Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Rindu Maleo di Pantai Sulawesi

Dulu pantai Sulawesi merupakan surga bagi burung maleo. Mengapa setelah area konservasi bermunculan, populasi maleo justru terancam punah?

23 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAKI-KAKI kecil itu dengan cekatan mengais pasir putih di pantai Desa Taima, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Berbulu hitam dan putih, maleo, burung endemik Sulawesi yang mirip ayam hutan, ke sana-kemari mencari lokasi bertelur di petak pasir seluas lapangan futsal itu.

"Mereka melakukan orientasi tempat peletakan telur," kata Sugeng Putranto, spesialis lingkungan PT Donggi Senoro LNG, Selasa dua pekan lalu. Yang ia maksud, burung maleo itu sedang mencari lokasi bertelur yang dinilai aman dari ancaman pemangsa.

Saat ini ada sekitar 90 maleo (Macroce­phalon maleo) di Desa Taima. Lainnya tersebar di Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop di Toli-toli, Taman Nasional Lore Lindu, Suaka Margasatwa Bangkiriang, dan Cagar Alam Morowali. Semua di Sulawesi Tengah. Di luar kawasan konservasi, maleo masih bisa dijumpai di Pagimana, Bunta, dan Ampana.

Burung berstatus terancam punah ini terbilang "pemalu". Sang betina bisa batal bertelur dan terbang ke hutan jika mengetahui ada manusia atau hewan lain mendekat. Itu sebabnya, untuk melihat aktivitas maleo bertelur di Desa Taima hanya dapat diintip dari menara setinggi 10 meter yang dibangun oleh Dinas Kehutanan Banggai dan lembaga pegiat konservasi maleo, Aliansi Konservasi Tompotika (AlTo).

Ancaman kepunahan maleo semakin tinggi lantaran pembiakan di area konservasi tak memberi hasil optimal. Perburuan oleh predator, pengambilan telur oleh penduduk, dan fragmentasi habitat akibat alih fungsi lahan terus mengancam keberadaan burung maleo.

"Total jumlah burung maleo di Sulawesi Tengah tinggal sekitar 1.000 ekor dan jumlahnya terus menurun," ujar Sugeng. Ia tahu persis angka-angka itu setelah melakukan penelitian sendiri tahun lalu. Di seluruh Sulawesi, jumlahnya sekitar 5.000 ekor.

Direktur AlTo Marcy Summers mengatakan maleo dulu bisa ditemukan di semua provinsi di Sulawesi. Kini burung unik ini mulai langka. Tingginya angka pencurian telur dan perusakan habitat menjadi biang keladi menurunnya populasi maleo. Pencurian telur oleh manusia paling mengancam ketimbang oleh para predator alami, seperti biawak, babi rusa, dan ular.

Bertolak dari kondisi tersebut, PT Donggi Senoro LNG menginisiasi pembangunan Maleo Center, pusat pelestarian maleo di luar habitat (ex-situ). Area konservasi seluas 400 meter persegi ini terletak di tepi pantai di Desa Uso, Kecamatan Batui, tak jauh dari instalasi kilang gas alam cair (LNG).

Ada dua kandang berpagar kawat di Maleo Center. Yang satu berukuran 1,5 x 1,5 x 2 meter untuk menampung anakan yang baru menetas. Sedangkan yang lebih besar dengan ukuran 6 x 4 x 4 meter untuk ­anakan berumur lebih dari satu bulan. Di dalamnya diletakkan beberapa wadah minum plastik, batang pohon untuk bertengger, dan tempat berteduh. Persis kandang ayam.

Sedangkan untuk menetaskan telur, yang diperoleh dari Taman Nasional Lore Lindu dan Cagar Alam Morowali, Sugeng menggunakan dua unit inkubator. Kotak penetas dari kayu itu dilengkapi termostat, termohigrometer, serta empat lampu pijar 60 watt dan dua lampu 10 watt. Satu inkubator mampu menetaskan 32 butir telur. Anakan maleo selanjutnya diberi makan serangga, ulat, pelet, dan biji kemiri.

Teknik inkubasi seperti ini pertama kali dikembangkan oleh Mobius Tanari pada 2006. Dosen Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, Palu, ini tertantang mencari jalan keluar mengatasi kelangkaan maleo saat menempuh program doktoral di Institut Pertanian Bogor. Fluktuasi temperatur dan kelembapan udara di alam kerap membuat telur maleo gagal menetas. "Kalau di inkubator, temperatur dan kelembapan bisa dikontrol," katanya.

Sugeng mengklaim metode tersebut ampuh mendongkrak populasi maleo. Hasil penelitian sejak akhir 2012 menunjukkan tingkat penetasan telur burung monogamus itu meningkat dari 10 persen di alam menjadi 75 persen di penangkaran. Waktu proses penetasan juga makin cepat, dari 70-90 hari menjadi 60 hari.

"Temperaturnya harus di kisaran 33-34 derajat Celsius dan kelembapan 70 persen," ujarnya. Dengan ukuran lima kali lebih besar, penetasan telur maleo membutuhkan waktu tiga kali lebih lama ketimbang telur ayam.

Keterlibatan PT Donggi Senoro LNG dalam konservasi maleo bermula pada November 2011 saat menemukan dua telur maleo di lokasi eksploitasi gas di Banggai. Berdasarkan biodiversity action plan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah mewajibkan konsorsium yang terdiri atas tiga perusahaan migas ini turut melestarikan maleo.

Kini Maleo Center sudah menetaskan 29 telur. Empat belas ekor anakan berumur satu bulan akan dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Bangkiriang dan kawasan wisata adat Kusalik Loa. Metode inkubasi diharapkan mampu mendongkrak populasi maleo sebesar tiga persen dalam lima tahun.

Sisanya, anakan berumur tiga bulan akan dipertahankan di area konservasi untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Mahasiswa, masyarakat, peneliti, dan pencinta alam dapat melihat langsung burung pemalu antipoligami ini.

Kepala BKSDA Sulawesi Tengah Sihabuddin mendukung penerapan model konservasi ex-situ untuk maleo. Menurut dia, maleo tak hanya terdesak oleh alih fungsi lahan semata. "Pesta adat juga menggunakan banyak telur maleo sehingga populasinya semakin berkurang," kata Sihabuddin.

Warga Banggai, khususnya Kecamatan Batui, memiliki tradisi terkait dengan telur maleo. Setiap September, mereka menyelenggarakan upacara adat tumpe, tradisi pengantaran telur maleo dari musim bertelur pertama ke Kerajaan Banggai Kepulauan di Kabupaten Banggai Kepulauan.

Tradisi tumpe untuk memperingati sejarah pertalian darah antara Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan di selatannya yang terpisah Selat Peleng. Yahya Alepo, 65 tahun, ketua adat Loa, mengatakan Desa Kusalik Loa menjadi pusat berlangsungnya tumpe.

Prosesi diawali dengan pengumpulan telur maleo oleh perangkat adat Batui. Telur-telur yang dibungkus dengan daun komunong—sejenis daun palem—itu lantas diantarkan ke Kepulauan Banggai menggunakan perahu. Dulu jumlah telur yang dikirim bisa mencapai ribuan. "Kini hanya 120 telur setiap tahun," ucapnya.

Kusalik Loa juga menjadi lokasi konservasi maleo. Desa yang berlokasi tidak jauh dari Maleo Center ini memiliki bak berpasir untuk penetasan telur. Sebanyak 80 butir telur ditanam di dalamnya sejak Desember tahun lalu. Sayangnya, hanya satu butir telur yang berhasil menetas. "Sisanya gagal karena temperatur dan kelembapan terlalu rendah," ujar Mobius Tanari.

Abdul Haq, 45 tahun, sekretaris adat Loa yang mengurusi penetasan, mengatakan puluhan telur itu diperoleh dengan membeli dari masyarakat di Kabupaten Morowali seharga Rp 35 ribu per butir. Rencananya, jika semua telur menetas, anakan maleo akan dilepasliarkan di hutan belakang kampung adat. Hutan seluas 12 hektare ini berbatasan dengan Sungai Batui, yang tepinya menjadi lokasi peneluran alami maleo.

Konservasi ex-situ di Maleo Center diharapkan dapat mengulang memori keberadaan maleo di Banggai. Konon, lebih dari tiga dasawarsa lalu, burung maleo setiap hari meramaikan pantai-pantai di Sulawesi untuk bertelur. Di Bangkiriang saja jumlahnya mencapai ratusan pasang. "Jadi hitam pantai ini," Mobius mengenang.

Kini pemandangan itu sulit ditemukan. Ironisnya, burung maleo justru perlahan lenyap berbarengan dengan berdirinya area-area konservasi.

Mahardika Satria Hadi


Lokasi persebaran burung Maleo di Sulawesi Tengah
1) Desa Taima, Kecamatan Bualemo: 90 pasang
2) Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop di Toli-toli: 100 pasang
3) Taman Nasional Lore Lindu: 120 pasang
4) Suaka Margasatwa Bangkiriang, Kecamatan Batui: 30 pasang
5) Cagar Alam Morowali: 100 pasang
6) Ampana, Bunta, dan Pagimana: 100 pasang
7) Maleo Center, PT Donggi-Senoro LNG, Kecamatan Batui

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus