Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Joko Widodo tidak menyampaikan komitmen waktu untuk mencapai nol emisi karbondioksida dalam Pertemuan Kepala Negara Mengenai Iklim 2021 .
Indonesia menerapkan strategi jangka panjang untuk mencapai tingkat nol emisi pada 2070.
Indonesia diminta menghapus ketergantungan kepada energi berbasis fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas..
DIREKTUR Program Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengaku tidak sepenuhnya terkejut atas sikap Presiden Joko Widodo dalam acara Leader Summit on Climate 2021 pada 22 April lalu. Dalam forum yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden tersebut, Indonesia tidak menyatakan komitmen untuk mencapai emisi nol (net zero emission). “Memang pemerintah tak terlalu ambisius. Dalam strategi jangka panjang target waktunya adalah 2070. Semestinya, saat pidato, itu paling tidak disebutkan,” katanya, Jumat, 28 April lalu.
Madani, kata Nadia, melakukan advokasi yang cukup lama untuk mendorong pemerintah menaikkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional. Mengetahui Presiden Jokowi akan hadir dalam Leader Summit on Climate, Madani bersama 37 lembaga dan puluhan individu membuat surat terbuka berisi delapan aspirasi. Salah satunya, harapan agar Jokowi menyatakan komitmen mencapai emisi nol pada 2050 atau 2045.
Harapan itu tak terwujud. Jokowi menyampaikan tiga pokok pikiran, tapi tidak menyatakan soal target waktu mencapai emisi nol. Jokowi menyatakan Indonesia serius menangani perubahan iklim dan mengajak pemimpin dunia bertindak konkret. Dia memberi contoh keberhasilan menahan laju deforestasi dan melakukan moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut sebesar 66 juta hektare. Dia juga mengajak dunia memajukan pembangunan hijau serta memperkuat kemitraan global untuk mencapai target Perjanjian Paris.
Dalam pertemuan yang menjadi pemanasan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26 (COP-26) di Glasgow, Skotlandia, pada November nanti tersebut, sejumlah kepala negara menyampaikan komitmen baru untuk mengurangi pemanasan global, termasuk target waktu mencapai emisi nol. Menurut pendataan Reuters, Amerika Serikat menaikkan target pengurangan emisi dua kali lipat dari komitmen sebelumnya, dari 26-28 persen menjadi 50-52 persen pada 2005-2030; Rusia menargetkan nol emisi pada 2060; dan Brasil pada 2050.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ada iklim yang mendukung kalau mau emisi nol pada 2050,”
Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mempertanyakan soal tidak disampaikannya komitmen waktu untuk emisi nol itu. Dia membandingkannya dengan Brasil, sesama negara yang punya cadangan hutan besar. Padahal, menurut dia, kita punya modal cukup untuk berani mengungkapkannya. Pemberian izin pemanfaatan hutan primer serta lahan gambut dan kebakaran yang tinggi pada 2019 sudah turun pada 2020. “Ada iklim yang mendukung kalau mau emisi nol pada 2050,” tutur Yuyun.
Sarwono Kusumaatmadja, penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menilai tak ada keharusan Presiden Jokowi menyampaikan janji emisi nol dalam pertemuan para kepala negara tersebut. “Yang penting prinsip penyelenggaraan negaranya seperti apa, yang salah satu keluarannya adalah zero emission,” katanya, Sabtu, 1 Mei lalu. Faktanya, menurut dia, deforestasi serta kebakaran hutan dan lahan berkurang. “Kami juga sedang mempersiapkan program restorasi ekosistem serta pelestarian gambut dan mangrove.”
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama kementerian dan lembaga negara lain mulai menyusun dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) sejak 2020. Kementerian Lingkungan melakukan konsultasi publik soal itu pada 24 Maret lalu. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, saat membuka acara secara daring, mengatakan dokumen itu disusun dengan mempertimbangkan banyak hal, dari kondisi ekonomi hingga kebijakan nasional semua sektor sampai 2050.
Menurut Siti, semua sektor harus makin menurunkan emisi gas rumah kaca menuju 2050. Pada tahun itu, diperkirakan bauran batu bara mencapai 39 persen, gas 12 persen, minyak bumi 17 persen, serta energi baru dan terbarukan 32 persen. Kondisi itu dapat dicapai melalui pengurangan konsumsi batu bara, transformasi sistem energi, dan penerapan teknologi yang berdampak signifikan mengurangi emisi. “Kita memproyeksikan Indonesia akan mencapai net zero emission pada 2070,” ucap Siti.
Aktivis lingkungan mengkritik target waktu yang ditetapkan dalam strategi jangka panjang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut karena jauh dari ekspektasi. “Target itu mengesankan pemerintah berjalan seperti biasa dan iklim tak dalam keadaan krisis,” tutur Yuyun. Dia juga menyitir adanya pilihan skenario yang disiapkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang memberikan empat skenario emisi nol, yaitu pada 2045, 2050, 2060, dan 2070.
Empat skenario Bappenas itu disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam diskusi daring yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia pada 19 April lalu. Menurut Suharso, empat skenario itu berimplikasi pada pola pembangunan dan kebijakan yang harus diterapkan. Hasil simulasi Bappenas, net zero bisa dicapai pada 2045. “Kalau dengan persoalan energi baru dan terbarukan yang masih kita hadapi, net zero bisa dicapai 2060 atau 2070,” ucap Suharso.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga mengkritik strategi Kementerian Lingkungan Hidup karena masih bergantung pada energi fosil. “Kalau saya baca laporannya, sebanyak 50 persen dari bauran energi pada 2050 itu masih berasal dari energi fosil, seperti batu bara dan gas,” ujar Fabby, Selasa, 27 April lalu. “Ini (artinya) masih ingin mempertahankan batu bara,” dia menambahkan.
Wahjudi Wardojo, penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan target emisi nol itu bukan hanya urusan Kementerian Lingkungan Hidup. Sektor energi, kata Wahjudi, punya kewajiban lebih dari 11 persen, begitupun sektor pertanian dan subsektor perkebunan. “Kementerian Lingkungan tidak bisa sembarangan menaikkan dan menurunkan angka. Kementerian mempertimbangkan komitmen sektor lain,” tutur Wahjudi pada Rabu, 28 April lalu.
Menurut Fabby, IESR mengembangkan pemodelan target emisi nol Indonesia. “Kesimpulannya, secara teknis ekonomi, kita bisa net zero di 2050,” katanya. Untuk menempuh skenario itu, ada rekomendasi yang harus dilakukan. Misalnya, energi terbarukan harus 100 persen—85 persennya tenaga surya. Total pembangkit energi terbarukan yang disiapkan pada 2050 ditaksir 1.500 gigawatt, dua kali lipat dari kebutuhan energi sekarang. Hal itu memperhitungkan konsumsi per kapita pada 2050 yang mencapai 8.000 kilowatt jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain energi terbarukan, kata Fabby, jaringan listrik juga harus diperkuat, kapasitas penyimpanan daya ditambah, komposisi pembangkit lebih fleksibel, adanya pengembangan hidrogen setelah 2040, serta elektrifikasi transportasi. “Harus ada perubahan kebijakan dan investasi,” tuturnya. Dia memberi contoh Vietnam yang dalam satu tahun bisa membangun 10 gigawatt pembangkit listrik tenaga surya pada 2020. “Kalau mau net zero, tidak bisa mengelola seperti apa adanya. Konsekuensinya, memang harus meninggalkan energi fosil seperti batu bara.”
Fabby mengatakan empat skenario yang disampaikan Bappenas itu sebenarnya ingin menyampaikan pesan soal dampak ekonomi rendah karbon. Kalau emisi nol pada 2045-2050, ekonomi bisa tumbuh sekian persen. Kalau 2070, turun 3-4 persen. Pesan dari studi Bappenas itu, kata Fabby, makin lama menunda mencapai dekarbonisasi, pertumbuhan ekonomi kita akan makin terimbas.
Nadia mengatakan, menurut kalkulasi sejumlah lembaga, Indonesia sangat mungkin mencapai emisi nol sebelum 2070. “Tapi ini harus ada political will, yang didukung oleh berbagai sektor. Arah pembangun harus sudah didesain untuk menuju ke sana,” katanya. Yuyun menambahkan, pemerintah hendaknya melihat soal ini dari perspektif keadilan antargenerasi. “Kebijakan iklim jangan hanya melihat kepentingan generasi sekarang, tapi juga generasi masa depan.”
ABDUL MANAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo