Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Hutan, Citra Satelit, dan David

Delapan belas tahun sudah David Gaveau meneliti hutan Indonesia. Peneliti asal Prancis itu meneliti ulang data kebakaran 2019.

24 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
David Gaveau (kanan) di Papua, April 2018. Dokumentasi Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • David Gaveau menetap di Indonesia setelah jatuh cinta kepada perempuan Aceh.

  • Peneliti asal Prancis itu belajar pengindraan jauh dari peneliti Indonesia.

  • Ia khawatir tentang hutan Indonesia yang terus menyusut.

RIBUAN kilometer dari Jakarta, David Gaveau menekuni citra satelit ke wilayah Indonesia. Peneliti hutan berkewarganegaraan Prancis yang kini tinggal di Kota Montpellier, Prancis selatan, itu mengamati titik-titik kebakaran hutan di Indonesia yang terjadi pada tahun ini. “Tidak banyak terjadi kebakaran karena banyak hujan,” ujarnya, Kamis, 15 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi ini jauh berbeda dibanding tahun lalu. Temuan tim yang dipimpin David, 46 tahun, menyebutkan ada 1,6 juta hektare lahan yang terbakar sejak Januari sampai Oktober 2019. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari luas yang disebutkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hasil studi lewat citra satelit itu dipublikasikan di situs Center for International Forestry Research (Cifor) pada Desember 2019. Ketika itu, David tinggal di Indonesia menjadi rekanan peneliti di lembaga yang berbasis di Bogor, Jawa Barat, tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temuan itu membuat pemerintah gusar. Kementerian membantah data itu dengan alasan Cifor tak melakukan verifikasi langsung ke lapangan. Cifor belakangan menarik laporan tersebut. Sedangkan rumah David di Bali didatangi lima petugas Imigrasi. Mereka memeriksa visa David.

Dalam izin tinggalnya, kata David, ia berprofesi sebagai direktur pemasaran sebuah perusahaan konsultan manajemen internasional yang dimiliki oleh warga Prancis. Cifor menggunakan jasa perusahaan tersebut. Kepada David, petugas Imigrasi mengatakan bahwa apa yang dikerjakan David tak sesuai dengan deskripsi izin tinggalnya. Ia dianggap melakukan riset tanpa izin dan mesti hengkang dari Indonesia per Januari lalu.

David terpaksa pulang ke negaranya dan memboyong anak sulungnya yang berusia 17 tahun. Sementara itu, istri dan dua anaknya yang masih bocah terpaksa ditinggalkan di Indonesia. “Anak saya yang terakhir lahir tiga bulan yang lalu. Saya belum pernah bertemu dengan dia,” ujarnya, lalu menunduk.

Pengungkapan data tersebut menjadi masalah sampai September lalu. Diskusi virtual tentang sawit yang menghadirkan David dibatalkan karena diprotes oleh pejabat Kementerian. Togar Sitanggang, Wakil Ketua Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, yang menjadi penyelenggara acara itu, enggan berkomentar tentang hal tersebut. Namun, dalam akun Twitter-nya pada Rabu, 30 September lalu, Togar menyatakan telah menerima pesan WhatsApp dan panggilan telepon dari pejabat Kementerian yang memprotes rencana penyelenggaraan acara tersebut.

***

SUDAH delapan belas tahun David Gaveau meneliti hutan Indonesia. Minatnya terhadap Indonesia mulai muncul saat ia masih bocah ketika membaca buku yang memuat gambar masyarakat Dayak dan hutan mereka. Bayangan tentang hutan Indonesia itu baru ia lihat secara langsung pada 2002, ketika usianya 28 tahun.

David menjelajahi Taman Nasional Gunung Leuser di kawasan Aceh bersama empat turis lain. Salah seorang di antaranya asal Kanada. Ditemani pemandu, mereka masuk ke dalam hutan selama 12 hari. Ketika itu, ia sudah memegang gelar master of science bidang optik terapan dari Imperial College, London; dan master of science dalam pengindraan jauh lingkungan dari Florence University, Italia. “Saya ingin melihat hutan utuh di dataran rendah dengan pohon-pohon besar. Saya juga berharap bertemu dengan binatang seperti orang utan, kera, dan harimau,” katanya.

David semula berencana melanjutkan petualangannya ke hutan di negara Asia lain. Namun rupanya, setelah masuk ke Tanah Rencong, ia tak pernah meninggalkan Indonesia dalam jangka waktu lama. David terpincut perempuan Aceh, yang kemudian dinikahinya pada 2003.

Ia menghidupi dirinya dengan menjadi sukarelawan di lembaga swadaya masyarakat Wildlife Conservation Society (WCS), yang berbasis di Bogor. Ia membantu WCS yang menjalin kerja sama dengan Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, untuk meneliti isu deforestasi di kawasan taman nasional itu. Mereka menemukan bahwa pelaku pembabatan hutan adalah para petani kopi kecil. “Masalah deforestasi hutan di Indonesia itu kompleks, tidak hanya melibatkan perusahaan besar, tapi juga masyarakat kecil,” tuturnya.

Penelitian itu dilakukan antara lain dengan Yokyok Hadiprakarsa. Menurut Yoki—sapaan Yokyok—ketika itu David baru belajar tentang sistem informasi geografis dan pengindraan jauh kepada mereka. “Dia tekun, cepat mempelajari sesuatu dari nol. Dia juga mampu melihat peluang dan cepat membangun jaringan,” kata pendiri Rangkong Indonesia yang mendapatkan Whitley Award 2020 itu.

David kemudian melanjutkan kuliah S-3 bidang pengelolaan keanekaragaman hayati di Durrell Institute of Conservation and Ecology, University of Kent, Inggris, dengan studi tentang deforestasi hutan Sumatera. Ia kemudian banyak terlibat dalam penelitian tentang hutan di wilayah Indonesia lain. David di antaranya ikut membangun sebuah stasiun penelitian di tengah hutan di Kalimantan pada 2010. Ia juga datang ke Kalimantan saat terjadi kebakaran hutan pada 2015. Ia ingat ketika itu pandangan dan napasnya terganggu oleh kabut asap. “Semua penuh asap, sampai ke hotel, ke lift,” ujarnya.

Jutaan hektare hutan telah hilang baik karena penebangan maupun kebakaran. David prihatin karena hutan tak hanya berperan sebagai paru-paru dunia, tapi juga penjaga keseimbangan alam. Hutan pun menyediakan berbagai sumber kebutuhan manusia, seperti pohon yang bisa dimanfaatkan untuk membangun rumah atau bahan obat baru serta buah-buahan dan hewan yang bisa dimakan.

Banyak masyarakat adat masih menggantungkan hidup pada hutan. Ketika hutan terbakar atau bersalin rupa menjadi perkebunan, seperti sawit dan eukaliptus, masyarakat adat akan kehilangan sumber penghidupan mereka. Kesehatan masyarakat di sekitar pun terganggu karena asap. Selain itu, potensi lain yang bisa dimanfaatkan lenyap.

Lahan yang dilahap api itu, menurut David, kemudian ditumbuhi pohon seperti pakis, yang rentan terbakar lagi. Masalah ini menjadi siklus yang berulang terus-menerus. Karena itu, lahan yang sudah terbakar ataupun telantar perlu dihijaukan kembali. Biaya yang dibutuhkan memang tak sedikit, tapi manfaatnya bisa dipetik sampai puluhan tahun lagi. “Kita seharusnya berpikir bagaimana supaya 30-40 tahun lagi kita masih bisa menebang hutan, agar hutan tetap berkelanjutan,” katanya.

Pakar biodiversitas Barita Manullang beberapa kali berdiskusi dengan David Gaveau. David kerap menceritakan keprihatinannya tentang hutan Indonesia. “Dia bisa melihat sesuatu secara menyeluruh. Soal hutan, bukan hanya tentang orang utan atau harimau, juga manusia yang terkena dampak,” ujarnya.

Setelah tinggal di Prancis, David memperbarui data kebakaran hutan 2019. Dia dan timnya menganalisis lagi besaran angka yang ia temukan. Jumlah itu lalu divalidasi dengan data referensi mereka, termasuk membandingkan dengan peta Kementerian. Pembaruan data tersebut selesai bulan lalu.

David berharap pemerintah meningkatkan perlindungan terhadap hutan. Selain dia, kini banyak orang lain yang menginginkan perlindungan hutan. Sekarang mulai tumbuh kelompok anak muda yang peduli terhadap hutan dan lingkungan. Kelompok masyarakat adat pun lebih vokal menyuarakan harapan mereka kepada pemerintah. “Saya berdoa untuk masa depan Indonesia,” katanya.

NUR ALFIYAH, MAHARDIKA SATRIA HADI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus