Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Binasa Gajah di Pelupuk Mata

Kematian gajah Sumatera di Riau marak. Setidaknya 24 ekor gajah mati dalam rentang waktu 2015-2020. Fragmentasi habitat gajah akibat konversi hutan menjadi lahan perkebunan dan hutan tanaman industri kian memudahkan pemburu membunuh binatang besar itu untuk diambil gadingnya. Liputan ini merupakan kolaborasi antara Tempo, Tempo Institute, dan Mongabay.

24 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gajah ditemukan mati di Simpang Kelayang, Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, April 2020./Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kajian WWF-Indonesia menyebutkan, populasi gajah Sumatera terus menurun dan mengantarnya ke gerbang kepunahan

  • Ancaman utama gajah Sumatera adalah: hilangnya habitat akibat penebangan hutan; konversi hutan alam untuk perkebunan bahan industri sawit dan kertas skala besar; perburuan; dan, perdagangan liar.

  • Fragmentasi habitat kian memudahkan perburuan binatang bongsor ini.

DEDDY dan Bujang serta dua orang lainnya mencari keberadaan gajah jantan yang sejak beberapa pekan masuk ke kebun sawit mereka. Hari itu, 13 April lalu, warga Desa Simpang Kelayang, Kecamatan Kelayang, Indragiri Hulu, Riau, itu menyusuri kebun sawit. Mereka berusaha menemukan gajah itu untuk digiring keluar kebun dan kembali ke kawasan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo.

Tiap lima menit sekali, seorang dari mereka menyalakan petasan yang efektif untuk mengusir gajah. Sembari membunyikan mercon, mereka berseru, “Datuk, Datuk, Datuk….” Mereka biasa menyebut gajah dengan panggilan datuk.

Setelah sejam berjalan, mereka melihat bekas jejak gajah dan kotorannya. Mereka pun mengikuti jejak itu. “Kalau bisa live streaming, biar dilihat BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam),” ujar salah seorang dari mereka. Hanya Deddy yang punya kuota Internet di ponselnya dan ia pun segera menyiarkan pencarian gajah itu ke laman Facebook.

Tiba-tiba, seorang laki-laki keluar dari balik pokok sawit. Ia minta Deddy mematikan kamera ponselnya. “Terkenal nanti awak (saya),” ucap pria asing berkulit sawo matang itu. “Joni,” begitu lelaki berumur 50-an tahun itu mengenalkan diri. Ia menyangkutkan parang di pinggang dan mengaku petugas dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau di Bagan Limau, Pelalawan.

“Kok, tak pakai seragam?” tutur Deddy. “Polisi hutan itu kan juga ada intelnya,” kata Joni. Ia menahan Deddy dan kawan-kawan agar berhenti di situ. Gajah, kata Joni, tak ada lagi di kebun itu. Joni mengklaim telah menghalau gajah itu ke arah Kabupaten Pelalawan. Kelayang di Indragiri Hulu berbatasan dengan Pelalawan. Tak jauh dari situ, ada kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang masuk wilayah Pelalawan dan Indragiri Hulu.

Tesso Nilo merupakan satu dari enam pusat konservasi gajah Sumatera di Riau. Di seluruh Sumatera, ada 22 pusat konservasi gajah. Kajian World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia pada 2007 menyatakan Riau telah kehilangan 84 persen populasi gajah sehingga jumlah gajah Sumatera yang tersisa hanya 210 ekor. Adapun untuk seluruh Sumatera, jumlahnya menyusut lebih dari separuh, menyisakan jumlah 2.400-2.800 individu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rilis tersangka pemburu gajah dan barang bukti berupa gading gajah oleh Polres Indragiri Hulu, Agustus 2020./polresindragirihulu.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Joni mengajak keempat orang itu berkeliling dan menjauh dari tempat itu. Tiba-tiba muncul satu orang lagi teman Joni. Pria berkumis dan menyandang tas punggung itu mengaku dari Medan, namun ia tidak memberitahukan namanya. Setelah bergeser lokasi dan berbincang-bincang, Deddy dan kawannya berpisah dengan Joni dan temannya tersebut.

Deddy masih curiga kepada Joni dan kawannya. Dia pun meminta Bujang memberi tahu polisi yang bertugas di Kepolisian Sektor Kelayang perihal orang yang mengaku sebagai petugas BBKSDA Riau bernama Joni itu. Setelah mengecek kiri-kanan, ternyata tak ada petugas BBKSDA Riau di Bagan Limau bernama Joni. Kecurigaan Deddy bertambah kuat bahwa Joni dan kawannya sebenarnya adalah pemburu gajah.

Hari itu, hingga malam beranjak, Deddy dan sejumlah warga Desa Simpang Kelayang masih berselimut syak-wasangka terhadap Joni dan kawannya. Besoknya, berbekal kecurigaan yang bertambah, Deddy bersama sejumlah warga desa ingin memastikan posisi gajah yang diklaim oleh Joni telah dihalau ke arah Pelalawan.

Mendadak, ponsel Deddy berdering. Si penelepon adalah Srianto atau Tobas, tetangga Deddy. “Ini gajah, gajah sudah mati,” kata Tobas. Rupanya, berbekal informasi dan tayangan Deddy di Facebook, Tobas dan polisi yang bertugas sebagai Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat bernama Sumadi mendahului Deddy untuk mengecek lokasi.

Kabar kematian seekor gajah itu pun meluas ke seantero desa. Masyarakat desa pun menyemut di sekitar bangkai gajah yang belalainya terpisah sekitar 1 meter dari kepalanya. Binatang bertelinga lebar itu tergeletak mati di lokasi yang berjarak sekitar 25 meter dari titik pertemuan Deddy dengan Joni. Polisi dari Kepolisian Sektor Kelayang dan anggota tim patroli gajah Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo berjaga di lokasi malam itu dengan mendirikan tenda.

Tim nekropsi BBKSDA Riau dan tim dari Kepolisian Daerah Riau tiba keesokan harinya. Nekropsi adalah autopsi terhadap satwa. Tim Polda Riau mengorek informasi sembari membawa foto para pemburu gajah yang pernah ditangani. Dua foto mengingatkan Deddy akan Joni dan kawannya. Sesuai dengan informasi polisi, dua orang itu adalah pemburu gajah yang berulang kali masuk-keluar penjara. Joni sesungguhnya bernama Ari alias Karyo, sedangkan temannya bernama Anwar Sanusi alias Ucok.

• • •

Robert terbangun ketika mendengar orang mengetuk pintu rumahnya di Desa Air Molek, Pasir Penyu, Indragiri Hulu, Riau, pada dinihari 16 April lalu. Rumah Robert berjarak sekitar 40 kilometer dari lokasi ditemukannya gajah mati di Desa Simpang Kelayang. Ternyata, Ari dan Anwar Sanusi yang mengetuk pintu rumah Robert. Keduanya membawa bungkusan plastik dan mampir menumpang tidur. Anwar adalah paman Robert.

Sebelum merebahkan badan, Anwar berpesan agar keponakannya itu mengambilkan senjata api miliknya di rumah Sukar di Dusun Paku, Desa Sungai Banyak Ikan, Kecamatan Kelayang, yang berjarak 4 kilometer dari rumah Robert. “Sukar biasa menangkap ular liar. Saya pengepulnya,” kata Robert yang ditemui pada September lalu.

Tim buru sergap Kepolisian Resor Indragiri Hulu yang mengejar Anwar dan Ari menyambangi rumah Robert pada siang harinya. Anwar dan Ari meninggalkan rumah Robert pada pukul 7.30 tanpa sarapan. Berbekal pengakuan Robert, polisi menangkap Sukar yang bersembunyi di gubuk dalam kawasan hutan. Senjata yang digunakan untuk membunuh gajah disita polisi dari dalam rimbunnya semak-semak. Namun polisi kehilangan jejak Ari dan Anwar yang kabur.

Belakangan, anggota Polres Indragiri Hulu meringkus Anwar di Simpang Pematang Ganjang, Kecamatan Sei Rempah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, pada 1 Juli lalu. Polisi baru mengumumkan penangkapan Anwar sebulan kemudian. Menurut polisi, Ari dan Anwar adalah pemain lama dalam perburuan gading gajah di Riau. Pada 6-7 Februari 2015, Ari dan Anwar menembak tiga gajah di dalam area konsesi PT Riau Andalan Pulp and Paper di Desa Segati, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan.

Pada 10 Februari 2015, komplotan ini melanjutkan perburuan di area konsesi PT Arara Abadi di Desa Koto Pait, Kecamatan Pinggir, Bengkalis. Tim mereka bertambah lagi dengan masuknya Ruslan dan Mursid. Dalam perjalanan pulang ke Pekanbaru sambil membawa gading gajah hasil buruan, mereka ditangkap tim Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau.

Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis memvonis Ari dan Anwar dengan hukuman 1 tahun penjara pada 9 Juli 2015. Adapun di Pengadilan Negeri Pelalawan, keduanya dihukum lebih berat, yakni masing-masing 2 tahun dan 6 bulan penjara pada 21 Januari 2016.

Ternyata, sebelum berburu di Pelalawan dan Bengkalis, Ari bersama Herdani Sardavio dan Ishak juga membunuh dua gajah di Desa Tanjung Simalidu, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, pada pertengahan November 2014. Ari baru menghadapi putusan perkara itu pada 17 April 2018. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Muara Tebo menghukum Ari 3 tahun bui.

Pengadilan juga membuktikan Ari berburu gajah dimodali oleh Fadly, anggota perkumpulan hobi menembak. Tak hanya itu, pengadilan membuktikan gading hasil perburuan Ari dijual kepada Fadly. Bahkan, Fadly turut mengantar dan menjemput Ari bersama kawan-kawannya ke lokasi perburuan. Fadly juga meminjamkan senjata api berikut amunisi kepada Ari.

Fadly menghargai sepasang gading gajah hasil perburuan Ari dan kawannya Rp 15, 7 juta. Fadly pernah berjanji kepada Ari akan membeli Rp 4 juta per kilogram gading gajah. Namun mereka keburu tertangkap. Pengadilan Negeri Bengkalis memvonis Fadly hanya 1 tahun penjara. Ia ditangkap bersama Ari dan kawanannya.

Ringannya hukum untuk pemburu gajah ini disayangkan Komisaris Besar Yohanes Widodo yang menjabat Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau saat menangani kasus Ari. Kini, Yohanes menjabat Direktur Polisi Perairan dan Udara Polda Sumatera Selatan. Ia menyatakan telah memproses hukum semua pelaku, baik dalam kasus di Bengkalis maupun di Pelalawan. “Perbuatan mereka sangat sadis. Mereka hanya menginginkan gadingnya,” kata Yohanes.

• • •

Sebelum ada kasus gajah mati di Kelayang, BBKSDA Riau dan anggota Polda Riau bergulat mengungkap kematian gajah di lahan konsesi di Desa Tasik Serai, Kecamatan Talang Muandau, Bengkalis, pada 18 November 2019. Lokasinya bersebelahan dengan Desa Koto Pait, tempat kejadian kasus perburuan gading gajah pada 2015 yang melibatkan Ari dan kawanannya.

Gajah yang mati di Tasik Serai, gadingnya hilang. Tak ada tanda-tanda satwa itu ditembak, dijerat, atau diracuni. Gajah tersebut ditemukan dalam kondisi kepala terpotong. Bangkai gajah ditemukan sekitar enam hari setelah dibunuh.

Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia Donny Gunaryadi mengatakan pemburu gajah mengulangi kejahatan akibat hukuman yang ringan. Menurut Donny, pelaku tak jera karena hukuman mereka tak setimpal dengan kejahatannya. Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis, misalnya, hanya menghukum Ari dan Anwar denda Rp 3 juta atau subsider 1 bulan kurungan bila tak sanggup membayar. Begitu juga hukuman terhadap Fadly, pemodal dan pembeli gading.

Padahal, Ari dan Fadly juga bersalah atas penguasaan dan penggunaan senjata api dan amunisi tanpa hak. Mereka bisa dikenai Pasal 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951. “Dengan pasal itu, mestinya mereka dihukum mati atau penjara seumur hidup, atau setinggi-tingginya 20 tahun,” kata Donny.

Seorang sumber yang pernah melacak perdagangan gading mengungkapkan sepasang gading gajah dengan berat 30 kilogram laku hingga Rp 50 juta. Di pasar gelap, harga gading berkisar Rp 5-10 juta per kilogram. “Harga gading menggiurkan dan menguntungkan pelaku meski dihukum bersalah,” kata sumber ini.

Kematian gajah di Desa Kelayang ini hanya satu dari banyak kasus kematian gajah Sumatera di Riau. Data Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo menunjukkan, dari 2015 hingga April 2020, terpantau ada 24 gajah mati di kantong Taman Nasional Tesso Nilo, Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, dan Suaka Margasatwa Balai Raja, Riau. Tujuh gajah mati di area konsesi perusahaan  dan sisanya mati di kawasan konservasi dan kebun masyarakat.

Selain diburu untuk diambil gadingnya, gajah Sumatera di Riau mati akibat terkena jerat, kena tombak, racun, dan terkena pagar yang dialiri listrik. Ada juga yang mati karena gangguan pencernaan alias murni sakit.

Direktur Eksekutif Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo Yuliantony mengatakan, dalam lima tahun terakhir, kematian non-alami gajah lebih banyak. Intinya, banyak gajah mati akibat berkonflik dengan manusia. Menurut dia, kebijakan yang longgar mengubah kawasan hutan membuat habitat gajah di Riau terbagi-bagi untuk pelbagai fungsi. “Habitat gajah yang sudah terfragmentasi ini makin memudahkan perburuan,” kata Yuliantony.



Kajian WWF-Indonesia menyebutkan, populasi gajah Sumatera terus menurun dan mengantarnya ke gerbang kepunahan. Ancaman utama gajah Sumatera adalah hilangnya habitat akibat penebangan hutan, konversi hutan alam untuk perkebunan bahan industri sawit dan kertas skala besar, perburuan, dan perdagangan liar.

Provinsi Riau memiliki luas sekitar 8,7 juta hektare. Menurut data Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, luas area konsesi hutan tanaman industri di Riau per 2016 mencapai 2,345 juta hektare. Adapun data Kementerian Pertanian menyebutkan, lahan kebun sawit di Riau per 2019 mencapai 3,387 juta hektare.

Direktur Rimba Satwa Foundation Zulhusni Syukri mengatakan banyaknya gajah mati karena perburuan ini merupakan akibat sangat lemahnya penjagaan di area konsesi. “Banyak celah bagi pemburu untuk masuk dan berburu ke area konsesi,” tuturnya. Menurut dia, harus ada peningkatan ataupun perlindungan wilayah oleh pemegang area konsesi. Dia mencontohkan kondisi Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil yang merupakan kawasan rawa gambut. Jadi, tak semua area bisa ditinggali gajah.

Senada dengan Yuliantony dan Zulhusni, Deputi Manajer Frankfurt Zoological Society Albert Tetanus mengatakan gajah yang berada di luar kawasan konservasi akan mendapatkan intensitas konflik yang kian tinggi. Menurut dia, saat ini kawasan hutan telah terbagi-bagi ke dalam berbagai penggunaan, seperti hutan tanaman industri dan hak guna usaha perkebunan. “Kondisi ini pasti sangat mengancam gajah,” kata Albert.



SUNUDYANTORO (TEMPO), SAPARIAH SATURI, SURYADI, LUSIA ARUMINGTYAS (MONGABAY) 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sunudyantoro

Sunudyantoro

Wartawan Tempo tinggal di Trenggalek

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus