Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGARUH peradaban dan budaya Cina di Asia Tenggara sudah berlangsung lama, yang diyakini turut membangun dan memperkaya peradaban dan budaya di Asia Tenggara, bersama dengan peradaban India, Arab, dan Barat yang datang dalam berbagai gelombang. Claudine Salmon turut memperkaya kajian tentang topik ini, dengan linimasa yang unik, yaitu masa peralihan kekuasaan di Cina dari Dinasti Ming ke Dinasti Qing. Tekanannya pada agency perubahan sosial; pendekatan yang tidak hanya menganalisis secara struktural, melainkan juga hermeneutika guna memahami berbagai intensi pelaku sejarah.
Pada paruh abad ke-17, sejumlah pendukung Dinasti Ming memilih untuk menyelamatkan diri ke luar negeri akibat situasi sosial-politik, beberapa saat sebelum dan sesudah terjungkalnya Dinasti Ming oleh bangsa Manzu yang kemudian mendirikan Dinasti Qing. Pergantian dari dinasti “pribumi” ke dinasti “asing” ini, yang tidak saja membuat guncangan hebat di Cina, juga memberi pengaruh signifikan bagi masyarakat Asia Tenggara yang menampung pelarian para loyalis Ming, sebutan untuk mereka yang mengubah pola dan tujuan hidupnya guna menunjukkan identifikasi diri yang tak berubah atas dinasti yang sudah runtuh.
Sebaran pelarian loyalis Ming di Asia Tenggara—kecuali Thailand, Burma, dan Filipina karena sedikit sumber yang tersedia—serta berbagai strategi adaptasi mereka di Vietnam, Kamboja, Laos, Banten, dan Batavia dipaparkan dengan sangat teliti oleh Claudine Salmon. Penulis dan peneliti Asia Tenggara berkebangsaan Prancis yang banyak menulis buku dan jurnal tentang etnis Tionghoa-Indonesia ini merajut semua itu dari sumber-sumber Asia dan Eropa; dari kisah perjalanan, catatan perniagaan, silsilah keluarga, prasasti, peta dan gambar kuno, serta temuan-temuan arkeologis. Penelitiannya dilengkapi pula dengan sejumlah hasil riset mutakhir tentang beberapa tokoh utama yang bermukim di Dunia Melayu.
Para imigran itu terdiri atas mantan pejabat, pedagang, perajin, bajak laut, cendekiawan, dan biksu, yang menjaga identitas-diri sebagai loyalis Ming melalui “alam-pikir politik” (temps politique) mereka. Pengaruh dan warisan budaya kaum loyalis Dinasti Ming ini juga diangkat dengan meneliti reputasi anumerta mereka, tidak saja di Asia tetapi juga di Eropa.
Berbagai peran mereka lakoni di negara penerima. Misalnya, keterlibatan dalam pembentukan kehidupan urbanisasi setempat, keikutsertaan dalam menyelesaikan politik lokal, juga berbagai kegiatan yang menyebabkan peningkatan usaha pertanian dan perniagaan kelautan di Asia. Peran kelompok Zheng Chenggong—penguasa Taiwan legendaris yang menjadi lawan pemerintah Qing—dan sejumlah perusahaan dagang Eropa yang cukup berpengaruh saat itu juga disinggung. Hal itu menjadi sebuah gambaran menarik dinamika globalisasi perdagangan di Asia Tenggara abad ke-17.
Karya Claudine Salmon yang kini peneliti emeritus dan kehormatan pada Centre
Asie du Sud-Est di Paris, Prancis, ini memberi sumbangan penting dalam mengisi kekosongan penulisan sejarah Indonesia—khususnya Banten dan Batavia—sekaligus mengingatkan untuk melengkapi sejarah kita yang masih banyak rumpangnya. Kelemahan kita bukan saja kurangnya sumber lokal yang tertulis, juga masih banyaknya sejarah bangsa kita yang belum terekam karena lemahnya tradisi tulis.
Sumber Cina bisa digunakan sebagai referensi guna mengisi kekosongan tersebut, misalnya dari buku Willem Pieter Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya: Compiled from Chinese Sources, atau buku Nurni Wuryandari, Zhongguo Gudai Wenxian zhong Suojizai zhi Zhaowa (Jawa dalam Catatan Dokumen Klasik Cina). Namun ternyata tak cukup banyak data dari naskah Cina yang bisa diperoleh untuk mengisi kekosongan itu, sehingga harus dilengkapi dengan sumber-sumber lain yang sezaman.
Kekuatan buku karya istri mendiang Denys Lombard ini adalah penggunaan sumber tertulis dalam berbagai bahasa. Buku ini sekaligus merupakan sumbangan Claudine Salmon bagi historiografi Asia Tenggara, yang berhasil mengisi sebuah rumpang dalam sejarah kita yang dikaitkan dengan dinamika di Asia Tenggara dan Cina serta tahap awal kolonialisme di kawasan itu.
ADRIANUS WAWORUNTU, PENGAJAR PROGRAM STUDI CINA FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo