REBELLION UNDER THE BANNER OF ISLAM -- sebuah thesis
doktoral-Oleh: C. Van tijk
Penerbit: Koninklijk Instituut voor Taat Land en Volkenkunde,
Leiden, 1981
DISERTASI Cornelis Van Dijk (Leiden 1981) setebal 450 halaman
lebih ini bertujuan membahas gerakan Darul Islam dalam rangka
keadaan politik di Indonesia setelah 1945, dan perbedaan
pendapat tentang wujud nyata Negara Indonesia yang dipertahankan
golongan yang waktu itu bersaingan.
Pembaca, kata Van Dijk, jangan mengharapkan makalah yang
berpokok pada segi agama untuk usaha menegakkan sebuah 'negara
Islam' di Indonesia. Lalu setiap pemberontakan Darul Islam di
berbagai provinsi selama kurang lebih 15 tahun diberikannya
dalam lima bab (bab ke-1 sampai dengan ke-6). Dalam bab ke-7,
terakhir, dicobanya menjawab pertanyaan, "mengapa orang menjadi
pengikut DI."
Telaah Van Dijk ini didukung kepus-, takaan sampai 400 judul.
Jadi sebagai buku sejarah pemberontakan DI, karya ini sungguh
lengkap lagi padat dengan tamsil yang dapat dimanfaatkan para
peminat sejarah untuk melengkapi pengetahuan tentang gerakan
itu. Gerakan yang bertopang pada sebuah ideologi, yang juga
sekaligus dijadikan topeng.
Kepustakaan yang dibacanya tahuntahun 1959-1973 di Negeri
Belanda, dan mungkin juga di Indonesia ketika dia mengunjungi
Indonesia 1976 dan 1978 --berturut-turut dua dan empat
bulan-lebih dari setengahnya terbitan 1960-1970. Kebanyakan buah
tangan pengarang Indonesia.
Grafik kepustakaan itu, yang dapat dibuat menurut tahun
terbitnya, bahasanya, dan banyaknya terbitan yang seusia
(misalnya terbitan 1914 yang dibacanya 32 buah dalam bahasa
Belanda, satu buah dalam bahasa Indonesia dan satu buah dalam
bahasa Inggris), sesungguhnya sudah menyifatkan disertasinya dan
kesimpulan yang akan dicapainya. Dapat diduga sebelumnya,
disertasi ini akan berupa penjejeran ulasan beberapa pengarang
terdahulu tentang DI, dan kesimpulannya akan menyerupai semacam
"kelipatan pembilang terbesar".
Dengan demikian pertanyaan "mengapa orang menjadi pengikut DI"
dijawabnya dengan menyebut empat faktor uuma yang saling
berkaitan:
1. Kekecewaan dan rasa sakit hati pasukan gerilya/badan
perjuangan karena pengaruh Angkatan Darat Republik bertambah
besar, dan karena kebijaksanaan pemerintah menyisihkan mereka
dengan demobilisasi.
2. Pengendalian pemerinuh provinsi oleh pemerinuh pusat yang
makin ketat berkat dukungan angkatan bersenjata, serentak dengan
usaha membangun pemerinuhan dengan pamongpraja yang setia lagi
efisien.
3. Perubahan norma dan nilai budaya yang bertalian dengan
pemilikan tanah, yang merenggangkan ikatan individu dengan
lingkungan sosialnya, dan membuat orang tidak dapat lagi
menerima perbedaan sosial yang sebelumnya dianggap wajar. Jadi
bukan mutlak kemisknan yang semakin parah, bukan juga benalu
tuan unah (Van Dijk mengaca pada Mortimer 1974: 100-102) yang
mendorong orang memberonuk (hlm. 365).
4. Berlainan dengan pemberontakan berlatar agama di zaman
kolonial yang dipimpin para kiai, Di di zaman Republik melampaui
batas "daerah" dan menjadi masalah nasional. Sebabnya ke-4
faktor (pilihan Van Dijk) dalam ruang dan waktu, di Indonesia
pada tahun-tahun itu, saling memperkuat dan mempengaruhi dengan
tiada yang dapat disebut yang perdana.
Dengan pendekatan sehati-hatinya dan selengkapnya itu,
terpampanglah gambaran tentang Dl dl Jawa Barat dan Tengah,
Sul-Sel, Kal-Sel dan Aceh, yang menampakkan perbedaan dan
persamaan yang menarik, ibarat sediaan jaringan yang diteropong
melalui mikroskop obyektif kecil yang mengabaikan tamsil-tamsil
tertentu.
Itu pun tak apa-apa, karena hasil karya Van Dijk sesuai dengan
metode penelitiannya. Bahwa pendekatan lain dengan tujuan lain
akan menghasilkan kesimpulan lain pula agaknya terlupakan. Ini
bisa terlihat ketika dia menyanggah habis-habisan kesimpulan
K.D. Jackson, pengajar ilmu politik di Universitas California,
Berkeley, yang bertentangan dengan kesimpulannya sendiri.
Sanggahannya terhadap Jackson (K.D. Jackson: Traditional
Authority and National Integration: The Dar'ul lslam Rebellion
in West Java, 1971) terlihat panjang lebar delapan halaman (hlm.
374-381 dan 394-395) dan pada dalil pertamanya.
Pertanyaan "mengapa orang menjadi pengikut DI" dapat ditangkap
dan dijawab pada berbagai tingkat kemujaradan (abstraksi).
Pengerahan politik (menggerakkan pengikut), menurut Jackson,
"pada saat gawat menghadapi pilihan politik, lebih efektif
terlaksana dengan menuntut ketaatan pada wibawa tradisional
(seorang pemimpin atau "bapak") daripada menyebut-nyebut
ideologi, kepentingan ekonomi, atau perbedaan nilai budaya
asasi" (l.c. 1971), dan itu tidak terlepas pula dari konteks
sejarah.
Pengujian atau eksperimen eks post Jacto atas kejadian yang
lampau hendaknya dilihat juga dalam ruang dan waktu pada
tahun-tahun silam itu. Van Dijk sendiri dalam bab akhir
disertasinya, sebagai penutup, mengingatkan pembaca pada peran
waktu. Dapat dibayangkan, katanya, sejarah Dl akan lain bila
tidak berhimpit dengan keruntuhan sistem kolonial dan
pembangunan negara berdaulat pada kurun setelah 1945.
Yang mengasyikkan Jackson pada hakikatnya bukan masalah Dl.
Melainkan proses integrasi aneka unsur masyarakat ke dalam tubuh
negara kesatuan-integrasi yang dalam sejarah RI terancam
pelbagai pemberontakan. Penelitian Jackson mencontoh eksperimen
laboratorium: percobaan diulang sekian kali, dengan tiap kali
sebuah faktor dari sekian faktor yang diperkirakan berperan
diubah -- misalnya suhu, tingkat keasaman dan sebagainya.
Ada faktor yang dalam batas tertentu dapat diubah-ubah tanpa
banyak mempengaruhi hasil percobaan. Demikian oleh Jackson diuji
tiga dari 19 desa yang eksosbud dan geografinya (syarat penting
untuk gerilya) sama, hanya polnya yang berbeda: satu desa basis
DI, satu desa benteng Republik, dan yang satu lagi plin-plan
atau ikut sana ikut sini (sikap yang menurut Jackson ditentukan
oleh sepuh, pimpinan dan tokoh desa yang ditaati masyarakat
berdasar wibawa tradisional atau wibawa nenurut adat).
TERNYATA yang ditemukan Jackson bertentangan dengan buah plkiran
Van Dijk (hlm. 374). Kritik Jackson cukup tajam, tapi karena
yang diteropongnya seakan sediaan yang sama pada kedalaman yang
berbeda, jadinya yang kena sebagian.
Karena resensi ini bukan untuk Jack son, baik diakhiri saja
dengan beberapa catatan pribadi:
1. Ketaatan pada atasan (raja) yang jadi "adat anak Melayu " (cf
Hang Tuah) hakikatnya juga bersumber pada akal budi. Anak buah
yang secara membuta melaksanakan perintah atasan, percaya
sepenuhnya bahwa "bapak" punya alasan yang masuk akal yang dapat
diterangkannya asal ditanyakan, di situlah kesulitannya. Tapi
sikap ini tak pula asing di Barat, misalnya dalam ketentaraan,
atau dalam Ordo Yesuit.
2. Segalanya berubah dalam waktu dan tergantung waktu. Siasat
yang pernah berhasil tahun 1965 -- misalnya-gagal pada tahun
1978 (? - red.).
3. Karya ilmiah yang tak dapat dicela boleh jadi tak bermanfaat
untuk mengatur siasat. Sedang karya ilmiah yang banyak
kekurangannya menghasilkan gagasan yang langsung bisa
diterapkan.
Bahwa untuk memperoleh wibawa tradisional dibutuhkan waktu lama
sampai puluhan tahun, dapat menyebabkan jangka penugasan secara
bergilir (tour of duty) misalnya dipersingkat, untuk
menghindarkan terjalinnya hubungan yang menciptakan wibawa
menurut adat Melayu.
Akhirulkalam disajikan ungkapan seorang ilmuwan kemasyarakatan:
pembantu utama sebuah revolusi (yang kalau gagal lalu disebut
pemberontakan) agaknya 'cuaca'.
J. Moeliono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini