GUNCANGAN (13 November) itu berlangsung hanya 4 detik, melanda
sebagian besar Sumatera Barat--tidak hanya terasa di
Bukittinggi. Pagi itu (pukul 02.28 WIB) bumi Sum-Bar berguncang
sampai lima kali, dan beberapa kali lagi siangnya dan Sabtu
siang, meski yang susulan itu tak sekuat guncangan pertama. Tak
terjadi korban jiwa. Kerusakan material tak banyak tapi
beberapa gedung bertingkat retak, terutama di Padang dan
Indarung.
Penjelasan pertama tersiar dari Padangpanjang seperti dimuat
harian Kompas. Menurut I Made Rae, Kepala Pusat Meteorologi dan
Gcofisika di Lubuk Matakucing, Padangpanjang, pusat gempa
(episentrum) itu di laut, sekitar 100 km sebelah selatan
stasiunnya. Ia pun memperkirakan kekuatannya melebihi angka 5
pada Skala Richter. Made Rae tak bisa lebih cermat karena
seismograf di stasiun yang ia pimpin tak bisa mencatat angka
yang melebihi 5 itu, sedang jarumnya sudah melampaui garis
maksimum.
Kosasih dari Kantor Meteorologi dan Geofisika di Padang
menerangkan pusat gempa itu punya kedalaman yang melebihi 30 km.
Cukup banyak pihak yang pusing mengikuti berita simpang siur
sekitar lokasi pusat gempa itu.
Salah Kutip
Di mana sebetulnya episentrum gempa itu? Buchari, Kepala Kantor
Meteorologi dan Geofisika di Padang, mengungkapkan analisa
sementara yang ia terima dari Lembaga Meteorologi dan Geofisika
di Jakarta. Laporan itu menyebutkan gempa tadi berkekuatan 5,4
pada Skala Richter dan pusatnya terletak sekitar Alahan Panjang
pada--seperti dikutip harian Sinar Harapan (14 November)-"9
derajat lintang selatan dan 107 bujur timur, lebih kurang 77 km
di selatan Padang."
Kesemrawutan agaknya dimulai di sini. Laporan dari Jakarta itu
"memindahkan" episentrum gempa itu ke darat. Tapi koordinat yang
dikutip Sinar Harapan, bertentangan dengan itu, menunjuk pada
suatu lokasi di Samudera Indonesia . . . 280 km sebelah selatan
Kota Sukabumi di Jawa Barat. Apalagi koordinat lokasi ini
"diperjelas dengan "77 km di selatan Padang". Ini menempatkan
"sekitar Alahan Panjang" juga di tengah laut, antara Kota Painan
dan Pulau Sipora, Sum-Bar. Sebetulnya Alahan Panjang terletak di
koordinat 100ø 47' 5" Bt (Bujur Timur) dan 1ø 4' Ls (Lintang
Selatan), sekitar 50 km sebelah tenggara Kota Padang.
Tidak itu saja. Buletin Antara (15 November) sempat memberitakan
lokasi episentrum gempa tektonik itu "terletak pada 01' 06"
lintang selatan dan 99' 12" bujur timur". Meski sudah ada
keterangan Buchari berdasarkan analisa dari Jakarta, berita A
ntara menempatkan pula episentrum itu di "selatan Kotamadya
Padang, yaitu sebelah utara Provinsi Bengkulu." Yang hebat,
menurut "koordinat Antara" itu, episentrum gempa bumi di
Sumatera Barat berada di tengah Samudera Atlantik, sebelah barat
Benua Afrika, 1.000 km lepas pantai Gabon.
Koordinat yang janggal itu tanpa ragu dikutip Kompas pagi
berikutnya. Hanya Sinar Harapan sore itu rupanya mencium suatu
keanehan dan "membetulkan" koordinat itu hingga menjadi "0,1
derajat Lintang Selatan dan 99 derajat 12 menit Bujur Timur".
Ini memang lebih layak, meski letaknya 180 km sebelah barat-laut
Kota Padang, di laut, lepas Airbangis, masih di Sumatera Barat.
Agaknya ini semua terjadi karena salah kutip -- atau keliru
memahami data laporan dari Jakarta yang diumum kan Buchari.
Analisa sementara dari Lembaga Meteorologi dan Geofisika di
Jakarta menempatkan episentrum gempa di Sum-Bar itu pada
koordinat "0,9 S - 100,7ø E". Meski tampaknya lebih layak,
penulisan angka koordinat itu dengan desimal kembali
membingungkan pembaca awam. Soalnya pelajaran Ilmu Bumi di
sekolah dulu hanya mengajarkan sistem sexagesimal, berdasarkan
lingkaran yang dibagi 360 derajat, setiap derajat dib'agi 60
menit dan setiap menit dibagi 60 detik pula.
Tak pernah orang awam mengetahui ada sistem lain yang membagi
sebuah lingkaran menjadi 400 derajat dan setiap derajat itu
dibagi 100 menit, setiap menit 100 detik. Sistem centigesimal
ini terkadang digunakan ahli geodesi dan sebangsanya.
Salah Kira
Tapi nilai 0,9ø S bisa menjadi 54' S dan 100,7ø E menjadi 100ø.42'
T. Ini menempatkan episentrum gempa di Sum-Bar itu 9 km sebelah
utara Gunung Talang, 40 km sebelah timur Kota Padang, tepat di
?tas Patahan Semangko, rekahan geologis besar yang membujur di
punggung Pegunungan Bukit Barisan dari ujung utara sampai ujung
selatan Pulau Sumatera (TEMPO, 5 Januari 1980). Lokasi ini
hampir bersamaan dengan lokasi pusat gempa dahsyat di tahun 1926
yang dikenal dengan nama gempa Padangpanjang dengan koordinat
0,7ø S dan 100,6ø Bt atau 42' Ls dan 100ø 36 ' Bt.
Lokasi ini juga bagi Profesor Dr. J.A. Katili, Dirjen
Pertambangan Umum, masuk akal. Menurut Katili, karena pusat
gempa itu relatif dangkal (33 km), hanya, ada dua kemungkinan
sebagai sumbernya. Pertama, sepanjang zone subduksi, jauh di
laut, yang merupakan pertemuan antara lempengan Samudera
Indonesia dengan lempengan Eurasia. Kedua, sepanjang Patahan
Semangko itu. Tapi Katili memastikan gempa itu bukan gempa
vulkanis. "Ini gempa tektonis," katanya.
"Semula saya kira gempa subduksi," ujar Prof. Katili kepada
TEMPO pekan lalu. "Apalagi ketika ada berita Padang terkena."
Tapi kemudian ternyata tidak ada tanda di laut seperti
dilaporkan sejumlah nelayan maupun Syahbandar Teluk Bayur,
Djamaran. Tinggal kemungkinan kedua Patahan Semangko. Dan
analisa dari geofisika Jakarta menunjang dugaan ini. Lebih kuat
lagi karena analisa itu dibuat mencakup data dari berbagai
stasiun pencatat gempa di luar negeri, sumber informasi yang
tidak diperoleh stasiun di daerah. Selain itu stasiun pencatat
di daerah letaknya terlalu dekat dengan pusat gempa hingga
plotting-nya bisa kurang jelas. "Stasiun yang letaknya lebih
jauh dari episentrum gempa bisa lebih teliti," ujar Katili.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini