi anjing."
Sebenarnya sebelum jadi Taman Nasional, Pulau Komodo sudah
ditetapkan sebagai cagar alam pada 1965, menyusul Padar dan
sebagian Rinca yang jauh sebelumnya (1938) sudah merupakan
kawasan cagar alam. Ketiga pulau tersebut akhirnya (1980)
ditetapkan sebagai Taman Nasional, meliputi luas daratan dan
perairan di sekitarnya 75.000 ha.
Khusus tentang perlindungan terhadap Veranus Komodoensis, Sultan
Bima pada tahun 1912 malah sudah mengeluarkan larangan keras
untuk memburu biawak itu. Inisiatif Sultan Bima--yang sekarang
dianggap sebagai kesadaran akan lingkungan para leluhur oleh
sementara kalangan di Bima kemudian dilanjutkan dengan keluarnya
larangan yang sama dari Residen Timor pada 1930.
Tapi pembinaan yang betul-betul intensif, "baru dirasakan satu
setengah tahun belakangan ini," ujar Nur Abady.
Tapi Nur Abady, yang belum genap sebulan memegang jabatan Kepala
Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Komodo, mengakui bahwa
penerangan pada penduduk Sape maupun Labuhan Bajo memang belum
dilancarkan secara serius. Padahal, menurut petugas yang
berpengalaman 7 tahun di kawasan Suaka Marga Satwa Pulau Moyo
ini, penduduk di dua kecamatan--terutama Sape --belum tahu betul
apa akibatnya jika ulah mereka berlangsung terus.
Pendapat Nur Abady ada benarnya. Mustafa, penduduk Sape yang
dipanggil Tifu, merasa sudah tak berani lagi pergi menebang
lontar, semenjak tertangkapnya 54 rekannya Mei lalu. Menurut
pengakuan Tifu, dua kali sebulan ia membawa pulang 15 hingga 20
batang pohon lontar bersama tiga anggota kelompoknya. Di Sape,
"sebatang pohon lontar laku dijual Rp 10 ribu. Biasanya
digunakan orang untuk membangun rumah panggung," kata lelaki
keriput' 54 tahun yang dikenal penduduk sana sebagai jago
penebang lontar.
Tapi kini, setelah mendengar bahwa tindakan selama ini ternyata
tak dibenarkan pemerintah, Tifu kontan menghentikan kegiatannya.
"Saya mencoba berdagang ikan di pasar dibantu istri saya,"
katanya. Selama ia bolak-balik Sape-Komodo bertahun-tahun itu,
"sama sekali saya tak tahu kalau pekerjaan itu dilarang."
Abdul Bari T.S., Kepala Balai PPA VII yang membawahkan PPA di
seluruh Nusa Tenggara, dalam perbincangan melalui pesawat SSB,
mengatakan ancaman terhadap habitat Ora hingga kini masih tetap
ada--kendati penangkapan 54 orang tadi paling sedikit dapat
membuat para jago berpikir dua kali untuk datang menebang lontar
dan berburu.
Di samping ancaman di daratan pulau-pulau yang merupakan kawasan
Taman Nasional itu, kata Bari pula, yang tak kalah seriusnya
adalah ancaman terhadap pengrusakan terumbu karang di perairan
laut di dalam dan di sekitar kawasan. Hampir semua terumbu
karang di perairan dangkal di sekitar atau di dalam kawasan,
"kini sudah semua hancur," ucap Thomas, menguatkan pendapat
bosnya.
Rusaknya terumbu karang itu akibat nelayan yang mendinamit ikan
di sana. Pasal dari mana asal nelayan yang mendinamit ini, masih
banyak dugaan yang simpang-siur. Dansek Kepolisian Sape
mengisyaratkan memang hampir semua nelayan pendinamit berasal
dari desa pesisir di Sape. Kabarnya polisi setempat sudah
beberapa kali mengadakan penggerebekan mendadak ke rumah nelayan
yang dicurigai menyimpan bahan peledak. Namun, menurut sumber
Sektor Kepolisian Sape, penggerebekan tadi tak pernah berhasil
menemukan bukti.
Kurangnya personil dan terbatasnya fasilitas untuk tugas PPA-di
kawasan itu memang jadi masalah. Personil yang ada sekarang
untuk Sub Balai Kawasan PA Komodo kurang dari separuh yang
dibutuhkan. Di Pulau Komodo sendiri ada enam petugas yang
menempati pos Kampung Komodo dan (bakal) kantor di Loh Liang.
Selebihnya mereka ngendon di pusat Informasi dan kantor
diLabuhan Bajo. Paling sedikit, "untuk Sub Balai Kawasan Komodo
kami membutuhkan 80 tenaga," kata Bari T.S. menjawab pertanyaan
TEMPO.
Kekurangan peralatan angkutan juga yang membuat petugas PPA
sering kalah cepat dengan para nelayan pendinamit. Tatkala
sedang memburu pendinamit pada 1980 lalu, misalnya, satu tim
operasi yang dikirim sempat dilempari dinamit oleh nelayan.
Menurut Bari T.S. maupun Nur Abady, untuk tugas pengamanan tak
lama lagi akan segera dibeli satu motor bot fibreglass seharga
Rp 15 juta dengan mesin 25 PK. Kecuali itu juga akan diusahakan
lima senjata laras panjang.
Juga, "Januari nanti, beberapa petugas PPA dari Sub Balai ini
akan dikirim mengikuti latihan Polisi Khusus," ujar Nur Abady.
Kebutuhan akan senjata dan pcrsonil Polsus memang amat
dibutuhkan PPA soalnya, "untuk menembak anjing pun kami masih
pinjam tenaga dan senjata dari Polri. Padahal polisi yang
terdekat cuma di Labuhan Bajo -- 20 mil laut yang makan waktu
4-5 jam dengan sampan PPA," kata Nur Abady, alumnus SKMA Bogor
itu. Pos Polisi bukan tak ada di Komodo: hanya saja selalu
kosong.
Beruntungnya mereka sudah dilengkapi dengan fasilitas SSB, yang
tak jarang menjadi alat hiburan buat petugas yang kesepian dan
merasa terpencil di Pulau Komodo. Namun alat komunikasi tersebut
masih belum bisa menghubungi pos-pos dalam kawasan. Untuk itu
"kami juga merencanakan membeli Radio CB untuk seluruh pos jaga
dalam kawasan," ujar Nur mengungkapkan berbagai rencana tentang
pengemhngan taman.
Di Loh Liang sendiri kelak bakal menjadi pusat studi penelitian
eranus Komodoensis. Itulah sebabnya, "di sana akan ada
laboratorium lengkap, perpustakaan, dan fasilitas penelitian
iainnya." Sarana fisiknya semua sudah tersedia, tinggal diisi
dengan perlengkapan yang dibutuhkan. Dengan anggaran kurang
lebih Rp 150 juta, kecuali dibangun fasilitas keilmiahan, juga
sudah dibangun beberapa pondok wisata untuk para turis yang
mulai membanjir ke sana.
Juga rencana akan ada restoran dan pondok wisata terapung di
perairan dekat sana. Untuk mengelola ini semua kantor Sub Balai
akan dipindah ke Loh Liang dari Labuhan Bajo serta akan
ditempatkan seorang ekolog dan empat orang biolog di samping
beberapa sarjana lainnya untuk tenaga pimpinan.
Ada rencana kawasan Taman Nasional ini akan dijadikan Cagar
Biosfer-tempat penduduk hidup berdampingan dengan satwa
lindungan dan habitatnya, tanpa saling merugikan.
Gagasan Cagar Biosfer ini sudah dibicarakan dalam Kongres Taman
Nasional Sedunia di Bali baru-baru ini. Tapi bagaimana
realisasinya, belum bisa dikemukakan: ide itu baru satu cetusan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini