MOMOK bagi pedagang K-5. Hantu bagi tukang becak. Tidak
dipersenjatai, kalau perlu membawa pentungan karet yang
terkadang beraliran listrik. Petugas berseragam cokelat:muda
yang memakai helm itu disebut Tibum (Ketertiban Umum), atau
lebih tersohor dengan sebutan Kamtib.
Rabu, 11 November yang lalu, di hadapan Pangkopkamtib Sudomo,
Gubernur DKI Tjokropranolo serta pejabat teras lainnya, ratusan
petugas Kamtib DKI dan DLLAJR mendapat pengarahan. Dalam acara
itu, Laksamana Sudomo melontarkan gagasan agar istilah Kamtib
(Keamanan dan Ketertiban) yang sekarang dipakai dipikirkan
kembali. Artinya, perlu ditinjau, apakah nama itu sesuai dengan
tugasnya sehari-hari.
Sebab sering terjadi tindakan anggota Tibum alias Kamtib dinilai
terlalu keras, bahkan sewenang-wenang. Berbagai insiden telah
terjadi. Di akarta Utara, tiga pekan silam, rumah seorang
komandan regu Kamtib diserbu dan dirusak massa tukang becak. Itu
akibat ulah sebuah mobil patroli Kamtib yang menyerempct sebuah
becak hingga pengemudinya luka-luka (TEMPO, 14 November).
Peristiwa inilah yang mendorong diadakannya pengarahan bagi para
petugas Kamtib pertengahan bulan ini di Jakarta.
Menurut pengamatan Kasim, seorang penjual es cendol di Jak-Pus,
para anggota Kamtib, "kelihatan galak dan tidak pernah
tersenyum." Jika ia dan temantemannya melihat mobil patroli
Kamtib sekilas saja "kami sudah lari terbiritbirit," kata anak
Betawi ini. Sekali tempo karena takutnya, Kosim lari masuk gang
kecil sambil mendorong gerobak. Akibatnya sungguh naas, gerobak
Kosim menabrak tiang listrik. Tiga gelas dan sebuah stoplesnya
pecah berantakan.
Ia pernah melihat seorang temannya, penjual soto mie tertangkap
basah sewaktu berjualan di jalan protokol. Pikulannya yang
berisi mie, kol dan tomat berikut kompor terbalik. Penjual soto
mie yang sedang sial ini meratap-ratap, menyembah pada petugas
Kamtib agar dagangannya jangan dibawa. "Tapi petugas tetap tidak
berperasaan," kata Kosim mengenang nasib temannya. Penjual itu
tetap diangkut ke atas truk patroli sambil dimaki-maki.
Sudah Bocor
"Kami bukan penjahat yang harus dihadapi dengan kekerasan,"
ungkap Warsijan dengan geramnya. Ia mengaku berdagang sepatu dan
sandal di Lapangan Banteng, Jak-Pus itu, memang dilarang. Tapi
kalau berjualan di daerah lain, kurang laku. Akhirnya balik lagi
ke situ. "Mungkin sudah rezeki saya di sini," kata Warsijan asal
Brebes yang berkulit sawo matang itu.
Kadang-kadang operasi pembersihan pedagang K-5 sudah bocor lebih
dahulu. "Kami telah diberitahu," kata seorang pedagang di pusat
Kota Semarang pada TEMPO. Untuk itu para pedagang masing-masing
harus memberikan imbalan sebagai 'uang keamanan' yang besarnya
Rp 500 per bulan kepada si oknum Tibum. "Itu pasti orang dalam,
orang saya," kata Kapten Sunyoto, Kepala Unit Tibum Kodya
Semarang.
Di kalangan pedagang Palembang, petugas Tibum disindir dengan
sebutan petugas yang mengutip dan mengebum. Karena mereka
terbiasa mengutip uang rokok pada pedagang kaki-lima dan juga
suka mengebum, satu istilah setempat, yang artinya mengusir.
Di Ujungpandang, petugas Satgas Bintibum (Pembinaan Ketertiban
Umum) terpaksa didampingi seorang mayor infanteri, atau seorang
mayor pensiunan yang dikaryakan di Satgas tersebut. Adanya
seorang petugas bersenjata rupanya dianggap perlu, mengingat
Satgas Bintibum acapkali disambut dengan parang dan badik oleh
pedagany kakilima, tukang becak atau pun gelandangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini