Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Resep baru memberantas tikus

Program PHTT di tiga provinsi terbukti berhasil mengendalikan jumlah tikus. segera diterapkan di provinsi lain?

27 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA mungkin memerlukan Peniup Seruling dari Hammerlijn tokoh dalam dongeng anakanak yang dengan tiupan serulingnya sanggup menggiring ribuan tikus ke tempat pemusnahan. Soalnya, Indonesia sudah puluhan tahun diserang hama tikus, tapi sampai kini belum ditemukan cara mujarab untuk membasmi hama tersebut. Pelbagai cara pemberantasan sebetulnya sudah dicoba. Ada cara geropyokan, perbaikan sanitasi lingkungan, pemanfaatan burung hantu sebagai musuh alami, melakukan fumigasi asap beracun, sampai dengan memasang perangkap tikus, toh hasilnya masih di luar harapan. Kini, Food and Agriculture Organization Inter Country Rice, yang bekerja sama dengan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, memperkenalkan cara baru pembasmian hama tikus lewat apa yang disebut Pengendalian Hama Tikus Terpadu (PHTT). Prinsip program PHTT adalah mengendalikan jumlah populasi tikus. Dalam program ini, petani diminta aktif mengambil keputusan, bukan menunggu instruksi dari atas. Bila serangan tikus datang, misalnya, petani harus segera mendiskusikan cara pembasmiannya dengan kelompok kerja mereka. Pengalaman menunjukkan, hama tikus tak bisa dibasmi begitu saja. Upaya yang dilakukan sendirisendiri seperti selama ini ternyata tidak memberikan hasil memuaskan. Cara pembasmian hama tikus dengan program PHTT atau tanpa PHTT sebetulnya hampir sama. Bedanya, dengan PHTT, pemakaian bahan kimia rodentisida, yang mempunyai dampak samping terhadap lingkungan, seperti kemungkinan ternak piaraan ikut mati termakan sisa racun, hanya diperbolehkan sebagai langkah terakhir bila serangan tikus masih juga hebat. Langkah lain untuk membendung laju serangan hama tikus sesuai dengan anjuran program PHTT adalah melalui penanaman tanaman secara serentak. Sulitnya, menurut Direktur Bina Perlindungan Tanaman Departemen Pertanian, Satta Wigenasantana, tak semua tanah pertanian bisa melakukannya karena terbatasnya air irigasi. Maka, program PHTT baru dicoba di tiga provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Hasilnya? "Selama program berjalan (19891990), serangan hama tikus di semua lokasi itu dapat dibatasi," kata Elske van de Fliert dari FAO. Sampai kini sebagian besar petani di bekas lokasi program masih dapat mengendalikan hama tikus. Pekan lalu, di Cisarua, Jawa Barat, sekitar 75 peneliti tikus dari seluruh Indonesia selama dua hari membahas langkah PHTT, yang dinilai cukup berhasil itu, guna diterapkan di provinsi lain. Dalam lima tahun terakhir, tikus sawah (Rattus argentiventer), yang punya kemampuan melahirkan 10 sampai 12 ekor anak, telah menduduki peringkat pertama sebagai hama perusak tanaman padi. Data Statistik Pertanian IV memang menunjukkan kegawatan itu. Setiap tahun luas serangan tikus pada tanaman padi ratarata 141.000 ha dengan intensitas kerusakan lebih dari 16%. Nilai kerugiannya sekitar Rp 31 milyar. Tak heran bila semua daerah jor-joran melakukan pembasmian hama tikus kadang kala dengan peraturan yang aneh dan lucu. Di Simalungun, Sumatera Utara, misalnya, kepala desa diwajibkan membawa 50 buah potongan buntut tikus setiap rapat mingguan di kecamatan. Di Tabanan, Bali, setiap akhir perburuan tikus dilakukan upacara ngaben (membakar bangkai) tikus untuk menarik masyarakat agar terlibat aktif dalam upaya pembasmian hama tersebut. Malah ada desa di Jawa Tengah yang mengharuskan calon pengantin atau mereka yang mau mengurus surat cerai membawa ekor tikus sebagai syarat untuk dilayani petugas Kantor Urusan Agama. Segala aturan itu tetap saja belum mampu menekan populasi tikus hingga batas yang tak membahayakan. Memusnahkan tikus dari bumi, kata Rochman dari Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor, juga tidak baik bagi lingkungan keseimbangan ekosistem bisa terganggu. Meledaknya populasi tikus sekarang ini, ujarnya lagi, tak terlepas dari ketidak seimbangan lingkungan. Musuh alami tikus, seperti kucing hutan, ular, dan burung hantu, menghilang karena hutan dibabati semena-mena. Tikus pernah menjadi hama hebat di sini pada 1915, 1938, 1963, dan 1973. Program PHTT yang dicanangkan Food and Agriculture Organization InterCountry Rice dan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan bukan operasi sesaat. Tapi harus dilakukan terus-menerus. Hanya saja, petani kita kadang-kadang tidak sabar dengan program yang harus dijalankan terus-menerus, sehingga sering bersikap tidak aktif melakukan pelbagai tindakan untuk mencegah datangnya serangan hama tikus. Bentuk protes mereka, misalnya, tidak berpartisipasi aktif melaksanakan geropyokan pada saat pratanam. Hambatan-hambatan itu tentu saja harus diatasi agar pemberantasan hama tikus dapat berjalan baik. Diharapkan, program PHTT merupakan jawaban tepat hama tikus teratasi dan pencemaran lingkungan terhindari. Diah Purnomowati dan Ida Farida

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus