PERWIRA muda lulusan Akabri tak cuma belajar sebatas pada ilmu dan manajemen perang. Mereka yang meraih nilai jempolan akan mendapat tiket belajar di beberapa universitas negeri. Dan lima atau enam tahun lagi mereka yang bertitel insinyur, doktorandus, atau sarjana hukum bakal berjibun. Selama ini sebagian taruna Akabri sudah berkesempatan belajar di perguruan tinggi, memenuhi kerja sama seperti telah dilakukan antara ITB dan pihak militer sejak tahun 1960an. Kegiatan itu baru berbentuk kursus atau mendapat spesialisasi di bidang kejuruan tertentu. Setelah ditekennya kerja sama antara Panglima ABRI dan Menteri P dan K, Februari lalu, terkuaklah pintu kesarjanaan bagi para taruna Akabri. "Ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial, akan menambah bekal bagi yang ampu dan mau melanjutkan sekolahnya," ujar Mayor Jenderal Soedarto, Komandan Jenderal Akabri. Maka, saat ini Akabri dan beberapa universitas negeri sibuk berembuk untuk merealisasi kerja sama itu. Sebab, sistem pendidikan di lingkungan Akabri dan perguruan tinggi umum memang berbeda. Akabri menerapkan sistem paket studi yang ditempuh per tahun, sedangkan di perguruan tinggi umum dijalankan sistem SKS (satuan kredit semester), sehingga tiap mata kuliah punya bobot kredit tertentu yang ditempuh pada tiap semester. Untuk memecahkan perbedaan itu, mulai tahun ajaran 1992/1993 Akabri menerapkan sistem SKS. Akademi Angkatan Laut (AAL) Surabaya, misalnya, merombak kurikulumnya. Hingga pekan ini, AAL masih menghitung beban studi di AAL, agar setara dengan SKS di perguruan tinggi umum. AAL menjalin kerja samanya dengan sepuluh universitas negeri, antara lain dua di Surabaya, yaitu Universitas Airlangga dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Begitu juga yang dilakukan Akademi Militer (Akmil) Magelang, yang menjalin kerja sama dengan Universitas Gadjah Mada, Yogya. Nanti, lulusan Akmil bisa meneruskan pendidikan S1 (tingkat sarjana) di Fakultas Teknik serta Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol). Penyesusaian kurikulum Akmil itu dengan dua fakultas tadi sampai pekan ini masih dibahas. Di Semarang, Akademi Kepolisian (Akpol) membentuk konsorsium dengan Universitas Diponegoro (Undip), yang dirintis sejak tiga tahun silam. Walau sistem SKS sudah diterapkan di Akpol sejak tahun lalu, nilai ijazah para letnan dua polisi itu belum diakreditasi agar bisa masuk ke Fakultas Hukum ataupun Fisipol di Undip. "Itulah upaya kami untuk menyiapkan taruna melanjutkan ke fakultasfakultas di luar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian atau PTIK. Kami bahkan tengah menjajaki ke Universitas Terbuka," tutur Gubernur Akpol, Mayor Jenderal Koesparmono Irsan, kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. Ternyata, lebih maju lagi adalah yang ditempuh Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta. Di AAU sistem SKS sudah diterapkan sejak 1985, sehingga lulusan akademi ini lempang untuk melanjutkan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Karena kebijaksanaan itu, konon AAU ditertawai oleh akademi militer lain. Kini malah semua angkatan Akabri diwajibkan menerapkan SKS yang berorientasi ke pendidikan S1 di perguruan tinggi umum. "Kami beruntung merintis sistem SKS jauh hari sebelumnya," kata Kepala Penerangan AAU, Kapten Sus. B. Sasmito, kepada R. Fadjri dari TEMPO. Tahun lalu lima orang letnan dua dari sepuluh taruna AAU yang ditawarkan sudah kuliah di Jurusan Elektronika dan Jurusan Aeronautika ITB. Untuk meraih gelar insinyur, mereka tidak perlu lagi mengulang dari nol, karena cukup ikut seleksi penempatan. ITB mengakui 90 sampai 100 SKS dari 120 SKS yang sudah mereka tempuh sewaktu di AAU. Jadi, mereka harus menyelesaikan 60 sampai 70 SKS lagi (sekitar 25 mata kuliah), yang memakan waktu 2w3 tahun. Seorang taruna AAU, N. Samyoga, mengakui harus belajar ketat untuk mengejar ketinggalan kuliah dasar di ITB. "Teman-teman banyak membantu kami," kata pemuda 24 tahun yang kini suka bercelana jins dan kaus oblong itu, pada Ida Farida dari TEMPO. Setahun ini nilai rataratanya C. Tampaknya, kendala utama kerja sama itu adalah soal penilaian terhadap bobot mata kuliah di Akabri. "Mereka tak sama dengan mahasiswa lainnya. Seandainya SKS disamakan pun belum tentu efisien bagi mereka. Jadi, harus dilihat secara individual," ujar Arifin Wardiman, Pembantu Rektor Bidang Akademis ITB. Tiap akademi itu berbeda menetapkan SKS yang harus ditempuh taruna supaya bisa pindah kuliah ke universitas umum. Di AAU ditetapkan bahwa perwira yang ingin meraih gelar insinyur di ITB harus menyelesaikan 97 SKS untuk mata kuliah bidang ilmu penunjang profesi dan ilmu profesi. Dan indeks prestasi harus di atas 3. Di Akmil, para taruna diwajibkan mengantongi lebih dulu 70w90 SKS. AAL menetapkan batas kredit 90w110 SKS, dan di Akpol adalah 80w90 SKS. Adapun ke universitas mana para taruna melanjutkan kuliahnya, itu ditentukan oleh masing-masing akademi di lingkungan Akabri. "Akademi punya otonomi, dan masing-masing punya tujuan serta misi yang berlainan," kata Mayor Jenderal Soedarto. Para taruna menyambut terwujudnya kerja sama lintas ini. "Kami gembira, lulusan Akpol dihargai di perguruan tinggi negeri," kata Nelson Purba, taruna Akpol angkatan 1989. Setelah kesarjanaannya diselesaaikan di PTIK, baru nanti Purba memilih masuk ke Fakultas Hukum Undip. Tujuan para taruna itu menimba ilmu di jalur pendidikan umum, selain untuk bekal bersaing dalam mengejar karier lebih tinggi, juga untuk memperluas wawasannya. "Dengan pengetahuan yang tinggi, penyidikan tidak lagi mengejar pengakuan si tersangka, melainkan pada pembuktian," kata Suharyono. Ia ini taruna Akpol yang tertarik pada bidang reserse. Porsi pendidikan Akabri barangkali perlu ditingkatkan setaraf S1 perguruan tinggi umum. Ardian Taufik Gesuri dan Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini