Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Hidup nomad laut bergantung sepenuhnya pada ekosistem serta sumber daya kelautan dan pesisir.
Ada dua kelompok nomad laut di Indonesia: Sama-Bajau yang tersebar di 14 provinsi dan Orang Laut di lima provinsi.
Hasil riset di beberapa daerah yang terkena dampak pembangunan pesisir dan eksploitasi laut mendapati kaum nomad laut tergusur dari ruang hidup mereka.
KELOMPOK nomad laut di Indonesia menjadi inspirasi sutradara James Cameron dalam membuat film Avatar: The Way of Water. Film itu berkisah tentang kaum Metkayina yang menghadapi ancaman dari “kaum langit” yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam Pandora tanpa memedulikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik dalam film itu bukan sekadar fiksi, melainkan benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Bahkan kondisi aslinya lebih parah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Singkatnya, nomad laut merupakan kelompok masyarakat yang kehidupannya bergantung penuh pada ekosistem serta sumber daya kelautan dan pesisir. Ada dua kelompok nomad laut di Indonesia: Sama-Bajau yang tersebar di 14 provinsi dan Orang Laut di lima provinsi.
Temu Raya Sama-Bajau Indonesia di Luwuk, Sulawesi Tengah, 13-15 Desember 2024 yang menghasilkan Deklarasi Sama-Bajau Indonesia. theconversation.com/Wengki Ariando
Kami melakukan riset di beberapa daerah yang terkena dampak pembangunan pesisir dan eksploitasi laut, di antaranya Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur, sepanjang 2023-2024. Berdasarkan hasil riset yang dibukukan dalam Merampas Laut Merampas Hidup Nelayan: Coastal and Marine Grabbing in Indonesia and the Philippines, kami mendapati kaum nomad laut tergusur dari ruang hidup mereka.
Pindah ke darat juga bukan solusi praktis karena tidak sesuai dengan identitas mereka dan adanya tekanan pembangunan multidimensi.
Kedua kelompok yang kami jadikan sampel tersebut memiliki tiga pola mukim, yakni mereka yang masih hidup di atas perahu, bermukim di atas laut, bermukim di daratan pesisir. Saat ini Sama-Bajau ataupun Orang Laut umumnya sudah hidup menetap.
Semua kelompok masih melihat pesisir dan laut sebagai "lahan" hidup dan mati, tempat ritual, tempat hiburan, tempat pemersatu, serta "kebun". Konsep-konsep, yang mereka ungkapkan dalam Temu Raya Sama-Bajau di Luwuk pada Desember 2024 menunjukkan pesisir dan laut adalah segalanya bagi masyarakat nomad laut.
Namun, dalam dua dekade terakhir, masyarakat nomad laut di pelbagai wilayah menghadapi ancaman penggusuran, konflik sumber daya alam, dan berbagai bentuk marginalisasi lain.
Studi Kasus Berbagai Daerah
Di Sulawesi Tenggara terdapat 154 izin usaha pertambangan nikel yang berdampak pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil—rumah bagi lebih dari 80 ribu orang Sama-Bajau yang tersebar di 132 perkampungan.
Aktivitas pertambangan nikel di sekitar Pulau Kabaena, misalnya, telah menimbulkan kerusakan parah pada lingkungan dan kebudayaan masyarakat Sama-Bajau. Tailing yang dihasilkan mengalir ke laut, merusak terumbu karang dan budi daya rumput laut, serta mencemari perairan di sekitar rumah-rumah panggung Sama-Bajau. Akhirnya, area tangkapan ikan tercemar dan pendapatan dari tangkapan ikan berkurang signifikan.
Walhasil, masyarakat terpaksa melaut lebih jauh sehingga harus merogoh kocek lebih dalam untuk bahan bakar. Menumpuknya beban ini pada akhirnya berujung pada meningkatnya utang mereka kepada tengkulak ikan.
Survei sosial-ekonomi di perkampungan Sama-Bajau di Pulau Kabaena oleh Satya Bumi dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi yang dirilis pada September 2024 menunjukkan, 82 persen masyarakat melaporkan bahwa pendapatan mereka menurun drastis sejak tambang nikel beroperasi di sekitar perkampungan.
Kontak langsung dengan air laut yang tercemar menyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit serius pada masyarakat Sama-Bajau, khususnya anak-anak.
Di Kepulauan Riau, kaum nomad laut menghadapi masalah serupa. Tailing tambang pasir mencemari perairan di sekitar Pulang Lengkok dan Pulau Kojong, wilayah tempat Orang Laut mencari ikan.
Ketika kapal besar atau tongkang yang membawa pasir lewat, mereka dilarang memancing di wilayah yang merupakan area penangkapan ikan tersebut. Terumbu karang dan wilayah sakral mereka di laut juga rusak. Tambang pasir membuat wilayah pesisir utara Pulau Kojong mulai mengalami abrasi. Menurut Orang Laut, jarak mulut pantai mereka ke laut makin dekat dan pulau mereka kian mengecil.
Di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, kaum nomad laut menghadapi tantangan kompleks yang saling terkait, yakni isu konservasi laut, Illegal Unregulated and Unreported Fishing (IUU Fishing), serta mobilitas lintas negara masyarakat Sama-Bajau (Indonesia, Malaysia, dan Filipina). Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya (KKP3K-KDPS) merupakan wilayah perlindungan laut di bawah otoritas Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Keberadaan kaum Sama-Bajau yang semi-nomadik (Palau’) tidak diterima karena tak mempunyai identitas kewarganegaraan. Aktivitas dan pola hidup mereka dianggap ilegal serta merusak sumber daya laut, terutama pada zona inti. Saat patroli kawasan digelar, masyarakat Palau’ selalu menjadi target inspeksi IUU Fishing.
Tidak hanya di tiga provinsi tersebut, proyek strategis nasional dan rencana pembangunan infrastruktur besar-besaran yang menyasar pulau-pulau kecil memantik kekhawatiran terhadap kelangsungan hidup masyarakat nomad laut. Hal ini ditemukan pada Orang Laut di Batam. Dalam jangka panjang, praktik pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil yang eksploitatif ini akan menjadi genosida budaya bagi nomad laut.
Multilevel Marginalisasi
Dari studi di berbagai wilayah, kami menyimpulkan bahwa kaum nomad laut menghadapi empat tantangan besar.
Pertama, pembangunan dan tambang eksploitatif mengurangi akses mereka terhadap sumber daya laut. Kedua, tidak adanya pengakuan hukum membuat mereka sulit mempertahankan hak-haknya. Ketiga, dipinggirkan atau tidak diajak dalam pengambilan keputusan. Keempat, stigmatisasi dan diskriminasi yang ditunjukkan melalui stereotipe negatif membuat mereka makin tersisih dari masyarakat umum.
Semua tantangan itu saling terkait. Misalnya, pengurangan akses terhadap sumber daya laut mendorong masyarakat nomad laut mencari alternatif mata pencarian lain, seperti memulung sampah, yang justru memperkuat stigma negatif terhadap mereka.
Di Air Mas, Batam, Orang Laut yang sudah menetap masih mendapat diskriminasi di lingkungan pendidikan yang menyebabkan angka partisipasi sekolah rendah. Anak-anak mereka sering dirundung kelompok dominan.
Stigmatisasi negatif sebagai kelompok kelas kedua terhadap mereka masih kuat. Tidak jauh berbeda dengan kegiatan jual-beli tangkapan, harga ikan yang mereka tangkap menggunakan alat tangkap tradisional seperti tombak (serampang) relatif lebih murah. Masyarakat tempatan masih mengasosiasikan ikan yang didapatkan dengan serampang berelasi dengan ilmu hitam Orang Laut.
Selain itu, tak adanya pengakuan hukum membuat masyarakat nomad laut sulit memperjuangkan hak-hak mereka dalam pengambilan keputusan sehingga memperkuat posisi mereka sebagai kelompok terpinggirkan.
Gamang di Laut, Tumbang di Darat
Kata-kata “gamang di laut” menggambarkan ketidakpastian dan kesulitan yang dihadapi masyarakat nomad laut dalam mempertahankan cara hidup tradisional dan teritori mereka. Sementara itu, “tumbang di darat” menyiratkan tekanan yang makin besar bagi mereka untuk meninggalkan laut dan beradaptasi dengan kehidupan di daratan, yang sering tidak sesuai dengan identitas dan keahlian mereka, serta keterbatasan akses terhadap sumber daya di darat.
Marginalisasi yang dialami masyarakat nomad laut di Indonesia merupakan masalah kompleks yang memerlukan solusi komprehensif lintas pemangku kepentingan. Akar permasalahan ini terletak pada ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, hilangnya sistem tata kelola sumber daya pesisir berbasis masyarakat, serta lemahnya pengakuan hak-hak adat masyarakat nomad laut.
Karena itu, diperlukan pendekatan yang holistik dan partisipatif, yang mencakup pengakuan hak-hak adat, peningkatan partisipasi, dan penegakan hukum yang adil dalam pembangunan.
Dukungan gerakan masyarakat sipil harus diperkuat. Saat ini baru tumbuh gerakan Sea Nomads Contact Group yang menghubungkan komunitas nomad laut dengan akademikus dan aktivis di Asia Tenggara. Gerakan seperti ini harus diperluas hingga menjadi bagian dari gerakan masyarakat adat di Indonesia dan Asia Tenggara.
Masyarakat nomad laut mungkin tidak punya tanah seperti masyarakat adat lain, tapi mereka telah hidup turun-temurun menjaga laut. Hilangnya kebudayaan nomad laut akibat pembangunan eksploitatif dan cacat kebijakan berkonsekuensi pada hilangnya kekayaan maritim dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya laut kita. ●